Jika masih punya rasa malu

KETIKA ada laporan tentang rawan pangan di berbagai daerah di NTT awal tahun ini diterima dengan rasa ragu, kurang percaya dan menganggap media massa cenderung membesar-besarkannya -- agaknya kita masih bisa menerima sebagai perbedaan pandangan.
Kita dapat memahami, mengerti dan memaklumi bahwa ada rasa kurang enak hati untuk mengakui bahwa daerah ini memang selalu saja memikul penyakit tahunan bernama rawan pangan. Kita menyadari tidak mudah mengaku jujur tentang kelaparan karena gengsi kerapkali lebih dijunjung tinggi nan agung di negeri hunian kita ini.
Tapi sekarang dengan melihat kasus gizi buruk, marasmus, kwashiorkor, busung lapar di berbagai daerah termasuk di depan hidung Kupang -- ibu kota Propinsi NTT -- masih tegakah kita menutup mata dan tidak tersentuh oleh penderitaan hebat itu? Kalau kita merasa malu mengakuinya atau berusaha menutup-nutupinya dengan wajah tanpa beban, maka sikap kita sungguh keterlaluan. Syukurlah kita mulai mengakuinya dan terlihat bergerak. Lamban, kurang sigap. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bukan?
Gizi buruk, busung lapar atau apapun terminologi medis tentang realitas NTT hari-hari ini sudah jelas mengatakan bahwa sebagian anak Flobamora sedang kelaparan! Mereka ketiadaan makanan. Bahkan sudah ada yang mati karenanya.
Data Dinas Kesehatan NTT mencatat jumlah balita (anak usia di bawah lima tahun) di NTT sebanyak 463.370 orang. Sebanyak 51.547 orang anak dalam kondisi kurang gizi dan 10.897 orang anak masuk kategori gizi buruk. Data itu dengan bening mengisahkan bagaimana derajat kesehatan masyarakat daerah ini yang menempatkan bidang kesehatan sebagai salah satu program utama pembangunan.
Menggambarkan betapa "adil makmur" itu nun jauh di langit biru. Di antara mega. Itulah nestapa di tengah riuh-rendahnya nyanyian KKN yang prosesnya berputar-berbelit, naik dan turun hingga jalan-jalan di tempat.
Adalah kebiasaan kita suka pada bencana yang menghentak. Katakanlah gempa, tsunami, banjir bandang atau bencana kemanusiaan semisal pengungsian akibat suatu soal. Untuk yang begini kita amat lekas bertindak-begitu gesit berpikir, bertingkah karena kucuran dana pun membanjir deras. Berkelimpahan. Apakah angka 10.897 orang anak NTT dalam kondisi gizi buruk itu bukan bencana dahsyat?
Bencana serupa itu kerap luput dari perhatian kita. Dia sekadar data di atas kertas. Kita suka melupakan fakta bahwa begitu banyak anak yang akhirnya mati karena berawal dari kurang gizi, karena makan sekadar untuk kenyang. Sudah lama kita kehilangan banyak anak tak berdosa, yang belum mengerti apa-apa mengapa mereka harus kelaparan. Generasi yang hilang itu masalah kita. Sejak dulu. Sudah lama terjadi tetapi tak pernah benar, tepat dan sungguh-sungguh penanganannya. Dari tahun ke tahun, ribuan anak kita pergi dengan cara memilukan.
NTT dinyatakan KLB busung lapar. Kita terkesima? Setelah tragedi Bu Selatan dan Bu Utara, setelah Kecamatan Paga, Sikka menjadi pusat perhatian dunia penghujung 1970-an, busung lapar itu akrab lagi di telinga kita. Ada apa gerangan? Di mana letak benang kusutnya. Kita harus segera menemukan dan mencari solusi masa darurat serta jangka panjang. Bencana kemanusiaan ini tidak bisa dilihat sebelah mata.
Salah satu sudah disebut Dinas Kesehatan Propinsi NTT. Kasus gizi buruk erat kaitannya dengan Posyandu yang mati suri bersamaan dengan pelaksanaan otonomi daerah lima tahun silam. Jika itu masalahnya, semakin jelas membuktikan betapa buruknya wajah otonomi daerah yang kita idealkan sebagai kesempatan untuk meningkatkan derajat hidup rakyat.
Otonomi daerah yang seharusnya membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik, kenyataannya bertolak belakang. Benar-benar pukulan telak dan mematikan. Pasti bukan salah sistemnya. Sistem otda sudah benar sekalipun ada kekurangan. Masalah kita sejak lama terletak pada aktor pembangunan daerah yang tidak memihak kepada kepentingan dan kebutuhan riil masyarakat.
Sekitar 4.000 unit pos pelayanan terpadu (Posyandu) atau 60 persen dari total 6.502 unit posyandu di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak aktif. Menyedihkan. Posyandu tidak aktif, maka wajarlah bila status gizi balita tak mungkin terdeteksi dini. Kemanakah pergi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Dekonsentrasi bidang kesehatan yang nilainya ratusan miliaran rupiah untuk setiap daerah? Mungkin habis buat beli mobil mewah, studi banding ke mancanegara, bolak-balik Jakarta, proyek fisik mercusuar demi nama besar seseorang.
Sekaranglah momentum terbaik bagi pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) untuk duduk bersama guna mengevaluasi pos anggaran pembangunannya. Boleh jadi anggaran bidang kesehatan tidak tepat sasaran. Bukan mustahil pembangunan bidang kesehatan tidak sungguh-sungguh menjawab kebutuhan masyarakat. Jika kita masih punya rasa malu, langkah konkret meminimalisir kasus gizi buruk anak-anak kita tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bukankah kita malu kalau NTT kembali dikenal dunia karena busung lapar? Salam Pos Kupang, 25 Mei 2005. (dion db putra)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes