Sekadar ribut tentang Ketua Umum Partai

SEKADAR ribut tentang siapa ketua umum, siapa pemimpin baru untuk periode tertentu. Begitulah yang langsung segera kita tangkap manakala suatu partai politik di negeri ini hendak menggelar musyawarah nasional (munas), kongres atau muktamar.
Kita amat jarang menemukan pembahasan atau diskusi yang benar-benar serius tentang program kerja partai sesuai kebutuhan konstituen serta tuntutan zaman. Juga sangat minim kita saksikan evaluasi yang obyektif, terbuka bahkan secara telanjang dan apa adanya tentang kiprahnya di tengah masyarakat. Perdebatan atau diskusi tentang calon ketua umum selalu jauh lebih riuh ketimbang hal-hal yang tak kalah pentingnya seperti program kerja partai.
Partai politik (parpol) kita sering lupa mengaca diri. Tidaklah mengherankan bila tidak banyak parpol yang bisa eksis dalam kurun waktu yang lama. Dalam sejarahnya, parpol di Indonesia cenderung mati-hidup dan mati lagi karena salah urus.
Sudah banyak kali dikemukakan bahwa faktor kepemimpinan sangat mutlak dalam membangun organisasi yang solid dan sanggup bertahan hidup. Parpol yang peranan dan tanggung jawab sosialnya sangat berat dan kompleks itu membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Persoalan klasik partai politik justru terletak di sana. Benih-benih perpecahan yang dewasa ini melanda hampir semua parpol di Indonesia bersumber dari lemahnya faktor kepemimpinan itu.
Rasanya kita sudah biasa menyaksikan pertarungan elite partai yang tidak habis-habisnya dalam merebut jabatan. Ketidakpuasan salah satu kubu berujung pada langkah yang mudah ditebak yaitu membentuk partai politik baru, loncat pagar ke partai lain atau terus-menerus mengganggu eksistensi parpol yang bersangkutan dengan beragam cara.
Dalam kasus Indonesia, masalahnya simpel saja. Pada awal memperoleh kepercayaan memimpin partai entah lewat forum kongres, munas atau muktamar, sang tokoh tampil sebagai sumber inspirasi dan harapan pengikutnya. Tapi kekuasaan yang sejatinya berwatak korup dan lupa diri itu selalu membutakan mata hati dan akal sehat seseorang. Si pemimpin berubah menjadi otoriter, bergaya feodal, suka memaksakan kehendak dan anti kritik. Agaknya tidak sulit bagi kita untuk menemukan contohnya di tengah masyarakat. Dan, cukup enteng menyebut nama mereka yang karir politiknya hancur binasa karena remuknya nilai-nilai kepemimpinan itu.
Dalam iklim kepemimpinan yang tidak demokratis, maka program kaderisasi sebagai syarat mutlak partai modern menjadi sesuatu yang nihil belaka. Seruan akan kaderisasi dengan gampang dibelokkan sebagai upaya mendongkel atau menggusur. Terjadilah keributan. Lahirlah perkelahian panjang. Kalah-menang jadi topik polemik. Ada rasa sakit hati. Ada dendam yang harus terbalaskan.
Dalam situasi serupa itu kita tidak bisa berharap banyak kepada partai akan dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk kepentingan banyak orang. Harus diakui bahwa kinerja parpol kita umumnya masih jauh dari harapan konstituennya. Masyarakat kita seolah menerima kenyataan bahwa parpol memang sekadar sibuk merebut dan mempertahankan kursi kekuasaan. Selebihnya mereka lupa akan peranan, fungsi dan tanggung jawab sosialnya.
Kita kembali mengedepankan hal-hal tersebut di atas mengingat pada hari-hari ini dan dalam beberapa pekan mendatang sejumlah parpol besar di Indonesia menggelar forum tertinggi partai untuk melakukan evaluasi, membahas program kerja serta memilih kepengurusan baru. Sebut misalnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Yang sedang menarik perhatian kita tentunya "pesta demokrasi" partai pemenang Pemilu 1999, PDI Perjuangan (PDIP) yang tengah berkongres di Bali.
Ketika membuka kongres yang diikuti 1.866 peserta itu, Senin (28/3/2005), Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa PDIP ingin bangkit untuk kembali meraih kemenangan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Untuk itu, Megawati menggarisbawahi pentingnya meraih kembali simpati masyarakat dengan cara lebih banyak turun ke bawah dan mengubah perilaku untuk lebih memperhatikan nasib rakyat.
Meraih kembali simpati rakyat bukan pekerjaan mudah. Menurut pandangan kita, jika PDIP tidak segera menuntaskan masalah kepemimpinan, mencairkan pertarungan antar-elit serta memperbaiki kinerjanya, harapan Megawati tidak mudah menjadi kenyataan. Bila para kader PDIP terjebak untuk sekadar ribut soal ketua umum, cuma bicara kursi dan kedudukan, maka partai wong cilik itu tidak akan merealisasikan misi dan visinya. Hasil Pemilu 2004 merupakan pelajaran berharga bagi PDIP. Kita tunggu bagaimana "partai rakyat" itu berusaha menata dan membangun kembali dirinya. Salam Pos Kupang, 30 Maret 2005. (dion db putra)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes