Oleh Hadi Suprapto
Tawang, 16 Maret
Pagi yang cerah itu, seorang bocah kecil berdiri sebuah peron Stasiun Tawang. Menunggu Fajar Utama, sebuah angkutan rakyat jurusan Semarang-Jakarta. Ia datang 30 menit lebih awal, sebelum kereta berangkat, jam delapan pagi. Hiruk pikuk stasiun itu tidak membuatnya gerang. Ia santai, lebih pada kekosongan pikiran.
Mengenakan kaos hitam dipadu celana cokelat muda, anak itu duduk. Sebuah ko-ran lokal yang sedang memberitakan akuisisi perusahaan rokok di Surabaya dipegangnya. Namun, terlihat bocah cilik itu tidak serius dalam membacanya. Pandangannya kosong. Kegembiraan, kesedihan, dan bimbang, bercampur menjadi satu.
Dua hari yang lalu, dalam sebuah prosesi pemakaman, bocah cilik itu menerima telepon dari sebuah kantor majalah di Jakarta. Alamat yang diberi tidak dicatatnya sebab tidak memungkinkan. Hanya tetpon konfirmasinya saja yang ia ingat-ingat, 021 314 2557.
Dengan modal informasi telepon dari kantor tersebut, ia berangkat. Membulatkan tekad dalam citanya, menjadi waratawan. Anak lugu itu dengan pede-nya ke Jakarta tanpa alamat. Ia hanya punya telepon konfirmasinya, itu saja. Itupun sedari kemarin su-dah dicoba dihubunginya, tapi belum satu pun tersambung. Namun bocah kecil itu tidak berhenti di situ. Ia tetap ngotot ke Jakarta.
Di kereta pun ia bimbang, apalagi satu-satunya alamat yang ia punya itu, belum bisa dihubungi. Hanya mesin penjawab saja yang terdengar. Berlahan ia coba terus den-gan HP yang super gedenya. Rupanya Tuhan tidak tega melihat makhluknya berjalan tanpa tujuan. Di tengah perjalanan, kantor itu berhasil ia hubungi, dan alamat pun ia dapatkan.
***
Bocah cilik itu sudah merasakan Jakarta. Cita-citanya sebagai wartawan di am-bang pintu. Bersama 10 anak lainnya, ia masuk di salah satu ruangan kantor majalah Prospektif. Di situ ia ditempa selama dua minggu oleh tiga wartawan senior. Entah siapa mereka, hari pertama bocah itu belum mengenalnya.
Mungkin ini penempaan jurnalis yang paling membekas. Bocah cilik itu di tanyai oleh satu di antara tiga trainers itu "apa itu berita?" Itu awal kali dialognya. Setelah be-berapa patah kata keluar darinya, bocah kecil yang belum tahu Jakarta itu disuruh turun ke lapangan. "Lihatlah apa yang terjadi di TIM, you tuliskan, you deskripsikan secara detail," perintahnya. Hingga sore, bocah itu di lapangan tanpa tahu arah. Ia hanya bisa merenungi, mengingat apa yang dilihatnya, tanpa tahu apa yang akan ditulisnya, nanti.
Namun, di hari kedua bocah lugu itu sudah mulai ngerti. Laki-laki paruh baya itu tidak lain adalah Valens Goa Doy. Seorang jurnalis terkenal, jebolan Kompas. Dialah yang menjadikan Kompas eksklusif di berita olahraganya, sekiran tahun 80-an.
Sapanya akrab, membuat bocah kecil itu merasa terlindungi. Om Valens, laki-laki itu sering disapa.
Hari demi hari Om Valens mengajar dengan sabar bocah kecil itu. Om Valens memberi tahu konsep berita komprehensif, dan bagaimana cara penerapannya. Sungguh jelas apa yang disampaikan Om Valens. Meski penjelasannya sangat cepat, Om Valens bisa memberikan gambaran pada wartawan pemula untuk memulai tugas kewartawanan-nya, seperti bocah kecil itu.
Om Valens bisa dibilang sebagai guru jurnalis yang favorit. Sebab Om Valens memiliki sifat lain, menghargai anak didik. Selain itu, Om Valens juga jago meyakinkan orang untuk bisa melakukan sesuatu. Meyakinkan bocah kecil untuk bisa menulis apa yang dia lihat, dia rasakan indra, dan dia alami.
Rabu, 27 April
Om Valens entah dari mana. Hanya satu yang bocah kecil tahu, Om terlihat lelah. Tapi rasa lelah itu rupanya tidak menjadikan Om Valens lupa menyapa anak Semarang itu. Bocah kecil itu memang sering disapa "Anak Semarang". Mungkin karena dia satu-satunya anak didik satu angkatan yang datang dari Semarang. Dengan mengenakan pa-kaian khasnya, kaos putih berkerah dipadu dengan celana gelap berkalung handuk putih itu menyapa melalui senyum.
Saat menunggu lift, Om Valens sudah memunculkan sikap sumehnya. Ia me-nepuk-nepuk bahu bocah kecil yang kumal itu, "Hai.." Om Valens menyapanya dulu. "Sore Om, gimana kabarnya?" tanya bocah kecil yang waktu itu habis liputan. "Baik, you gimana?" percakapan itu pun berlanjut, hingga bocah kecil itu minta beberapa tulisan Om Valens untuk dibacanya. "Om sudah tua lah, capai tubuh ini." Jawabnya kepada bocah kecil itu.
Menepuk bahu bukanlah kebiasaan asing bagi Om Valens ketika bertemu anak didiknya. Mungkin ini salah satu yang menjadikan Om Valens terlihat lebih akrab dengan anak didiknya. Bukan hanya itu, lelaki yang masih setia dengan HP Nokia 3315 itu juga sebagai sosok manusia "pekerja keras". Om Valens tidak pernah mengeluh. Apalagi sampai mengucapkan hal seperti itu. Sebuah kalimat yang bocah kecil dengar dari mulut Om Valens.
Namun, bukan Om Valens jika berhenti menulis. Meski Om Valens pernah bilang dirinya telah lelah, Om Valens masih tetap menulis. Lima hari berikutnya, bocah kecil itu bisa membaca tulisan Om Valens. Dengan titel Probo75, ia ingin mengungkapkan selamat ulang tahun untuk pengusaha pribumi, Probo Sutedjo.
Di usianya yang mendekati senja, tidak menjadi halangan bagi Om Valens untuk berbuat terbaik. Keyakinan yang dimiliki itu diakuinya sebagai semangat bagi Om Va-lens. Entah, mungkin Om Valens hanya menyemangati si Bocah kecil itu atau memang benar-benar terjadi.
Keyakinan untuk selalu bisa dan tidak mau kalah dengan orang lain itu menjadikan Om Valens sebagai seorang pekerja yang totalitas. Makanya, tidak heran jika minggu itu Om Valens masih sering terlihat bermalam di kantor. Atau, paling tidak sering pulang larut malam. Lihat saja, kisah-kisah Om Valens yang pernah ditulis kawan-kawannya. Om Valens terlihat sebagai sosok pekerja yang tidak pernah menyerah.
***
Kini, baru 40 hari bocah kecil itu, yang tidak lain adalah aku, Hadi, baru men-genalnya, di saat itu juga Om Valens meninggalkannya. Om sebagai guru dan ayahku telah tiada. Namun, hatiku akan selalu ada ruang untuk mengenang namamu, Om Valens.
Om, istirahat dengan tenang. Aku di sini akan selalu berusaha untuk menjadi wartawan yang seperti Om inginkan. Dan.. kan selalu ku ingat pesan Om, "you juga punya Sindrome Napoleon,* hati-hati itu," ucapnya, lirih.
***
* Sindrome Napoleon hanyalah sebutan dan kiasan sifat seseorang terhadap sifat sombong. Sindrome ini menyerang dengan meracuni pikiran "bahwa aku lebih mampu dari yang lain". Anehnya, penyakit ini ser-ing meracuni orang-orang yang bertubuh kecil, seperti Napoleon Bonaperte, seorang prajurit biasa yang berhasil menjadi Raja Prancis dan terobsesi menaklukkan seluruh daratan Eropa.
Jul 23, '05 5:37 AM
Sumber http://hadisuprapto.multiply.com/journal/item/2/_Om_Valens_dan_Sindrome_Napoleon
Tawang, 16 Maret
Pagi yang cerah itu, seorang bocah kecil berdiri sebuah peron Stasiun Tawang. Menunggu Fajar Utama, sebuah angkutan rakyat jurusan Semarang-Jakarta. Ia datang 30 menit lebih awal, sebelum kereta berangkat, jam delapan pagi. Hiruk pikuk stasiun itu tidak membuatnya gerang. Ia santai, lebih pada kekosongan pikiran.
Mengenakan kaos hitam dipadu celana cokelat muda, anak itu duduk. Sebuah ko-ran lokal yang sedang memberitakan akuisisi perusahaan rokok di Surabaya dipegangnya. Namun, terlihat bocah cilik itu tidak serius dalam membacanya. Pandangannya kosong. Kegembiraan, kesedihan, dan bimbang, bercampur menjadi satu.
Dua hari yang lalu, dalam sebuah prosesi pemakaman, bocah cilik itu menerima telepon dari sebuah kantor majalah di Jakarta. Alamat yang diberi tidak dicatatnya sebab tidak memungkinkan. Hanya tetpon konfirmasinya saja yang ia ingat-ingat, 021 314 2557.
Dengan modal informasi telepon dari kantor tersebut, ia berangkat. Membulatkan tekad dalam citanya, menjadi waratawan. Anak lugu itu dengan pede-nya ke Jakarta tanpa alamat. Ia hanya punya telepon konfirmasinya, itu saja. Itupun sedari kemarin su-dah dicoba dihubunginya, tapi belum satu pun tersambung. Namun bocah kecil itu tidak berhenti di situ. Ia tetap ngotot ke Jakarta.
Di kereta pun ia bimbang, apalagi satu-satunya alamat yang ia punya itu, belum bisa dihubungi. Hanya mesin penjawab saja yang terdengar. Berlahan ia coba terus den-gan HP yang super gedenya. Rupanya Tuhan tidak tega melihat makhluknya berjalan tanpa tujuan. Di tengah perjalanan, kantor itu berhasil ia hubungi, dan alamat pun ia dapatkan.
***
Bocah cilik itu sudah merasakan Jakarta. Cita-citanya sebagai wartawan di am-bang pintu. Bersama 10 anak lainnya, ia masuk di salah satu ruangan kantor majalah Prospektif. Di situ ia ditempa selama dua minggu oleh tiga wartawan senior. Entah siapa mereka, hari pertama bocah itu belum mengenalnya.
Mungkin ini penempaan jurnalis yang paling membekas. Bocah cilik itu di tanyai oleh satu di antara tiga trainers itu "apa itu berita?" Itu awal kali dialognya. Setelah be-berapa patah kata keluar darinya, bocah kecil yang belum tahu Jakarta itu disuruh turun ke lapangan. "Lihatlah apa yang terjadi di TIM, you tuliskan, you deskripsikan secara detail," perintahnya. Hingga sore, bocah itu di lapangan tanpa tahu arah. Ia hanya bisa merenungi, mengingat apa yang dilihatnya, tanpa tahu apa yang akan ditulisnya, nanti.
Namun, di hari kedua bocah lugu itu sudah mulai ngerti. Laki-laki paruh baya itu tidak lain adalah Valens Goa Doy. Seorang jurnalis terkenal, jebolan Kompas. Dialah yang menjadikan Kompas eksklusif di berita olahraganya, sekiran tahun 80-an.
Sapanya akrab, membuat bocah kecil itu merasa terlindungi. Om Valens, laki-laki itu sering disapa.
Hari demi hari Om Valens mengajar dengan sabar bocah kecil itu. Om Valens memberi tahu konsep berita komprehensif, dan bagaimana cara penerapannya. Sungguh jelas apa yang disampaikan Om Valens. Meski penjelasannya sangat cepat, Om Valens bisa memberikan gambaran pada wartawan pemula untuk memulai tugas kewartawanan-nya, seperti bocah kecil itu.
Om Valens bisa dibilang sebagai guru jurnalis yang favorit. Sebab Om Valens memiliki sifat lain, menghargai anak didik. Selain itu, Om Valens juga jago meyakinkan orang untuk bisa melakukan sesuatu. Meyakinkan bocah kecil untuk bisa menulis apa yang dia lihat, dia rasakan indra, dan dia alami.
Rabu, 27 April
Om Valens entah dari mana. Hanya satu yang bocah kecil tahu, Om terlihat lelah. Tapi rasa lelah itu rupanya tidak menjadikan Om Valens lupa menyapa anak Semarang itu. Bocah kecil itu memang sering disapa "Anak Semarang". Mungkin karena dia satu-satunya anak didik satu angkatan yang datang dari Semarang. Dengan mengenakan pa-kaian khasnya, kaos putih berkerah dipadu dengan celana gelap berkalung handuk putih itu menyapa melalui senyum.
Saat menunggu lift, Om Valens sudah memunculkan sikap sumehnya. Ia me-nepuk-nepuk bahu bocah kecil yang kumal itu, "Hai.." Om Valens menyapanya dulu. "Sore Om, gimana kabarnya?" tanya bocah kecil yang waktu itu habis liputan. "Baik, you gimana?" percakapan itu pun berlanjut, hingga bocah kecil itu minta beberapa tulisan Om Valens untuk dibacanya. "Om sudah tua lah, capai tubuh ini." Jawabnya kepada bocah kecil itu.
Menepuk bahu bukanlah kebiasaan asing bagi Om Valens ketika bertemu anak didiknya. Mungkin ini salah satu yang menjadikan Om Valens terlihat lebih akrab dengan anak didiknya. Bukan hanya itu, lelaki yang masih setia dengan HP Nokia 3315 itu juga sebagai sosok manusia "pekerja keras". Om Valens tidak pernah mengeluh. Apalagi sampai mengucapkan hal seperti itu. Sebuah kalimat yang bocah kecil dengar dari mulut Om Valens.
Namun, bukan Om Valens jika berhenti menulis. Meski Om Valens pernah bilang dirinya telah lelah, Om Valens masih tetap menulis. Lima hari berikutnya, bocah kecil itu bisa membaca tulisan Om Valens. Dengan titel Probo75, ia ingin mengungkapkan selamat ulang tahun untuk pengusaha pribumi, Probo Sutedjo.
Di usianya yang mendekati senja, tidak menjadi halangan bagi Om Valens untuk berbuat terbaik. Keyakinan yang dimiliki itu diakuinya sebagai semangat bagi Om Va-lens. Entah, mungkin Om Valens hanya menyemangati si Bocah kecil itu atau memang benar-benar terjadi.
Keyakinan untuk selalu bisa dan tidak mau kalah dengan orang lain itu menjadikan Om Valens sebagai seorang pekerja yang totalitas. Makanya, tidak heran jika minggu itu Om Valens masih sering terlihat bermalam di kantor. Atau, paling tidak sering pulang larut malam. Lihat saja, kisah-kisah Om Valens yang pernah ditulis kawan-kawannya. Om Valens terlihat sebagai sosok pekerja yang tidak pernah menyerah.
***
Kini, baru 40 hari bocah kecil itu, yang tidak lain adalah aku, Hadi, baru men-genalnya, di saat itu juga Om Valens meninggalkannya. Om sebagai guru dan ayahku telah tiada. Namun, hatiku akan selalu ada ruang untuk mengenang namamu, Om Valens.
Om, istirahat dengan tenang. Aku di sini akan selalu berusaha untuk menjadi wartawan yang seperti Om inginkan. Dan.. kan selalu ku ingat pesan Om, "you juga punya Sindrome Napoleon,* hati-hati itu," ucapnya, lirih.
***
* Sindrome Napoleon hanyalah sebutan dan kiasan sifat seseorang terhadap sifat sombong. Sindrome ini menyerang dengan meracuni pikiran "bahwa aku lebih mampu dari yang lain". Anehnya, penyakit ini ser-ing meracuni orang-orang yang bertubuh kecil, seperti Napoleon Bonaperte, seorang prajurit biasa yang berhasil menjadi Raja Prancis dan terobsesi menaklukkan seluruh daratan Eropa.
Jul 23, '05 5:37 AM
Sumber http://hadisuprapto.multiply.com/journal/item/2/_Om_Valens_dan_Sindrome_Napoleon