"Akhirnya saya ketahuan orang tua sewaktu menjadi wartawan lepas di Kompas diajak Valens G. Doy. Waktu itu saya masih kelas 3 SMP. Saya menulis hampir setiap hari menggunakan nama Reza". (Radhar Panca Dahana)
Anda pasti sudah sering melihat, mendengar, dan membaca karya Radhar Panca Dahana. Dia yang mengaku peternak ikan dan pengemar yang indah-indah ini adalah dosen di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia dan lebih dikenal masyarakat sebagai seorang budayawan. Radhar Panca Dahana sudah hidup dalam budaya Indonesia sejak umur 5 tahun. Di usia tersebut dia sudah mulai punya sikap, menulis, menghilang dari rumah, dan sebagainya.
Kendati demikian Radhar mengatakan sampai saat ini masih mencari identitas diri, termasuk bangsa Indonesia pun masih terus mencari identitasnya. Banyaknya konflik saat ini antara lain karena proses identifikasi diri tersebut. Puncak dari ketidakjelasan identitas adalah tindakan terorisme seperti bom bunuh diri. Itu karena mereka disoriented, tidak mampu mengidentifikasi sesuatu secara riil, nyata, dan benar. Dinas intelejen sangat terbiasa memanfaatkan orang-orang frustasi yang sudah sangat disoriented itu.
Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Radhar Panca Dahana.
Apa yang terjadi pada Anda sewaktu kecil ?
Saya anak terkecil dari 7 bersaudara. Saya selalu mendapat tekanan dari saudara-saudara saya yang semuanya relatif otoriter karena mengikuti jejak Bapak yang jebolan Taman Siswa. Ditambah lagi dengan kemiskinan yang kami alami. Sampai akhirnya saya mencoba mengekspresikan diri sendiri melalui cara yang lain namun hal tersebut tidak dikehendaki oleh keluarga terutama orang tua saya.
Apa saluran ekspresinya?
Melalui kesenian. Sejak awal saya ditolak untuk melakukan kreatifitas kesenian sehingga pada periode akhir 1970-an dan awal 1980-an saya menggunakan nama samaran Reza Mortafilini. Ini karena takut ketahuan oleh orang tua saya. Orang-orang seperti Rendra, Arifin, Teguh Karya, Jajang sampai sekarang masih memanggil saya Reza.
Sewaktu Anda menjadi Reza Mortafilini, Apakah Anda sudah dikenal oleh orang-orang itu?
Ya, kami sudah saling mengenal dengan baik. Saya memulainya di dunia jurnalistik.
Berapa usia Anda saat itu?
Saya mulai sejak kelas dua SMP. Namun akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke nama asli saya. Perselisihan dengan orang tua mengenai karir di jalur kesenian inilah yang akhirnya mendorong saya, saat itu masih duduk di kelas dua SMP, keluar dari rumah. Saya masih ingat kalimat terakhir yang saya ucapkan dengan mulut masih berdarah, "Tidak ada demokrasi di sini." Sebenarnya saya tidak mengerti arti kalimat itu. Saya hanya terpengaruh bacaan saja.
Apakah dengan keluar dari rumah membuat Anda keluar dari sekolah juga?
Tidak, saya tetap bersekolah. Saat itu saya bekerja di majalah Hai yang masih dipegang oleh Mas Arswendo. Saat itu majalah Hai punya sisipan yang namanya "Koma", Koran Remaja. Di sana, selain sebagai wartawan saya juga menjadi penata artistik. Sebagai wartawan saya menggunakan nama Reza sedangkan sebagai penata artistik saya menggunakan nama Radar. Honornya pada saat itu sekitar Rp 2.500 per bulan. Dengan honor tersebut kadang-kadang saya tidak makan 2 - 3 hari. Namun hal itu tidak membuat saya berhenti sekolah.
Mengapa Anda kabur dari rumah? Apakah orang di rumah Anda tidak ada yang mengapresiasi kegiatan-kegiatan yang Anda lakukan?
Akhirnya saya ketahuan orang tua sewaktu menjadi wartawan lepas di Kompas diajak Valens G. Doy. Waktu itu saya masih kelas 3 SMP. Saya menulis hampir setiap hari menggunakan nama Reza. Suatu hari ada yang menghubungi kantor redakur Kompas dan mengatakan, "Yang namanya Reza itu anak saya, dia tidak boleh ikut-ikutan." Ternyata yang menelpon adalah ayah saya.
Bagaimana sikap keluarga Anda sekarang?
Saat ini mereka mau tidak mau harus menerima manusia seperti saya ini.
Anda sudah punya identitas dan mereka menemukannya sekarang. Masalah identitas ini banyak ditanyakan kepada Anda termasuk kalau kita pindah tema dalam lingkup masyarakat luas seperti identitas manusia Indonesia terutama dalam masa 5 tahun terakhir. Apa komentar Anda mengenai yang terjadi pada manusia Indonesia sekarang ini?
Saya tidak khawatir. Saya juga belum menemukan identitas saya. Jika Bapak atau Ibu saya menemukan identitas saya, maka identitas itu adalah identitas yang mereka perkirakan. Bagi mereka, Radhar adalah bentuk eksistensi seperti ini yang barangkali mereka idealisir melalui pemahaman-pemahaman tradisional mereka. Saya pribadi merasa belum menemukan identitas saya.
Tapi Anda sudah memiliki identitas sebagai seorang yang kreatif, bisa menulis, dan sebagainya.
Itu bukan identitas. Semua orang bisa memilikinya.
Apakah itu berarti semua orang tidak memiliki identitas?
Identitas pertama yang ditemukan oleh seseorang adalah secara geografis. Ini ditunjukan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kedua, dia menamakan dirinya orang Jawa, orang Indonesia, dan lain-lain. Tapi apa itu orang jawa dan orang Indonesia? Untuk yang pertama, saya punya KTP, NPWP. Tapi untuk yang kedua, saya tidak bisa menjelaskan apapun. Bapak dan Ibu saya Jawa tapi saya lahir dan dibesarkan di Jakarta. Apa arti Jawa buat saya? Apa arti Indonesia buat saya?
Jadi dalam kehidupan sehari-hari, dimana kelemahannya kalau orang tidak punya identitas?
Jika orang tidak punya identitas maka dia tidak tahu ada di mana, dia tidak tahu dari mana, dan dia tidak tahu ke mana.
Apa itu produk dari masyarakat atau sangat pribadi sifatnya?
Ini adalah produk masyarakat. Kita ini memang korban. Untuk orang seperti saya yang identitas kulturalnya tidak jelas maka saya mencari ibu kultural ke mana-mana seperti di pantai, hutan, buku-buku, atau tempat-tempat lain. Sedangkan untuk bapak kultural, saya mencari di diskotik, ruang parlemen, di mana saja. Jadi saya tidak jelas manusia Indonesia itu seperti apa. Orang yang berasal dari kultur yang jelas seperti orang Padang, Madura atau Jawa akan mengalami situasi yang sama ketika ke-Padang-an, ke-Madura-annya, atau ke-Jawa-annya itu tidak bisa diekspresikan secara tuntas dan optimal dalam situasi sekarang.
Apakah Anda bahagia tidak punya identitas, atau ingin punya identitas, atau it doesn't matter?
Saya kira semua orang menginginkan identitas itu. Hal itu adalah roots atau akar kita. Kerinduan semacam itu yang membuat pencarian-pencarian saya mengenai makna Indonesia, diri sendiri, dan manusia terus berjalan.
Apa pencarian identitas ini dipersulit karena Indonesia heterogen dan plural?
Pertama, saya kira karena kita tidak memahami itu dengan baik. Kedua, ketika orang memahaminya, mereka tidak bisa menerimanya dengan baik. Bentuk penerimaan itu, misalnya, pemahaman bahwa kita bukan satu sosok yang utuh. Jawa itu bukan sosok yang utuh tapi merupakan serakan-serakan atau mozaik yang bisa saja satu persatu pecah dan kapan saja bisa disusun lagi. Tapi dalam bayangan ideologis dan tradisi, kita selalu membayangkan diri kita satu yang utuh. Bahkan sangat dipaksakan secara ideologis. Itu membuat kita lupa terhadap kenyataan kita sendiri.
Jadi menurut Anda, apakah nasionalisme dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) justru menyulitkan atau memperjelas dalam proses pembentukan identitas?
Itu justru sangat menyulitkan karena kita tidak bisa memahami dengan baik. Belum ada konsensus mengenai hal itu. Kalaupun ada konsensus itu sifatnya dipaksakan dari kekuasaaan. Sementara secara menyeluruh, sementara rakyat belum memiliki pemahaman yang benar.
Apakah perlu ada sebuah identitas nasional atau silahkan saja cari sendiri-sendiri?
Kalau mau membentuk identitas nasional, kita membutuhkan sebuah konsensus yang luar biasa. Itu perjalanan yang sangat panjang. Kita akan menuju atau ke sana atau tidak, saya tidak perduli.
Apakah bagus atau tidak melupakan negara kita?
Saya kira persoalannya bukan bagus atau tidak bagus tapi seberapa jauh indentifikasi itu memberi kesempatan kita untuk mengoptimilisasi atau mengaktualisasi kemampuan-kemampuan kita yang terbaik.
Dan Anda melihat itu dari perspektif kemampuan individu bukan dari kegunaannya bagi masyarakat?
Pada akhirnya optimalisasi kebaikan kita sebagai individu itu hablum minallah, hablum minannas. Artinya, menyebar juga. Kalau hanya untuk kepentingan yang sifatnya personal saya kira itu tidak aktual sebagai manusia, tidak optimal sebagai manusia. Jadi manusia pada hakikatnya makhluk sosial.
Jadi orang yang cuek seperti Anda masih juga sosial ?
Saya sangat sosial karena saya selalu berbuat untuk orang lain. Apakah batasannya itu cukup wilayah Pamulang saja, Jakarta, Indonesia, atau regional itu merupakan pilihan masing-masing orang.
Anda malah tidak memberikan definisi pada diri sendiri?
Saya kira bila saya berbuat lebih banyak dan lebih luas itu jauh lebih baik. Jadi itu tidak ada batasannya.
Jadi kita boleh berguna walaupun tidak bisa mendefinisikan diri kita sendiri?
Kita sama-sama mencari karena tidak ada satu orang pun bisa mengklaim bahwa dirinya jelas. Itu sama saja dengan orang tidak bisa mengklaim bahwa dirinya Indonesia. Sebab, ketika dia menetapkan dirinya Indonesia dan bertemu dengan Indonesia yang lain masih ada konflik karena pemahamannya sangat berbeda diantara kita.
Anda bicara mengenai konflik yang ada sekarang itu sebagai sesuatu yang berasal dari identifikasi itu?
Iya, itu antara lainnya. Dalam mengidentifikasi diri, mengidentifikasi situasi, masa depan, masa lalu, dan segalanya.
Kalau teroris dan pelaku bom bunuh diri, apakah berarti jelas identitasnya?
Kalau teroris itu disoriented
Bukankah dia tajam sekali karena dirinya benar dan yang lain salah maka dibom saja?
Tidak, itu puncak dari ketidakjelasan. Itu ada pada terorisme karena dia tidak mampu mengidentifikasi sesuatu secara riil, nyata, dan benar buat dia.
Saya ingat pada sekitar tahun 2000-an sewaktu ada bom pertama di Kedutaan Besar Philipina di Jakarta. Ketika itu Indonesia sudah mulai kacau dan setelah itu jadi banyak pemboman. Menurut Anda, mengapa keadaannya berubah sehingga Indonesia sekarang dicap sebagai negara teroris?
Saya memiliki dua cara untuk melihat itu. Kedua-duanya saya gunakan walaupun bertentangan. Satu secara akademik dan satu lagi secara spekulasi. Kalau secara akademik, salah satu yang paling menarik adalah yang mengatakan citra Islam yang 90% dimiliki Indonesia sudah ditangkap secara salah oleh manusia-manusia atau kelompok lain di luar Islam.
Kini di Amerika ada satu trend baru untuk mempromosikan Islam lewat komedi. Jadi anak-anak muda muncul dengan one man show-nya dengan standing up komedinya.
Anda pasti sudah sering melihat, mendengar, dan membaca karya Radhar Panca Dahana. Dia yang mengaku peternak ikan dan pengemar yang indah-indah ini adalah dosen di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia dan lebih dikenal masyarakat sebagai seorang budayawan. Radhar Panca Dahana sudah hidup dalam budaya Indonesia sejak umur 5 tahun. Di usia tersebut dia sudah mulai punya sikap, menulis, menghilang dari rumah, dan sebagainya.
Kendati demikian Radhar mengatakan sampai saat ini masih mencari identitas diri, termasuk bangsa Indonesia pun masih terus mencari identitasnya. Banyaknya konflik saat ini antara lain karena proses identifikasi diri tersebut. Puncak dari ketidakjelasan identitas adalah tindakan terorisme seperti bom bunuh diri. Itu karena mereka disoriented, tidak mampu mengidentifikasi sesuatu secara riil, nyata, dan benar. Dinas intelejen sangat terbiasa memanfaatkan orang-orang frustasi yang sudah sangat disoriented itu.
Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Radhar Panca Dahana.
Apa yang terjadi pada Anda sewaktu kecil ?
Saya anak terkecil dari 7 bersaudara. Saya selalu mendapat tekanan dari saudara-saudara saya yang semuanya relatif otoriter karena mengikuti jejak Bapak yang jebolan Taman Siswa. Ditambah lagi dengan kemiskinan yang kami alami. Sampai akhirnya saya mencoba mengekspresikan diri sendiri melalui cara yang lain namun hal tersebut tidak dikehendaki oleh keluarga terutama orang tua saya.
Apa saluran ekspresinya?
Melalui kesenian. Sejak awal saya ditolak untuk melakukan kreatifitas kesenian sehingga pada periode akhir 1970-an dan awal 1980-an saya menggunakan nama samaran Reza Mortafilini. Ini karena takut ketahuan oleh orang tua saya. Orang-orang seperti Rendra, Arifin, Teguh Karya, Jajang sampai sekarang masih memanggil saya Reza.
Sewaktu Anda menjadi Reza Mortafilini, Apakah Anda sudah dikenal oleh orang-orang itu?
Ya, kami sudah saling mengenal dengan baik. Saya memulainya di dunia jurnalistik.
Berapa usia Anda saat itu?
Saya mulai sejak kelas dua SMP. Namun akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke nama asli saya. Perselisihan dengan orang tua mengenai karir di jalur kesenian inilah yang akhirnya mendorong saya, saat itu masih duduk di kelas dua SMP, keluar dari rumah. Saya masih ingat kalimat terakhir yang saya ucapkan dengan mulut masih berdarah, "Tidak ada demokrasi di sini." Sebenarnya saya tidak mengerti arti kalimat itu. Saya hanya terpengaruh bacaan saja.
Apakah dengan keluar dari rumah membuat Anda keluar dari sekolah juga?
Tidak, saya tetap bersekolah. Saat itu saya bekerja di majalah Hai yang masih dipegang oleh Mas Arswendo. Saat itu majalah Hai punya sisipan yang namanya "Koma", Koran Remaja. Di sana, selain sebagai wartawan saya juga menjadi penata artistik. Sebagai wartawan saya menggunakan nama Reza sedangkan sebagai penata artistik saya menggunakan nama Radar. Honornya pada saat itu sekitar Rp 2.500 per bulan. Dengan honor tersebut kadang-kadang saya tidak makan 2 - 3 hari. Namun hal itu tidak membuat saya berhenti sekolah.
Mengapa Anda kabur dari rumah? Apakah orang di rumah Anda tidak ada yang mengapresiasi kegiatan-kegiatan yang Anda lakukan?
Akhirnya saya ketahuan orang tua sewaktu menjadi wartawan lepas di Kompas diajak Valens G. Doy. Waktu itu saya masih kelas 3 SMP. Saya menulis hampir setiap hari menggunakan nama Reza. Suatu hari ada yang menghubungi kantor redakur Kompas dan mengatakan, "Yang namanya Reza itu anak saya, dia tidak boleh ikut-ikutan." Ternyata yang menelpon adalah ayah saya.
Bagaimana sikap keluarga Anda sekarang?
Saat ini mereka mau tidak mau harus menerima manusia seperti saya ini.
Anda sudah punya identitas dan mereka menemukannya sekarang. Masalah identitas ini banyak ditanyakan kepada Anda termasuk kalau kita pindah tema dalam lingkup masyarakat luas seperti identitas manusia Indonesia terutama dalam masa 5 tahun terakhir. Apa komentar Anda mengenai yang terjadi pada manusia Indonesia sekarang ini?
Saya tidak khawatir. Saya juga belum menemukan identitas saya. Jika Bapak atau Ibu saya menemukan identitas saya, maka identitas itu adalah identitas yang mereka perkirakan. Bagi mereka, Radhar adalah bentuk eksistensi seperti ini yang barangkali mereka idealisir melalui pemahaman-pemahaman tradisional mereka. Saya pribadi merasa belum menemukan identitas saya.
Tapi Anda sudah memiliki identitas sebagai seorang yang kreatif, bisa menulis, dan sebagainya.
Itu bukan identitas. Semua orang bisa memilikinya.
Apakah itu berarti semua orang tidak memiliki identitas?
Identitas pertama yang ditemukan oleh seseorang adalah secara geografis. Ini ditunjukan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kedua, dia menamakan dirinya orang Jawa, orang Indonesia, dan lain-lain. Tapi apa itu orang jawa dan orang Indonesia? Untuk yang pertama, saya punya KTP, NPWP. Tapi untuk yang kedua, saya tidak bisa menjelaskan apapun. Bapak dan Ibu saya Jawa tapi saya lahir dan dibesarkan di Jakarta. Apa arti Jawa buat saya? Apa arti Indonesia buat saya?
Jadi dalam kehidupan sehari-hari, dimana kelemahannya kalau orang tidak punya identitas?
Jika orang tidak punya identitas maka dia tidak tahu ada di mana, dia tidak tahu dari mana, dan dia tidak tahu ke mana.
Apa itu produk dari masyarakat atau sangat pribadi sifatnya?
Ini adalah produk masyarakat. Kita ini memang korban. Untuk orang seperti saya yang identitas kulturalnya tidak jelas maka saya mencari ibu kultural ke mana-mana seperti di pantai, hutan, buku-buku, atau tempat-tempat lain. Sedangkan untuk bapak kultural, saya mencari di diskotik, ruang parlemen, di mana saja. Jadi saya tidak jelas manusia Indonesia itu seperti apa. Orang yang berasal dari kultur yang jelas seperti orang Padang, Madura atau Jawa akan mengalami situasi yang sama ketika ke-Padang-an, ke-Madura-annya, atau ke-Jawa-annya itu tidak bisa diekspresikan secara tuntas dan optimal dalam situasi sekarang.
Apakah Anda bahagia tidak punya identitas, atau ingin punya identitas, atau it doesn't matter?
Saya kira semua orang menginginkan identitas itu. Hal itu adalah roots atau akar kita. Kerinduan semacam itu yang membuat pencarian-pencarian saya mengenai makna Indonesia, diri sendiri, dan manusia terus berjalan.
Apa pencarian identitas ini dipersulit karena Indonesia heterogen dan plural?
Pertama, saya kira karena kita tidak memahami itu dengan baik. Kedua, ketika orang memahaminya, mereka tidak bisa menerimanya dengan baik. Bentuk penerimaan itu, misalnya, pemahaman bahwa kita bukan satu sosok yang utuh. Jawa itu bukan sosok yang utuh tapi merupakan serakan-serakan atau mozaik yang bisa saja satu persatu pecah dan kapan saja bisa disusun lagi. Tapi dalam bayangan ideologis dan tradisi, kita selalu membayangkan diri kita satu yang utuh. Bahkan sangat dipaksakan secara ideologis. Itu membuat kita lupa terhadap kenyataan kita sendiri.
Jadi menurut Anda, apakah nasionalisme dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) justru menyulitkan atau memperjelas dalam proses pembentukan identitas?
Itu justru sangat menyulitkan karena kita tidak bisa memahami dengan baik. Belum ada konsensus mengenai hal itu. Kalaupun ada konsensus itu sifatnya dipaksakan dari kekuasaaan. Sementara secara menyeluruh, sementara rakyat belum memiliki pemahaman yang benar.
Apakah perlu ada sebuah identitas nasional atau silahkan saja cari sendiri-sendiri?
Kalau mau membentuk identitas nasional, kita membutuhkan sebuah konsensus yang luar biasa. Itu perjalanan yang sangat panjang. Kita akan menuju atau ke sana atau tidak, saya tidak perduli.
Apakah bagus atau tidak melupakan negara kita?
Saya kira persoalannya bukan bagus atau tidak bagus tapi seberapa jauh indentifikasi itu memberi kesempatan kita untuk mengoptimilisasi atau mengaktualisasi kemampuan-kemampuan kita yang terbaik.
Dan Anda melihat itu dari perspektif kemampuan individu bukan dari kegunaannya bagi masyarakat?
Pada akhirnya optimalisasi kebaikan kita sebagai individu itu hablum minallah, hablum minannas. Artinya, menyebar juga. Kalau hanya untuk kepentingan yang sifatnya personal saya kira itu tidak aktual sebagai manusia, tidak optimal sebagai manusia. Jadi manusia pada hakikatnya makhluk sosial.
Jadi orang yang cuek seperti Anda masih juga sosial ?
Saya sangat sosial karena saya selalu berbuat untuk orang lain. Apakah batasannya itu cukup wilayah Pamulang saja, Jakarta, Indonesia, atau regional itu merupakan pilihan masing-masing orang.
Anda malah tidak memberikan definisi pada diri sendiri?
Saya kira bila saya berbuat lebih banyak dan lebih luas itu jauh lebih baik. Jadi itu tidak ada batasannya.
Jadi kita boleh berguna walaupun tidak bisa mendefinisikan diri kita sendiri?
Kita sama-sama mencari karena tidak ada satu orang pun bisa mengklaim bahwa dirinya jelas. Itu sama saja dengan orang tidak bisa mengklaim bahwa dirinya Indonesia. Sebab, ketika dia menetapkan dirinya Indonesia dan bertemu dengan Indonesia yang lain masih ada konflik karena pemahamannya sangat berbeda diantara kita.
Anda bicara mengenai konflik yang ada sekarang itu sebagai sesuatu yang berasal dari identifikasi itu?
Iya, itu antara lainnya. Dalam mengidentifikasi diri, mengidentifikasi situasi, masa depan, masa lalu, dan segalanya.
Kalau teroris dan pelaku bom bunuh diri, apakah berarti jelas identitasnya?
Kalau teroris itu disoriented
Bukankah dia tajam sekali karena dirinya benar dan yang lain salah maka dibom saja?
Tidak, itu puncak dari ketidakjelasan. Itu ada pada terorisme karena dia tidak mampu mengidentifikasi sesuatu secara riil, nyata, dan benar buat dia.
Saya ingat pada sekitar tahun 2000-an sewaktu ada bom pertama di Kedutaan Besar Philipina di Jakarta. Ketika itu Indonesia sudah mulai kacau dan setelah itu jadi banyak pemboman. Menurut Anda, mengapa keadaannya berubah sehingga Indonesia sekarang dicap sebagai negara teroris?
Saya memiliki dua cara untuk melihat itu. Kedua-duanya saya gunakan walaupun bertentangan. Satu secara akademik dan satu lagi secara spekulasi. Kalau secara akademik, salah satu yang paling menarik adalah yang mengatakan citra Islam yang 90% dimiliki Indonesia sudah ditangkap secara salah oleh manusia-manusia atau kelompok lain di luar Islam.
Kini di Amerika ada satu trend baru untuk mempromosikan Islam lewat komedi. Jadi anak-anak muda muncul dengan one man show-nya dengan standing up komedinya.
Apakah komedi yang bersimpati atau melecehkan?
Tidak. Orang-orang Islam ini mencoba mencitrakan Islam dengan cara yang berbeda. Misalnya, muncul seorang bernama Hasan di sebuah panggung di New York dan mengatakan, "Saya menyesali di Arab Saudi dan negara Arab lainnya pemerintahan atau kekuasaan diwariskan berdasarkan keturunan. Bagaimana mungkin pada Abad 21 ini masih ada kejadian abad 15 yaitu orang menjadi presiden hanya karena keturunan."
Dia berbicara itu di Amerika. Artinya, ada pengubahan citra. Itu adalah satu terminologi atau satu perspektif yang diambil secara akademik. Kalau yang bertentangan dengan itu ada satu gerakan konspiratif yang buat saya ini spekulatif dan itu perlu diperhitungkan juga.
Konspirasi siapa dan terhadap siapa?
Konspirasi dari satu kekuatan terutama ekonomi dan politik dan di belakang ini ada militer dan kekuatan global untuk menguasi dunia dan mempertahankan dominasi mereka yang selama ini ada.
Apakah itu untuk minyak dan sebagainya?
Dan sebagainya. Jadi lebih luas dari itu. Terorisme dan yang lain itu adalah sebagian bentuk dari rekayasa itu, dari perencanaan-perencanaan itu. Ketika Amerika menjadi negara No.1 tapi kehilangan satu hal yang menjadi motivasi bagi bangsanya untuk bergerak maju.
Apa itu?
Enemy. Ketika Rusia sudah hancur dan Cina bekerja sama dengan yang lainnya, maka common enemy (red: musuh bersama) ini yang digembar-gemborkan.
Mengapa harus menciptakan konspirasi karena mereka sudah dominan?
Mereka harus mempertahankannya karena ada gerakan-gerakan kuat terutama di lapisan bawah dan menengah yang begitu kuat pressure-nya sehingga akan bisa menjatuhkan mereka juga.
Tapi gerakan kuat melawan mereka, apakah itu dari teroris atau dari orang biasa?
Kalau teroris itu ciptaan mereka dalam teori konspirasi ini. Kalau ini dari gerakan-gerakan masyarakat sipil dari akar rumput, bukan yang rekayasa seperti green peace. Tapi ini yang riil dari masyarakat yang tidak puas, yang frustrasi, dan lainnya.
Jadi mereka mau menyibukkan orang lain saja supaya ada alasan mereka pegang kekuasaan?
Iya betul untuk mengalihkan perhatian dan itu sering terjadi. Misalnya di Eropa Timur sewaktu keluar dari Uni Soviet. Mereka tidak menggunakan kata terorisme tapi menggunakan kata korupsi. Korupsi di wilayah Eropa Timur itu menjadi kesibukan luar biasa buat orang-orang sehingga lupa pada esensi persoalan-persoalan ekonomi, politik dan kultural yang sebenarnya.
Menarik. Di Indonesia juga ada gejala mengalihkan perhatian. Apakah ini proyek lokal atau bagian dari konspirasi global?
Pertanyaan itu tidak selayaknya Anda jawab atau saya jawab karena sudah ada yang bisa menjawab.
Saat ini suka ada isu muncul yang membuat orang sibuk dan kacau pikiran kemudian melupakan segalanya. Misalnya, sebentar lagi tarif telepon naik 100%, Tarif Dasar Listrik (TDL) naik 40%. Luar biasa yang dilakukan kabinet sekarang ini. Kabinet pemerintahan mana pun akan hancur karena kebijakan seperti itu.
Mengapa yang sekarang tidak hancur?
Tidak hancur karena lebih canggih. Mereka belajar di pemerintahan sebelumnya.
Apakah demokratisasi dan gerakan transparansi buah reformasi? Apakah itu bukan penyelamat bangsa.
Itu bukan buah reformasi, itu hanya lip service semata. Saya kira itu hanya suatu kedok yang cantik dari wajah yang buruk.
Ini agar kesimpulannya benar. Jadi ada konspirasi orang-orang kuat di dunia untuk untuk mengalihkan perhatian orang sehingga kekuasaaan itu bisa bertahan terus. Tapi kekuasaan itu tidak tahu berskala internasional atau nasional, blok Barat atau timur.
Semua terlibat dengan para cooperator. Tidak ada blok, tidak ada jurusan, tidak ada mata angin, tidak ada maju atau belakang. Semua elit terlibat langsung atau tidak langsung
Apakah ada orang atau kekuatan yang bisa diharapkan?
Rakyat itu kekuatan sesungguhnya. Yang kurang dari kita adalah memahami rakyat dan potensi-potensi apa yang padanya.
Tapi rakyat mengerti mengenai ini. Buktinya, Anda diundang ke mana-mana dan tidak dianggap orang gila.
Tidak tahu juga.
Untuk jangka pendek, apa yang sedang Anda lakukan?
Survive dalam hidup. Survive untuk bisa berbuat lebih. Itu saja.
Saya menangkap itu sebagai ucapan pesimis.
Tidak. Dalam tekanan luar biasa dari berbagai bidang ekonomi, politik, sosial, budaya seperti sekarang, kita perlu survive dulu. Lalu setelahnya baru berpikir berbuat lebih dari itu. Pada saat sekarang survive sebagai suatu prestasi untuk kita sebagai rakyat.
Tadi Anda mengatakan pada saat sekarang, apakah pernah ada saat yang lebih bagus dari saat ini?
Kita tidak mau romantis untuk seperti itu. Membayangkan hal di masa lalu tidak akan memberikan apa-apa di masa depan.
Edisi 517 06 Feb 2006
http://www.perspektifbaru.com/wawancara/517
Tidak. Orang-orang Islam ini mencoba mencitrakan Islam dengan cara yang berbeda. Misalnya, muncul seorang bernama Hasan di sebuah panggung di New York dan mengatakan, "Saya menyesali di Arab Saudi dan negara Arab lainnya pemerintahan atau kekuasaan diwariskan berdasarkan keturunan. Bagaimana mungkin pada Abad 21 ini masih ada kejadian abad 15 yaitu orang menjadi presiden hanya karena keturunan."
Dia berbicara itu di Amerika. Artinya, ada pengubahan citra. Itu adalah satu terminologi atau satu perspektif yang diambil secara akademik. Kalau yang bertentangan dengan itu ada satu gerakan konspiratif yang buat saya ini spekulatif dan itu perlu diperhitungkan juga.
Konspirasi siapa dan terhadap siapa?
Konspirasi dari satu kekuatan terutama ekonomi dan politik dan di belakang ini ada militer dan kekuatan global untuk menguasi dunia dan mempertahankan dominasi mereka yang selama ini ada.
Apakah itu untuk minyak dan sebagainya?
Dan sebagainya. Jadi lebih luas dari itu. Terorisme dan yang lain itu adalah sebagian bentuk dari rekayasa itu, dari perencanaan-perencanaan itu. Ketika Amerika menjadi negara No.1 tapi kehilangan satu hal yang menjadi motivasi bagi bangsanya untuk bergerak maju.
Apa itu?
Enemy. Ketika Rusia sudah hancur dan Cina bekerja sama dengan yang lainnya, maka common enemy (red: musuh bersama) ini yang digembar-gemborkan.
Mengapa harus menciptakan konspirasi karena mereka sudah dominan?
Mereka harus mempertahankannya karena ada gerakan-gerakan kuat terutama di lapisan bawah dan menengah yang begitu kuat pressure-nya sehingga akan bisa menjatuhkan mereka juga.
Tapi gerakan kuat melawan mereka, apakah itu dari teroris atau dari orang biasa?
Kalau teroris itu ciptaan mereka dalam teori konspirasi ini. Kalau ini dari gerakan-gerakan masyarakat sipil dari akar rumput, bukan yang rekayasa seperti green peace. Tapi ini yang riil dari masyarakat yang tidak puas, yang frustrasi, dan lainnya.
Jadi mereka mau menyibukkan orang lain saja supaya ada alasan mereka pegang kekuasaan?
Iya betul untuk mengalihkan perhatian dan itu sering terjadi. Misalnya di Eropa Timur sewaktu keluar dari Uni Soviet. Mereka tidak menggunakan kata terorisme tapi menggunakan kata korupsi. Korupsi di wilayah Eropa Timur itu menjadi kesibukan luar biasa buat orang-orang sehingga lupa pada esensi persoalan-persoalan ekonomi, politik dan kultural yang sebenarnya.
Menarik. Di Indonesia juga ada gejala mengalihkan perhatian. Apakah ini proyek lokal atau bagian dari konspirasi global?
Pertanyaan itu tidak selayaknya Anda jawab atau saya jawab karena sudah ada yang bisa menjawab.
Saat ini suka ada isu muncul yang membuat orang sibuk dan kacau pikiran kemudian melupakan segalanya. Misalnya, sebentar lagi tarif telepon naik 100%, Tarif Dasar Listrik (TDL) naik 40%. Luar biasa yang dilakukan kabinet sekarang ini. Kabinet pemerintahan mana pun akan hancur karena kebijakan seperti itu.
Mengapa yang sekarang tidak hancur?
Tidak hancur karena lebih canggih. Mereka belajar di pemerintahan sebelumnya.
Apakah demokratisasi dan gerakan transparansi buah reformasi? Apakah itu bukan penyelamat bangsa.
Itu bukan buah reformasi, itu hanya lip service semata. Saya kira itu hanya suatu kedok yang cantik dari wajah yang buruk.
Ini agar kesimpulannya benar. Jadi ada konspirasi orang-orang kuat di dunia untuk untuk mengalihkan perhatian orang sehingga kekuasaaan itu bisa bertahan terus. Tapi kekuasaan itu tidak tahu berskala internasional atau nasional, blok Barat atau timur.
Semua terlibat dengan para cooperator. Tidak ada blok, tidak ada jurusan, tidak ada mata angin, tidak ada maju atau belakang. Semua elit terlibat langsung atau tidak langsung
Apakah ada orang atau kekuatan yang bisa diharapkan?
Rakyat itu kekuatan sesungguhnya. Yang kurang dari kita adalah memahami rakyat dan potensi-potensi apa yang padanya.
Tapi rakyat mengerti mengenai ini. Buktinya, Anda diundang ke mana-mana dan tidak dianggap orang gila.
Tidak tahu juga.
Untuk jangka pendek, apa yang sedang Anda lakukan?
Survive dalam hidup. Survive untuk bisa berbuat lebih. Itu saja.
Saya menangkap itu sebagai ucapan pesimis.
Tidak. Dalam tekanan luar biasa dari berbagai bidang ekonomi, politik, sosial, budaya seperti sekarang, kita perlu survive dulu. Lalu setelahnya baru berpikir berbuat lebih dari itu. Pada saat sekarang survive sebagai suatu prestasi untuk kita sebagai rakyat.
Tadi Anda mengatakan pada saat sekarang, apakah pernah ada saat yang lebih bagus dari saat ini?
Kita tidak mau romantis untuk seperti itu. Membayangkan hal di masa lalu tidak akan memberikan apa-apa di masa depan.
Edisi 517 06 Feb 2006
http://www.perspektifbaru.com/wawancara/517