Perjalanan ke Nusa Kenari (4)
PIMPINAN Sub Ranting PLN Alor Kecil, Ahmad Para dan operator Arsyad Maine menyambut kami sore itu dengan ramah di depan jalan masuk. Jalan kecil tak beraspal. "Selamat datang Bapak dan Ibu semua, silakan beristirahat dulu di sana," kata Ahmad sambil menunjuk deretan kursi di samping bangunan utama PLTD. Ibu- ibu terlihat sibuk menyiapkan minuman dan makanan ringan.
Dalam sekejap sudah tersaji di meja aneka kue khas Alor dan minuman segar. "Silakan dicoba Pak," kata mereka dengan ramah.Tak dipungkiri lagi keletihan tampak di wajah 17 wartawan dan wartawati dari Kupang. Maklum kami menjalani tour maraton sepanjang hari mulai pukul 06.00 Wita -- jika dihitung dengan waktu keberangkatan dari Bandara El Tari Kupang pada 1 Agustus 2006 itu.
Namun, keletihan kami sirna oleh sambutan yang hangat dan ramah. Kami menyadari ibu-ibu di Sub Ranting Alor kecil tentunya menunggu kami sejak pagi. Sebagai tuan rumah, Ahmad Para dan Arsyad Maine kali ini menjadi bintangnya. Mereka dikerumuni rombongan wartawan yang mengajukan aneka pertanyaan tentang masalah kelistrikan di wilayah tersebut terutama pelayanan kepada masyarakat. Seperti tercipta di Limarahing-Pura dan Nule, Pantar Timur, dialog dengan tokoh masyarakat juga berlangsung di Sub Ranting Alor Kecil. Alor Kecil tidaklah kecil dalam skala pelayanannya kepada masyarakat. Jumlah pelanggannya sebanyak 685 KK yang tersebar di sembilan desa.
Jumlah pelanggan tersebut jauh di atas Nule (218) dan Pura dengan 109 pelanggan. Dari sisi geografis, Sub Ranting ini terbilang lebih baik nasibnya bila dibandingkan dengan Pura dan Nule. Berada di ujung Pulau Alor, kawasan tersebut bisa dijangkau lewat jalan darat. Perjalanan ke dan dari Ibu kota Kalabahi dengan mobil atau sepeda motor dapat ditempuh selama 30 sampai 35 menit.
Jalan aspal mulus menghubungkan Alor Kecil-Kalabahi. Artinya, masalah yang dihadapi operator PLTD Alor Kecil tidak sesulit rekan-rekannya di Pura, Nule dan daerah lainnya di Alor. Misalnya dalam soal ketersediaan bahan bakar minyak (solar). Walau demikian tetap saja terungkap harapan dari tokoh masyarakat setempat agar PT PLN (Persero) Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) memberi pelayanan lebih baik lagi dari kondisi saat ini. Salah satu harapan terbesar dari masyarakat di wilayah kerja Sub Ranting Alor Kecil adalah terciptanya interkoneksi dengan Kalabahi.
Mengingat jarak Alor Kecil dengan Kalabahi cuma belasan kilometer, harapan tersebut cukup rasional. "Biar kami di sini pun bisa menikmati listrik selama 24 jam seperti warga Kota Kalabahi," kata Syaifulah, salah seorang tokoh masyarakat Alor Kecil saat berdialog dengan General Manager PT PLN (Persero) Wilayah NTT, Manerep Pasaribu saat itu.
"Interkoneksi itu adalah tekad kami juga untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat di sini. Tetapi mohon kesabarannya karena hal itu perlu kami pertimbangkan, disesuaikan dengan ketersediaan daya listrik," kata Manerep. Hal senada disampaikan Pimpinan Proyek Listrik Pedesaan (Lisdes) Nusa Tenggara Timur, Untung Haryanto.
DARI perjalanan jurnalistik ke Nusa Kenari Alor selama tiga hari (1-3 Agustus 2006) terungkap banyak hal menarik tentang masalah kelistrikan yang dihadapi manajemen PT PLN (Persero) Wilayah NTT yang menjadi unit bisnis mandiri sejak 25 Juni 2002 (sebelumnya bagian dari PT PLN Wilayah Bali, NTB dan NTT). Adalah kenyataan bahwa di berbagai ranting dan sub ranting PLN Wilayah NTT masih mengoperasikan mesin-mesin tua.
"Maka wajar bila mesin-mesin berusia tua itu mudah mengalami gangguan sehingga terjadi padam bergilir," kata Humas PLN NTT, Paul Bolla. Di saat PLN mengalami keterbatasan daya mampu mesin (daya listrik), permintaan sambungan baru dari calon pelanggan sangat tinggi. Secara finansial, manajemen PLN terus merugi setiap bulan lantaran tarif dasar listrik (TDL) yang berlaku saat ini sesungguhnya tidak pas lagi karena terdapat ketimpangan sangat besar antara harga jual dengan biaya pokok penyediaan. Menaikkan TDL merupakan salah satu solusi.
Namun, rencana tersebut dianggap belum tepat saat ini mengingat masyarakat pun mengalami penuruan daya beli akibat krisis ekonomi nasional yang belum berujung. Faktor lain yang menjadi kendala pelayanan PLN wilayah NTT adalah kondisi geografis (kepulauan), topografi berbukit-bukit, ketiadaan akses jalan sehingga biaya transportasi BBM berlipat ganda. Potret sejumlah sub ranting PLN di Alor setidaknya memberi gambaran cukup jelas tentang masalah tersebut.
Kondisi semacam ini seyogianya menggugah pemerintah daerah kabupaten/kota di NTT maupun pemerintah propinsi mengalokasikan dana untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di daerah masing-masing. Misalnya, membeli mesin baru, menambah jaringan atau subsidi BBM untuk operasional PLTD. Dalam semangat otonomi daerah, harapan semacam ini tidaklah berlebihan.
Perhatian untuk itu bukannya tidak ada sama sekali. Beberapa daerah, kata Manerep Pasaribu, sudah memberi contoh antara lain lewat pengadaan mesin baru. Ia menyebut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Flores Timur, Sumba Timur, Sumba Barat dan Lembata. Pemkab Flores Timur membeli 9 unit mesin, sedangkan Sumba Barat, Sumba Timur dan Lembata masing-masing menyediakan dua unit mesin untuk membantu rakyatnya. "Mudah-mudahan pemerintah daerah lainnya tergugah untuk memberikan bantuan serupa," kata Manerep Pasaribu.Manerep membeberkan data yang menggetarkan hati.
Dijelaskannya, secara keseluruhan PT PLN (Persero) Wilayah NTT baru melayani 25 persen penduduk daerah kepulauan ini. Sekitar 75 persen dari total penduduk NTT sebanyak 4.188.774 jiwa belum terlayani. PLN Wilayah NTT yang memiliki empat kantor cabang, 15 ranting dan 83 sub ranting di 16 kabupaten/kota baru melayani 220.080 KK (pelanggan).
Angka yang sangat kecil karena cuma sekitar 1 juta jiwa penduduk Propinsi NTT yang kebutuhannya akan daya listrik sudah terpenuhi. Sementara tiga juta orang lainnya masih hidup dalam "kegelapan" malam. Mereka "belum merdeka" dalam urusan yang satu ini sampai negeri tercinta berusia 61 tahun pada 17 Agustus 2006. Adakah di antara kita yang peduli? Siapakah yang berani memulai lewat langkah-langkah kecil tapi berarti? (Dion DB Putra, dipublikasikan Pos Kupang, 22-25 Agustus 2006. **
PIMPINAN Sub Ranting PLN Alor Kecil, Ahmad Para dan operator Arsyad Maine menyambut kami sore itu dengan ramah di depan jalan masuk. Jalan kecil tak beraspal. "Selamat datang Bapak dan Ibu semua, silakan beristirahat dulu di sana," kata Ahmad sambil menunjuk deretan kursi di samping bangunan utama PLTD. Ibu- ibu terlihat sibuk menyiapkan minuman dan makanan ringan.
Dalam sekejap sudah tersaji di meja aneka kue khas Alor dan minuman segar. "Silakan dicoba Pak," kata mereka dengan ramah.Tak dipungkiri lagi keletihan tampak di wajah 17 wartawan dan wartawati dari Kupang. Maklum kami menjalani tour maraton sepanjang hari mulai pukul 06.00 Wita -- jika dihitung dengan waktu keberangkatan dari Bandara El Tari Kupang pada 1 Agustus 2006 itu.
Namun, keletihan kami sirna oleh sambutan yang hangat dan ramah. Kami menyadari ibu-ibu di Sub Ranting Alor kecil tentunya menunggu kami sejak pagi. Sebagai tuan rumah, Ahmad Para dan Arsyad Maine kali ini menjadi bintangnya. Mereka dikerumuni rombongan wartawan yang mengajukan aneka pertanyaan tentang masalah kelistrikan di wilayah tersebut terutama pelayanan kepada masyarakat. Seperti tercipta di Limarahing-Pura dan Nule, Pantar Timur, dialog dengan tokoh masyarakat juga berlangsung di Sub Ranting Alor Kecil. Alor Kecil tidaklah kecil dalam skala pelayanannya kepada masyarakat. Jumlah pelanggannya sebanyak 685 KK yang tersebar di sembilan desa.
Jumlah pelanggan tersebut jauh di atas Nule (218) dan Pura dengan 109 pelanggan. Dari sisi geografis, Sub Ranting ini terbilang lebih baik nasibnya bila dibandingkan dengan Pura dan Nule. Berada di ujung Pulau Alor, kawasan tersebut bisa dijangkau lewat jalan darat. Perjalanan ke dan dari Ibu kota Kalabahi dengan mobil atau sepeda motor dapat ditempuh selama 30 sampai 35 menit.
Jalan aspal mulus menghubungkan Alor Kecil-Kalabahi. Artinya, masalah yang dihadapi operator PLTD Alor Kecil tidak sesulit rekan-rekannya di Pura, Nule dan daerah lainnya di Alor. Misalnya dalam soal ketersediaan bahan bakar minyak (solar). Walau demikian tetap saja terungkap harapan dari tokoh masyarakat setempat agar PT PLN (Persero) Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) memberi pelayanan lebih baik lagi dari kondisi saat ini. Salah satu harapan terbesar dari masyarakat di wilayah kerja Sub Ranting Alor Kecil adalah terciptanya interkoneksi dengan Kalabahi.
Mengingat jarak Alor Kecil dengan Kalabahi cuma belasan kilometer, harapan tersebut cukup rasional. "Biar kami di sini pun bisa menikmati listrik selama 24 jam seperti warga Kota Kalabahi," kata Syaifulah, salah seorang tokoh masyarakat Alor Kecil saat berdialog dengan General Manager PT PLN (Persero) Wilayah NTT, Manerep Pasaribu saat itu.
"Interkoneksi itu adalah tekad kami juga untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat di sini. Tetapi mohon kesabarannya karena hal itu perlu kami pertimbangkan, disesuaikan dengan ketersediaan daya listrik," kata Manerep. Hal senada disampaikan Pimpinan Proyek Listrik Pedesaan (Lisdes) Nusa Tenggara Timur, Untung Haryanto.
DARI perjalanan jurnalistik ke Nusa Kenari Alor selama tiga hari (1-3 Agustus 2006) terungkap banyak hal menarik tentang masalah kelistrikan yang dihadapi manajemen PT PLN (Persero) Wilayah NTT yang menjadi unit bisnis mandiri sejak 25 Juni 2002 (sebelumnya bagian dari PT PLN Wilayah Bali, NTB dan NTT). Adalah kenyataan bahwa di berbagai ranting dan sub ranting PLN Wilayah NTT masih mengoperasikan mesin-mesin tua.
"Maka wajar bila mesin-mesin berusia tua itu mudah mengalami gangguan sehingga terjadi padam bergilir," kata Humas PLN NTT, Paul Bolla. Di saat PLN mengalami keterbatasan daya mampu mesin (daya listrik), permintaan sambungan baru dari calon pelanggan sangat tinggi. Secara finansial, manajemen PLN terus merugi setiap bulan lantaran tarif dasar listrik (TDL) yang berlaku saat ini sesungguhnya tidak pas lagi karena terdapat ketimpangan sangat besar antara harga jual dengan biaya pokok penyediaan. Menaikkan TDL merupakan salah satu solusi.
Namun, rencana tersebut dianggap belum tepat saat ini mengingat masyarakat pun mengalami penuruan daya beli akibat krisis ekonomi nasional yang belum berujung. Faktor lain yang menjadi kendala pelayanan PLN wilayah NTT adalah kondisi geografis (kepulauan), topografi berbukit-bukit, ketiadaan akses jalan sehingga biaya transportasi BBM berlipat ganda. Potret sejumlah sub ranting PLN di Alor setidaknya memberi gambaran cukup jelas tentang masalah tersebut.
Kondisi semacam ini seyogianya menggugah pemerintah daerah kabupaten/kota di NTT maupun pemerintah propinsi mengalokasikan dana untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di daerah masing-masing. Misalnya, membeli mesin baru, menambah jaringan atau subsidi BBM untuk operasional PLTD. Dalam semangat otonomi daerah, harapan semacam ini tidaklah berlebihan.
Perhatian untuk itu bukannya tidak ada sama sekali. Beberapa daerah, kata Manerep Pasaribu, sudah memberi contoh antara lain lewat pengadaan mesin baru. Ia menyebut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Flores Timur, Sumba Timur, Sumba Barat dan Lembata. Pemkab Flores Timur membeli 9 unit mesin, sedangkan Sumba Barat, Sumba Timur dan Lembata masing-masing menyediakan dua unit mesin untuk membantu rakyatnya. "Mudah-mudahan pemerintah daerah lainnya tergugah untuk memberikan bantuan serupa," kata Manerep Pasaribu.Manerep membeberkan data yang menggetarkan hati.
Dijelaskannya, secara keseluruhan PT PLN (Persero) Wilayah NTT baru melayani 25 persen penduduk daerah kepulauan ini. Sekitar 75 persen dari total penduduk NTT sebanyak 4.188.774 jiwa belum terlayani. PLN Wilayah NTT yang memiliki empat kantor cabang, 15 ranting dan 83 sub ranting di 16 kabupaten/kota baru melayani 220.080 KK (pelanggan).
Angka yang sangat kecil karena cuma sekitar 1 juta jiwa penduduk Propinsi NTT yang kebutuhannya akan daya listrik sudah terpenuhi. Sementara tiga juta orang lainnya masih hidup dalam "kegelapan" malam. Mereka "belum merdeka" dalam urusan yang satu ini sampai negeri tercinta berusia 61 tahun pada 17 Agustus 2006. Adakah di antara kita yang peduli? Siapakah yang berani memulai lewat langkah-langkah kecil tapi berarti? (Dion DB Putra, dipublikasikan Pos Kupang, 22-25 Agustus 2006. **