Kalau Rusak, Wah Cari Cucu...

* Ziarah bersama Jakob Oetama-Frans Seda (3)

"BESOK pagi kita ke Nilo dulu kan?" Itulah pertanyaan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Rikard Bagun kepada Philip Gobang sebelum kami menuju pembaringan di Waiara, Kamis (27/10) tengah malam atau tepatnya Jumat (28/10) dinihari. Philip menganggukkan kepala.

Selain mengikuti acara utama di Ledalero, patung Bunda Maria Segala Bangsa setinggi 28 meter di Nilo merupakan tujuan ziarah Jakob Oetama dan Frans Seda pada hari kedua di Maumere, Jumat (28/10). Kami meninggalkan Waira pukul 07.15 bergabung dengan Frans Seda di Maumere kemudian menuju Nilo.

Suasana langsung berubah saat memasuki Ribang, Desa Takaplager, Nita. Tak dinyana, di ujung jalan masuk menuju bukit Nilo itu rombongan Jakob Oetama-Frans Seda disambut 'pasukan' gong waning yang menumpang mobil terbuka (pick-up).

Dipandu gong waning, perjananan menempuh jarak sekitar 7 km menuju bukit Keling-Nilo, Desa Wuliwutik, Kecamatan Nita itu terasa lamban. Empat mobil perlahan mendaki jalan sempit yang pada beberapa lokasi dilapisi hotmix dan sedang dibuat drainasenya.
Ternyata ada kejutan baru yang lebih 'heboh' di puncak Nilo. Para tokoh dan warga bersama rohaniwan dari Kongregasi Pasionis sudah menanti di sana dengan acara spesial. Warga Nilo tampak berjubel, berdesak-desakan di sisi kiri dan kanan jalan.

Prosesi adat Huler Wair menyambut kehadiran Frans Seda dan Jakob Oetama. Bagi masyarakat Nilo, kedua tokoh nasional itu merupakan tamu terhormat mereka. Diawali sapaan dalam bahasa adat setempat-- Jakob Oetama dan Frans Seda diperciki air berkat kemudian dikenakan selendang dan destar. Dandanan itu membuat keduanya tampak gagah.
Anggota rombongan dari Jakarta dan Kupang pun tak ketinggalan. Mereka dikalungi selendang. Warga Nilo kemudian "menyerbu" Jakob dan Frans Seda untuk bersalaman. Ada juga yang memeluk dengan riangnya. "Terima kasih ya," kata Jakob Oetama. Frans Seda pun mengucapkan hal yang sama. "Tapi maaf e...saya tidak bisa omong bahasa Sikka. Pakai bahasa Lio saja, bisa mengerti to?" katanya.

Selepas acara Huler Wair, kedua sahabat itu diantar memasuki rumah adat Nilo baru menuju Patung Bunda Maria Segala Bangsa yang berdiri anggun di bukit Keling. Di sana sudah banyak peziarah yang berdoa. Setelah berdoa dan mendapat berkat dari seorang pastor dari Kongregasi Pasionis, rombongan Jakob Oetama-Frans Seda meninggalkan Nilo menuju Ledalero.

Waktu hampir pukul 10.00. Philip Gobang tampak melirik buku panduan acara Festival Ledalero. Tertulis di sana, Jakob Oetama bicara tentang pers mulai pukul 09.00 Wita. Nah? Mengertilah saya mengapa Philip beberapa kali terlihat bicara dengan P. Paul Budi Kleden, SVD lewat telepon selulernya.

***

MOHON maaf. Itulah kata pertama Jakob Oetama saat diberi kesempatan menyampaikan pikirannya sebagai pembicara tunggal dalam seminar di aula Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero pagi itu.

"Ke Flores ini, bagi saya adalah suatu penziarahan pribadi. Mohon maaf terlambat tiba di sini (Ledalero). Tadi saya dibawa lebih dulu ke Bunda Maria di Nilo. Tentu sebagai wartawan saya sudah bepergian kemana-mana. Tapi di sini saya melihat panorama, lingkungan alam yang kaya, yang memikat, mencerminkan kebesaran Tuhan. Jarang ada panorama, suatu lingkungan, suatu langit biru bersih seperti tanjakan tujuh kilometer ke Bunda Maria di Nilo itu. Luar biasa. Luar biasa..." kata Jakob mengungkapkan kekagumannya.

Menurutnya, keindahan panorama alam itu harus diketahui, tidak hanya masyarakat Flores, NTT, tetapi masyarakat Indonesia dan dunia. "Masalahnya bagaimana dikenal sehingga menarik peziarah rohani maupun wisatawan domestik dan mancanegara. Perlu dikomunikasikan dengan memanfaatkan kekuatan teknologi informasi, kekuatan media massa," kata Jakob Oetama.

Jakob Oetama yang berbicara dalam seminar bertema: Peran Pers Indonesia dalam Membentuk Budaya Politik Demokratis itu antara lain, menggarisbawahi perubahan yang dihasilkan oleh revolusi teknologi informasi yang membuat segala peristiwa di seluruh dunia ini penyebarannya berlangsung serentak-seketika dan interaktif.

"Perubahan yang dibawa oleh revolusi teknologi informasi luar biasa. Orang macam saya ketinggalan zaman. HP (handphone) saja hanya pakai untuk telepon, SMS saya belum menggunakannya, sangat ketinggalan! Komputer saya sudah pakai, tapi hanya sekadarnya. Kalau rusak, wah...cari cucu. Kalau cucu di sekolah, telepon kantor. Orang macam saya seharusnya malu karena bergerak di bidang komunikasi, tapi dalam menghandel teknologinya ketinggalan. Tentu saja lembaga (KKG-Kompas) tidak boleh ketinggalan," katanya sambil tersenyum disambut aplaus peserta seminar yang memenuhi aula STFK Ledalero saat itu.

Setelah seminar dan makan siang bersama di Ledalero, rombongan Jakob Oetama-Frans Seda kembali ke Maumere dan Waiara untuk beristirahat. Petang harinya ke Ledalero lagi mengikuti acara peluncuran logo Festival Ledalero 2005-2006 dan menonton Pentas Teater dan Budaya yang antara lain menampilkan monolog kondang asal Yogyakarta, Butet Kertaredjasa.

Butet yang kocak dan 'nakal' itu sungguh menghangatkan malam romantis di bukit Leda, Ledalero, tempat Sandar Matahari yang kokoh berdiri sejak 1935. Dua sahabat itu terpingkal-pingkal bersama hadirin lainnya. Hampir lupa--malam terus merangkak. Kami tiba lagi di Waira hampir pukul 24.00. (dion db putra/bersambung). Pos Kupang, Kamis 10 November 2005


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes