Kefa yang terus berbenah...

SEPOTONG trans Timor bagian barat kembali kujejaki hari Jumat dan Sabtu tanggal 2-3 Mei 2008. Perjalanan menuju kota perbatasan, Atambua bersama sahabatku Aloysius Min dan Paschalis Tho. Terakhir saya ke Atambua bulan September 2007 ketika memenuhi undangan panitia pentahbisan Uskup Diosis Atambua, Mgr. Dominikus Saku, Pr.
Waktu menunjukkan pukul 21.19 wita ketika kami memasuki Kota Kefamenanu, Jumat 2 Mei 2008. Tugu "Selamat Datang" seolah menyapa kami pada malam terang bulan itu. Mataku tergoda untuk melihat ke sisi kanan, tak jauh dari tugu Selamat Datang.

Di sana sudah berdiri bangunan baru dan sebagian sedang dalam proses. Kefa memang sedang bergairah membangun dirinya. Kota di pedalaman Timor itu sedang mempercantik diri menjadi lebih elegan dan rupawan sebagai sebuah kota.


Kefa sudah memiliki stasiun televisi sendiri. TV lokal yang jangkauannya sampai ke negara tetangga, Timor Leste. Kampus Unimor dengan fasilitas lebih memadai juga sedang dibangun. Semua itu tentu baik adanya. Memberi nilai lebih kepada Kefamenanu, Ibu Kota Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
Selepas Tugu Selamat Datang, mata tertuju pada tumpukan material seperti batu dan pasir di tepi kiri dan kanan jalan. Mobil harus dijalankan dengan ekstra hati-hati apalagi bila berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan. "HATI-HATI, ADA PEKERJAAN JALAN!" Demikian tulisan dalam papan yang diletakkan di beberapa tempat.

Rupanya Pemerintah Kabupaten TTU sedang melanjutkan pembangun jalan dua jalur sampai ke Tugu Selamat Datang. Luar biasa. Jika pembangunan dua jalur itu rampung, maka Kefamenanu akan menjadi kota kabupaten di NTT dengan jalan dua jalur terpanjang. Panjang, meliuk-liuk dan indah dipandang mata.
Demikianlah ciri Kefa. Jalan dua jalur membelah kota sampai ke tapal batas dengan tata lampu yang apik. Lampu jalan benderang diselingi kerlap-kerlip di beberapa titik. Sungguh membuat kota itu hidup. Kendaraan masih berkelana dan meraung-raung di atas jam sembilan malam. Sekelompok muda-mudi masih bercengkerama dekat kantor Telkom tatkala kami lewat di sana.
Ah, saya terkenang awal tahun 1990 ketika pertama kali menjejakkan kaki di Kefa. Apakah ini sebuah kota? Tak lebih ramai dari kota kecamatan Wolowaru-- di kampungku. Demikian gumamanku kala itu. Dan hari ini, Kefa oh Kefa.. Betapa jauh engkau meninggalkan Wolowaruku...!
Mobil terus menembus malam. Tak terasa telah meninggalkan tapas batas Kefa. Kami menuju Atambua. Tiba-lamunanku terusik oleh seutas tanya. . Apakah pembangunan Kota Kefa menjadi prioritas pemerintahan sekarang? Jangan-jangan kita kembali terjebak untuk menampilkan kulit luar yang wah. Alangkah indah bila virus jalan dua jalur yang kini menjadi keunggulan Kefa dibanding kota lain di NTT juga menyebar ke desa.

Rakyat di pedesaan Insana, Miomaffo, Bena tentu tak butuh dua jalur. Harapan mereka simpel saja. Yang penting beraspal, tidak berlubang dan berbatu-batu. Asalkan bisa dilalui angkutan pedesaan atau sepeda motor dengan lancar dan aman. Dengan transportasi yang lancar, rakyat kecil di Tanjung Bastian, Pantai Makassar, Bena, pedalaman Noemuti dan Mutis mudah pergi ke Kota Kefa, gampang mencapai pasar untuk menjual sayur- mayur, sirih-pinang, ketimun, wortel, bawang putih. Juga segera pulang ke kampung membawa beras, sabun, gula dan minyak tanah demi menyambung hidup mereka.

Dari ketinggian bukit di hutan jati yang pohonnya semakin jarang -- mataku sekali lagi menatap Kefa sebelum meluncur ke Kupang 3 Mei 2008 malam. Sejenak menikmati malam Minggu yang indah di Kefa dengan dua jalurnya.*
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes