Oleh Achmad Subechi
PUASA sebentar lagi akan berakhir. Di bulan suci seperti ini saya teringat sebuah tantangan besar yang diberikan guru jurnalistik saya. Namanya Valens Doy. Dia mantan wartawan senior Harian Kompas. Kejadiannya sekitar akhir tahun 2002.
WAKTU itu mendekati Pemilu 2004, mantan KSAD sekaligus Menpen Jenderal R Hartono mendirikan sebuah partai bersama tokoh Golkar Ary Mardjono. Namanya Partai Karya Peduli Bangsa, berdiri 9 September 2002.
Om Valens -biasa saya memanggil dia-yang ketika itu ditunjuk menjadi konsultan Harian Surya meminta saya agar mengerahkan semua kekuatan (wartawan) di Biro Jakarta agar melakukan wawancara khusus dengan R Hartono. "Saya sediakan dua halaman dan wawancara dibuat tanya jawab. Besok sudah harus ada," pesan Om Valens.
Hari itu juga saya panggil Erik, wartawan Persda. Dia saya perintahkan segera menghubungi R Hartono. Lagi-lagi ia kesulitan mencari kontak personnya. Selanjutnya ia saya suruh mencari alamat rumah R Hartono melalui jaringan wartawan lain. Akhirnya alamat rumah di kawasan Kebayoran Baru ditemukan juga.
Malam itu juga Erik bergegas mendatangi rumah R Hartono. Sesampainya di sana ia bertemu dengan sejumlah petugas TNI yang selama ini menjadi ajudan R Hartono. "Bapak masih ke Bandung. Trus saya harus kemana lagi?" tanya Erik kepada saya melalui telepon. "Tongkrongi sampai pagi. Tunggu beliau pulang dari Bandung," kata saya.
Sekitar pukul 08.00 pagi, Erik telepon kembali. Ia mengabarkan bahwa R Hartono belum pulang. "Apakah saya harus cabut?" "Okey silakan. " Selanjutnya saya kirim satu reporter lagi sebagai pengganti Erik. Hasilnya sama saja. Sementara Om Valens sudah krang. kring. ke Biro Surya di Jakarta.
Kepada Om Valens saya katakan bahwa kita sudah tempatkan dua reporter sejak semalam di rumah R Hartono. Tapi beliau masih ke Bandung dan sampai saat ini belum ketemu. "Mas Bec.Boleh tanya enggak? Jarak dari Jakarta ke Bandung jauh tidak? Berapa jam? Lalu naik apa kesana? Masak enggak bisa kirim orang." Saya katakan, perintah siapppp... dilaksanakan komandan!
Persoalannya dimana posisi R Hartono di Bandung? Itu yang menjadi PR kedua. Semua ajudannya bungkam. Alamatnya juga tak terendus. Saya lagi-lagi telepon ke Om Valens melaporkan perkembangannya. Om Valens tetap tidak mau mendengarkan alasan saya. "Kalian wartawan. pakai akal dong. Masak mencari satu orang saja enggak bisa? Om dulu ketika muda juga begitu. Pokoknya, jika dua hari lagi Om buka koran lalu enggak ada foto dan hasil wawancara dengan R Hartono di Harian Surya, you... saya copot jadi Kepala Biro Surya. Enggak usah jadi bos di Jakarta. Pulang saja ke Surabaya," ancamnya.
Tantangan itu sudah di depan mata. Persoalannya bukan karena takut dicopot atau tidak. Ini adalah tanggungjawab saya sebagai pimpinan sekaligus wartawan. Seberat apapun tugas, saya tidak boleh setengah-setengah. Semuanya harus tercapai, kalau kita ingin profesional di bidang jurnalistik.
Sejak itu, saya harus memutar otak lagi. Ehm.... Bagaimana ya caranya bisa melakukan wawancara khusus dengan R Hartono? Pikirku, dalam hati. Sejumlah wartawan yang biasa ngepos di Istana Presiden, saya kontak satu persatu. Siapa tahu mereka masih menyimpan kontak personnya. Alhamdulillah, salah seorang wartawan yang biasa dekat dengan Mbak Tutut memberikan kontak personnya. Dia wanti-wanti kepada saya agar tidak menyebutkan namanya kalau R Hartono tanya dari siapa saya mendapatkan nomor handphonenya.
Saya coba mengontak dia. Lagi-lagi HP tidak diangkat. Saya merenung sejenak. mencari ide atau siasat bagaimana caranya sang jenderal mau mengangkat telepon saya. Sambil merokok di ruangan kerja seorang diri. muncul ide baru. "R Hartono harus dikirimi SMS."
Persoalannya kalau isi SMS-nya hanya meminta wawancara, belum tentu ia bersedia meladeninya. Maklum, selain berbintang empat dia juga Ketua Umum PKPB. Untuk itu butuh siasat atau trik yang benar-benar kena. Saya terus mencari akal. bagaimana caranya misi yang akan kami jalankan bisa tembus.
Ehmmm. Tuhan rupanya memberikan ide brilian lengkap dengan kata-kata yang harus saya kirim. Kira-kira begini isi SMS-nya. "Assalamualaikum Wr Wb. Saya selalu berdoa agar Pak Hartono dan keluarga dilindungi Tuhan, diberi kesehatan, diberi umur panjang. Saya bersyukur di era reformasi ini bapak selamat dari fitnah. Banyak tokoh Orde Baru yang kena fitnah." Di bawah SMS itu saya tulis identitas saya. Tanpa rasa takut, saya tendang SMS itu ke HP sang jenderal.
Setengah jam kemudian HP saya berdering. Rupanya sang jenderal merespon balik. Ia tanya identitas saya. "Anda dapat nonor saya dari mana?" tanyanya. Saya katakan bahwa saya adalah orang yang pernah mengenal Anda ketika Anda menduduki jabatan sebagai Pangdam V Brawijaya, Jawa Timur. Memang dulu ketika ia jadi Pangdam saya sering bertemu dia dalam berbagai kesempatan untuk wawancara. Saya akui, saya kenal nama dan wajah dia, tapi dia belum tentu kenal saya. He..he..he..
"Anda dapat nomer telepon saya darimana?" tanyanya berulangkali. "Lho. saya kan cukup lama bertugas menjadi wartawan di Istana Presiden. Dulu ketika bapak jadi Menpen, saya sering melakukan wawancara dengan bapak. Mungkin bapak lupa dengan wajah saya," kata saya berbohong.
"Apa maksud kamu kirim SMS?" "Begini Pak. Bapak mestinya bersyukur lho dijauhkan dari fitnah. Selain itu saya mau melakukan wawancara khusus soal partai yang bapak dirikan. Apa ada waktu?" "Okey kalau begitu selesai shalat Jumat kamu datang ke rumah. Tahu alamatnya kan? Saya tunggu ya.... Kantor kamu dimana? Oh. dekat dengan rumah saya."
Esoknya, saya ajak Dahlan, wartawan Harian Surya di Biro Jakarta. Karena yang didatangi orang besar, kami terpaksa jaga gengsi. Kami berdua rencananya pinjam mobil inventaris kantor. Usai shalat Jumat di Masjid di dekat Harian Kompas, saya kembali menuju ke kantor. Di tengah perjalanan, R Hartono tiba-tiba telepon. "Posisi kamu dimana? Janjian sama jenderal seenaknya. Kemarin kamu kan bilang selesai Jumatan. Kok sekarang belum datang juga?" teriaknya.
"Siap jenderal. saya masih di kantor dan akan meluncur." "Berapa lama?" "Siap jenderal kira-kira setengah jam." Selanutnya saya dan Dahlan meluncur ke rumah R Hartono di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Sesampainya di jalan yang dituju, saya berhenti tepat di depan sebuah rumah nomor 6. "Lan... silakan turun dan tanya apakah benar itu rumah R Hartono?" Ketika Dahlan --kini menjadi Wapemred Harian Tribun Timur-- turun dari mobil, hati saya sedikit bertanya, "Masak seorang jenderal kok rumahnya biasa-biasa saja? Ah kagak mungkin. Pasti keliru dah."
Setelah bertemu dengan penghuni rumah Dahlan melapor ke saya bahwa rumah R Hartono ada di seberang jalan. "Okey Kak Lan. sampean jalan kaki saja, saya muter dulu kesana." Saya lihat dari kaca spion, Dahlan berjalan melewati jalur hijau dan nyeberang menuju ke rumah Hartono.
Di samping pintu pagar rumahnya ada pos penjagaan. Sejumlah anggota TNI terlihat berjaga-jaga.. Ketika saya turun dari mobil, saya lihat Dahlan sedang adu mulut dengan beberapa anggota TNI. Tentara itu sempat membentak-bentak Dahlan. Saya dengarkan inti persoalannya, lalu saya potong. "Maaf. kami sedang puasa. Kami datang kesini atas perintah Jenderal R Hartono." Para ajudan R Hartono mau memahami ucapan saya, tapi ada jua tentara wanita masih ngomel, mengerutu. Ada kemungkinan, Dahlan slonong boy. alias kurang basa-basi sedikit ketika berhadapan dengan anggota militer.
Baru semenit di depan R Hartono, telepon di penjagaan berbunyi. Rupanya sang tuan rumah memerintahkan kami untuk masuk ke dalam rumah. Selanjutnya kami disuruh masuk ke ruang tamu. Ruang tamunya cukup luas dengan berbagai macam lukisan yang terpajang di dinding ruangan. "Assalamualikum Pak. Apa kabar?" sapaku kepada R Hartono ketika ia masuk ke ruangan tamu lengkap mengenakan peci warna putih dan baju koko (muslim).
"Sebelum Anda wawancara, saya mau tanya. Siapa yang memberi nomer saya kepada kalian ?" Saya jawab seperti semula. "Di Istana Presiden dulu, saya dekat dengan Mbak Tutut Pak. Kami sering melakukan wawancara." R Hartono terdiam. Ia lalu meminta saya untuk mengajukan pertanyaan. Dua tape recorder -satu sebagai cadangan seandainya kaset rekaman tidak sempurna-saya letakkan di atas meja. Wawancara berlangsung cukup lama, sekitar 1,5 jam.
Setelah itu kami pulang kembali ke kantor. Hasil wawancara itu saya transkrip dengan Dahlan. Side A saya yang mengerjakan, side B Dahlan yang mentranskrip. Selesai menuliskan hasil wawancara, naskah saya tending via FTP ke Harian Surya. Besok, wawancara kami dimuat di halaman dalam satu halaman bersambung. Esoknya lagi, ada satu tulisan lagi di halaman yang sama. Erik, wartawan kami yang membaca tulisan itu terheran. heran.
"Kok bisa ya?" Jawab saya pendek. « wartawan kerja bukan dengan dengkul, tapi dengan otak..." Kata-kata itu saya kutip dari H Agil Ali, Pemimpin Umum Harian Memorandum. Saya dulu penah bekerja disana bersama Basuki Subianto, mantan Redpel Harian Surya dan Pemred Banjarmasin Post.
PUASA sebentar lagi akan berakhir. Di bulan suci seperti ini saya teringat sebuah tantangan besar yang diberikan guru jurnalistik saya. Namanya Valens Doy. Dia mantan wartawan senior Harian Kompas. Kejadiannya sekitar akhir tahun 2002.
WAKTU itu mendekati Pemilu 2004, mantan KSAD sekaligus Menpen Jenderal R Hartono mendirikan sebuah partai bersama tokoh Golkar Ary Mardjono. Namanya Partai Karya Peduli Bangsa, berdiri 9 September 2002.
Om Valens -biasa saya memanggil dia-yang ketika itu ditunjuk menjadi konsultan Harian Surya meminta saya agar mengerahkan semua kekuatan (wartawan) di Biro Jakarta agar melakukan wawancara khusus dengan R Hartono. "Saya sediakan dua halaman dan wawancara dibuat tanya jawab. Besok sudah harus ada," pesan Om Valens.
Hari itu juga saya panggil Erik, wartawan Persda. Dia saya perintahkan segera menghubungi R Hartono. Lagi-lagi ia kesulitan mencari kontak personnya. Selanjutnya ia saya suruh mencari alamat rumah R Hartono melalui jaringan wartawan lain. Akhirnya alamat rumah di kawasan Kebayoran Baru ditemukan juga.
Malam itu juga Erik bergegas mendatangi rumah R Hartono. Sesampainya di sana ia bertemu dengan sejumlah petugas TNI yang selama ini menjadi ajudan R Hartono. "Bapak masih ke Bandung. Trus saya harus kemana lagi?" tanya Erik kepada saya melalui telepon. "Tongkrongi sampai pagi. Tunggu beliau pulang dari Bandung," kata saya.
Sekitar pukul 08.00 pagi, Erik telepon kembali. Ia mengabarkan bahwa R Hartono belum pulang. "Apakah saya harus cabut?" "Okey silakan. " Selanjutnya saya kirim satu reporter lagi sebagai pengganti Erik. Hasilnya sama saja. Sementara Om Valens sudah krang. kring. ke Biro Surya di Jakarta.
Kepada Om Valens saya katakan bahwa kita sudah tempatkan dua reporter sejak semalam di rumah R Hartono. Tapi beliau masih ke Bandung dan sampai saat ini belum ketemu. "Mas Bec.Boleh tanya enggak? Jarak dari Jakarta ke Bandung jauh tidak? Berapa jam? Lalu naik apa kesana? Masak enggak bisa kirim orang." Saya katakan, perintah siapppp... dilaksanakan komandan!
Persoalannya dimana posisi R Hartono di Bandung? Itu yang menjadi PR kedua. Semua ajudannya bungkam. Alamatnya juga tak terendus. Saya lagi-lagi telepon ke Om Valens melaporkan perkembangannya. Om Valens tetap tidak mau mendengarkan alasan saya. "Kalian wartawan. pakai akal dong. Masak mencari satu orang saja enggak bisa? Om dulu ketika muda juga begitu. Pokoknya, jika dua hari lagi Om buka koran lalu enggak ada foto dan hasil wawancara dengan R Hartono di Harian Surya, you... saya copot jadi Kepala Biro Surya. Enggak usah jadi bos di Jakarta. Pulang saja ke Surabaya," ancamnya.
Tantangan itu sudah di depan mata. Persoalannya bukan karena takut dicopot atau tidak. Ini adalah tanggungjawab saya sebagai pimpinan sekaligus wartawan. Seberat apapun tugas, saya tidak boleh setengah-setengah. Semuanya harus tercapai, kalau kita ingin profesional di bidang jurnalistik.
Sejak itu, saya harus memutar otak lagi. Ehm.... Bagaimana ya caranya bisa melakukan wawancara khusus dengan R Hartono? Pikirku, dalam hati. Sejumlah wartawan yang biasa ngepos di Istana Presiden, saya kontak satu persatu. Siapa tahu mereka masih menyimpan kontak personnya. Alhamdulillah, salah seorang wartawan yang biasa dekat dengan Mbak Tutut memberikan kontak personnya. Dia wanti-wanti kepada saya agar tidak menyebutkan namanya kalau R Hartono tanya dari siapa saya mendapatkan nomor handphonenya.
Saya coba mengontak dia. Lagi-lagi HP tidak diangkat. Saya merenung sejenak. mencari ide atau siasat bagaimana caranya sang jenderal mau mengangkat telepon saya. Sambil merokok di ruangan kerja seorang diri. muncul ide baru. "R Hartono harus dikirimi SMS."
Persoalannya kalau isi SMS-nya hanya meminta wawancara, belum tentu ia bersedia meladeninya. Maklum, selain berbintang empat dia juga Ketua Umum PKPB. Untuk itu butuh siasat atau trik yang benar-benar kena. Saya terus mencari akal. bagaimana caranya misi yang akan kami jalankan bisa tembus.
Ehmmm. Tuhan rupanya memberikan ide brilian lengkap dengan kata-kata yang harus saya kirim. Kira-kira begini isi SMS-nya. "Assalamualaikum Wr Wb. Saya selalu berdoa agar Pak Hartono dan keluarga dilindungi Tuhan, diberi kesehatan, diberi umur panjang. Saya bersyukur di era reformasi ini bapak selamat dari fitnah. Banyak tokoh Orde Baru yang kena fitnah." Di bawah SMS itu saya tulis identitas saya. Tanpa rasa takut, saya tendang SMS itu ke HP sang jenderal.
Setengah jam kemudian HP saya berdering. Rupanya sang jenderal merespon balik. Ia tanya identitas saya. "Anda dapat nonor saya dari mana?" tanyanya. Saya katakan bahwa saya adalah orang yang pernah mengenal Anda ketika Anda menduduki jabatan sebagai Pangdam V Brawijaya, Jawa Timur. Memang dulu ketika ia jadi Pangdam saya sering bertemu dia dalam berbagai kesempatan untuk wawancara. Saya akui, saya kenal nama dan wajah dia, tapi dia belum tentu kenal saya. He..he..he..
"Anda dapat nomer telepon saya darimana?" tanyanya berulangkali. "Lho. saya kan cukup lama bertugas menjadi wartawan di Istana Presiden. Dulu ketika bapak jadi Menpen, saya sering melakukan wawancara dengan bapak. Mungkin bapak lupa dengan wajah saya," kata saya berbohong.
"Apa maksud kamu kirim SMS?" "Begini Pak. Bapak mestinya bersyukur lho dijauhkan dari fitnah. Selain itu saya mau melakukan wawancara khusus soal partai yang bapak dirikan. Apa ada waktu?" "Okey kalau begitu selesai shalat Jumat kamu datang ke rumah. Tahu alamatnya kan? Saya tunggu ya.... Kantor kamu dimana? Oh. dekat dengan rumah saya."
Esoknya, saya ajak Dahlan, wartawan Harian Surya di Biro Jakarta. Karena yang didatangi orang besar, kami terpaksa jaga gengsi. Kami berdua rencananya pinjam mobil inventaris kantor. Usai shalat Jumat di Masjid di dekat Harian Kompas, saya kembali menuju ke kantor. Di tengah perjalanan, R Hartono tiba-tiba telepon. "Posisi kamu dimana? Janjian sama jenderal seenaknya. Kemarin kamu kan bilang selesai Jumatan. Kok sekarang belum datang juga?" teriaknya.
"Siap jenderal. saya masih di kantor dan akan meluncur." "Berapa lama?" "Siap jenderal kira-kira setengah jam." Selanutnya saya dan Dahlan meluncur ke rumah R Hartono di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Sesampainya di jalan yang dituju, saya berhenti tepat di depan sebuah rumah nomor 6. "Lan... silakan turun dan tanya apakah benar itu rumah R Hartono?" Ketika Dahlan --kini menjadi Wapemred Harian Tribun Timur-- turun dari mobil, hati saya sedikit bertanya, "Masak seorang jenderal kok rumahnya biasa-biasa saja? Ah kagak mungkin. Pasti keliru dah."
Setelah bertemu dengan penghuni rumah Dahlan melapor ke saya bahwa rumah R Hartono ada di seberang jalan. "Okey Kak Lan. sampean jalan kaki saja, saya muter dulu kesana." Saya lihat dari kaca spion, Dahlan berjalan melewati jalur hijau dan nyeberang menuju ke rumah Hartono.
Di samping pintu pagar rumahnya ada pos penjagaan. Sejumlah anggota TNI terlihat berjaga-jaga.. Ketika saya turun dari mobil, saya lihat Dahlan sedang adu mulut dengan beberapa anggota TNI. Tentara itu sempat membentak-bentak Dahlan. Saya dengarkan inti persoalannya, lalu saya potong. "Maaf. kami sedang puasa. Kami datang kesini atas perintah Jenderal R Hartono." Para ajudan R Hartono mau memahami ucapan saya, tapi ada jua tentara wanita masih ngomel, mengerutu. Ada kemungkinan, Dahlan slonong boy. alias kurang basa-basi sedikit ketika berhadapan dengan anggota militer.
Baru semenit di depan R Hartono, telepon di penjagaan berbunyi. Rupanya sang tuan rumah memerintahkan kami untuk masuk ke dalam rumah. Selanjutnya kami disuruh masuk ke ruang tamu. Ruang tamunya cukup luas dengan berbagai macam lukisan yang terpajang di dinding ruangan. "Assalamualikum Pak. Apa kabar?" sapaku kepada R Hartono ketika ia masuk ke ruangan tamu lengkap mengenakan peci warna putih dan baju koko (muslim).
"Sebelum Anda wawancara, saya mau tanya. Siapa yang memberi nomer saya kepada kalian ?" Saya jawab seperti semula. "Di Istana Presiden dulu, saya dekat dengan Mbak Tutut Pak. Kami sering melakukan wawancara." R Hartono terdiam. Ia lalu meminta saya untuk mengajukan pertanyaan. Dua tape recorder -satu sebagai cadangan seandainya kaset rekaman tidak sempurna-saya letakkan di atas meja. Wawancara berlangsung cukup lama, sekitar 1,5 jam.
Setelah itu kami pulang kembali ke kantor. Hasil wawancara itu saya transkrip dengan Dahlan. Side A saya yang mengerjakan, side B Dahlan yang mentranskrip. Selesai menuliskan hasil wawancara, naskah saya tending via FTP ke Harian Surya. Besok, wawancara kami dimuat di halaman dalam satu halaman bersambung. Esoknya lagi, ada satu tulisan lagi di halaman yang sama. Erik, wartawan kami yang membaca tulisan itu terheran. heran.
"Kok bisa ya?" Jawab saya pendek. « wartawan kerja bukan dengan dengkul, tapi dengan otak..." Kata-kata itu saya kutip dari H Agil Ali, Pemimpin Umum Harian Memorandum. Saya dulu penah bekerja disana bersama Basuki Subianto, mantan Redpel Harian Surya dan Pemred Banjarmasin Post.
Sekarang Basuki menjadi pengusaha dan sudah menerbitkan sejumlah buku diantaranya berjudul : Mengubah Tidak Mungkin Menjadi Mungkin : Pengalaman Berbisnis dengan Sandaran Al-Quran. Bagaimana dengan Om Valens? Dia merasa puas dengan hasil kerja kita, hasil kerja murid-muridnya yang berguru sejak tahun 1989 di Surabaya.... Kini om Valens telah tiada. Ia pergi meninggalkan ilmu dan nama besar di mata murid-muridnya. Terima kasih Om...
(Achmad Subechi, salah seorang murid Valens Doy. Kini Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim, ,salah satu koran daerah Kompas Gramedia Group)