MASYARAKAT Kabupaten Alor umumnya, termasuk masyarakat di Pulau Alor -- yang sering disebut gunung besar -- memiliki kearifan lokal yang tidak dapat ditinggalkan. Kearifan lokal dimaksud adalah memelihara "rumah gudang" atau rumah khas bagi masyarakat Kabupaten Alor, seperti lopo di Timor atau talobon di Kabupaten Belu.
Rumah gudang di Alor memiliki karakteristik sendiri. Rumah ini memiliki multifungsi. Selain sebagai tempat tinggal, juga sebagai tempat pertemuan, urusan adat, rekreasi, tempat simpan makanan dan bibit, hingga tempat menyimpan benda-benda pusaka.
Salah seorang tokoh masyarakat Alor Selatan yang juga tokoh masyarakat Alor, Paulus Pulek, yang ditemui Pos Kupang di kediamannya di Wilayah Mola, Kalabahi, Jumat (21/8/2009), mengungkapkan, rumah gudang bagi masyarakat Kabupaten Alor adalah rumah adat. Berbagai urusan kehidupan, khususnya bagi masyarakat desa, dijalani dan diselesaikan di rumah gudang.
Pulek mengungkapkan, bentuk rumah gudang di Kabupaten Alor terdiri dari dua lantai, bahkan ada yang tiga hingga empat lantai.
Di wilayah Alor bagian Timur, rumah gudang umumnya terdiri dua sampai tiga lantai dengan atap dua air. Sedangkan di gunung besar lainnya, seperti di Alor Selatan atau Alor Barat Daya, rumah gudang dibangun tiga hingga empat lantai dengan bentuk atap empat air.
Konstruksi bangunan rumah gudang ini terdiri dari empat tiang induk. Setiap tiang berukuran sebesar pelukan orang dewasa. Kayu untuk tiang ini biasanya menggunakan kayu ampupu atau kayu putih yang lurus dan panjang.
Selain tiang, Pulek menjelaskan, material bangunan rumah gudang lainnya adalah balai-balai berukuran 7 X 7 meter. Biasanya dibuat dari belahan bambu betung atau pinang, tetapi supaya lebih kuat bisa dipakai belahan pinang. Sedangkan bambu digunakan untuk lata atau spar. Sementara balok penahan balai-balai, dicari kayu yang kualitasnya bagus, seperti kayu merah atau ipi atau minimal kayu sekelas itu.
Atap rumah ini, lanjut Pulek, dibuat dari alang-alang. Atap rumah ini diikat secara rapi dan kuat. Ujung atapnya menutup hingga bagian lantai satu dari rumah gudang.
Pulek menuturkan, rumah gudang di Alor mirip dengan rumah panggung. Lantai pertama biasanya dijadikan tempat rekreasi keluarga atau menerima tamu. Mereka duduk bersama-sama di balai-balai, termasuk membicarakan adat.
Lantai dua, jelas Pulek, dijadikan tempat tidur bagi penghuni rumah, khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Ini agar terhindar dari rasa dingin. Apalagi di lantai dua itu, ada tungku untuk kegiatan masak makanan keluarga, sehingga malam harinya bila dingin bisa dibuat perapian untuk menghangatkan badan. Lantai ini juga dijadikan tempat penyimpanan berbagai kebutuhan makan-minum keluarga.
Lantai tiga, sebut Pulek, merupakan tempat khusus untuk menyimpan persediaan makanan berupa padi dan jagung yang baru dipanen, termasuk tempat menyimpan bibit jagung dan padi untuk menghadapi musim tanam berikutnya. Di lantai tiga ini ada pintu, dan kuncinya biasa dipegang oleh ibu rumah tangga.
Ini dimaksudkan agar stok makanan yang disimpan tidak sembarang dikeluarkan atau tetap terjaga, sebab persediaannya untuk setahun. Bisa diambil bila makanan untuk masak yang disediakan sebelumnya sudah habis.
Menurut Pulek, menyimpan makanan di rumah gudang memiliki tata cara tersendiri. Biasanya diawali dengan sembahyang atau upacara adat. Demikian pula bila mengambil bibit dari rumah gudang untuk tanam, harus melalui sembayang terlebih dahulu.
Lantai empat, jelas Pulek, biasanya jarang ada. Namun bagi warga yang memiliki benda-benda pusaka atau benda-benda adat, biasanya harus dibuat lantai empat untuk menempatkan barang-barang peninggalan leluhur.
Pulek menambahkan, pembangunan rumah gudang ini tidak sekadar bangun. Ada proses dan ritual adatnya. Ada sembahyang yang dilakukan sejak persiapan bahan hingga proses pembangunan. Bila mendirikan biasanya dibuat acara adat, dan ketika itu banyak hewan seperti kambing dan babi disembelih. Demikian juga disiapkan padi lumbung dalam jumlah yang banyak karena yang hadir banyak orang.
Bangunan rumah gudang itu, kata Pulek, telah dirancang sedemikian rupa, sehingga terhindar dari gangguan tikus dan pencuri. Penangkal tikus yang dimaksud, ketika dibangun pada setiap tiang induk di rumah gudang, dipasang dulang sebagai penghalang naiknya tikus ke rumah.
Dulang tersebut juga dirancang untuk bisa menyimpan berbagai benda lainnya dalam ukuran kecil. Rumah gudang tidak mudah dimasuki pencuri, karena masuk atau naik ke rumah gudang hanya lewat sebuah tangga. Semua orang yang masuk ke rumah bisa dipantau. (Okto Manehat)
Pos Kupang edisi Sabtu, 22 Agustus 2009 halaman 1