Oleh Marsel Ali dan Hyeron Modo
"SAYA minta pemerintah propinsi bisa menekan pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa agar tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL) perlu ada di setiap desa. Di desa kami hanya ada satu orang PPL tetapi dia tinggal di kota. Dua atau tiga hari baru turun ke desa. Itu tidak maksimal memberi penyuluhan kepada petani. Apalagi kami ini petani berpendidikan rendah."
Inilah permintaan Marthen Taklal, petani dari Oeteta, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, dalam diskusi terbatas tentang Kedaulatan Pangan NTT. Menurut dia, dengan kehadiran PPL di tiap desa diharapkan bisa meningkatkan kapasitas petani dalam menggarap lahan pertanian yang ada. Ia menyadari bahwa untuk menggarap lahan pertanian secara optimal dengan harapan agar hasilnya juga bisa memuaskan, maka para petani perlu ada pendampingan. Dan, PPL merupakan pendamping yang diharapkan petani.
Apa yang disampaikan oleh Marthen Taklal, itulah kenyataan yang terjadi di NTT. Banyak PPL tinggal di kota kecamatan atau kabupaten. Mereka turun ke desa sebulan sekali, bahkan dua atau tiga bulan baru ke desa. Itupun lebih sering bertemu aparat desa, bukan dengan petani yang harus didampinginya.
Pola pendampingan bagi petani agar mereka benar-benar mengerti bagaimana menjadi petani yang berhasil, memang mutlak perlu. Dan, itulah yang sekarang ini mulai dilakukan pemerintah, yakni PPL diupayakan ada di tiap desa. Dengan menempatkan PPL di tiap desa, kata Marthen, maka program "Anggur Merah" Gubernur NTT, dengan tekanan pada jagung bisa berjalan. Namun, tegasnya, tekanan pada jagung tidak berarti semua harus jagung, tapi budidaya ubi-ubian sehingga nanti petani tidak monokultur.
Sementara itu, Kasubdin Produksi Dinas Pertanian dan Perkebunan NTT, M Abola, menyatakan, daerah yang tidak cocok tanam jagung jangan dipaksakan tanam jagung. Selama ini, tanaman keras cocok di Flores dan Alor sehingga sebaiknya pola ini diteruskan ketimbang membuat hal baru yang bisa merusak tanaman.
Marthen berharap pola pendampingan kepada petani dengan menempatkan PPL perlu menjadi perhatian serius ke depan. Ia mengaku bahwa warga Oeteta sangat menyadari bagaimana ikut bertanggung jawab terhadap harapan pemerintah propinsi terkait peningkatan produktivitas jagung.
Nahor Taklal, petani dari Oeteta, mengatakan, pendampingan terhadap petani harus ada. Jika ada pendampingan maksimal, baik dari pemerintah maupun swasta, maka diyakini produktivitas jagung atau tanaman pertanian lainnya akan meningkat. Karena di satu sisi potensi NTT cukup besar, tapi sumber daya manusia pengelolanya masih rendah.
Mantan Kepala Dinas Perkebunan NTT, Ir. Umbu Pura Woha, berpendapat, pendampingan terhadap petani memang harus ada. Menurut dia, kebijakan pemerintah sekarang ini menciutkan struktur instansi birokrasi bertujuan agar mengembalikan ke fungsi-fungsi semula. Ini nanti jabatan paling rendah mantri pertanian seperti dahulu. Lebih tinggi pengamat, di tingkat menengah penyuluh dan paling tinggi penyuluh spesialis. "Ini yang harus menjadi paling depan. Kepala dinas pasti sangat sulit turun ke petani. Dahulu saya juga rangkap menjadi penyuluh," ujarnya.
Dengan penggabungan struktur instansi pemerintah Pura Woha berharap mereka yang fungsional harus selalu berada di lapangan. Ia mencontohkan, petani di Thailand membayar penyuluh. Dengan cara itu lambat laun petani juga bisa pintar dalam bertani setelah mendapat pendampingan intensif dari penyuluh.
Jadi, pendampingan itulah yang dibutuhkan petani sehingga teknologi yang akan diterapkan bisa sampai di petani. Dan, ini harus dikawal terus karena tidak bisa satu hari tetapi bertahap. "Pengalaman saya ketika mempelajari agribisnis di Thailand, justru PPL itu dibayar oleh petani. Seorang asisten di lapangan dibayar oleh petani. Petani yang membayar Rp 10.000, tetapi dari 500 orang sampai 600 orang petani. Pada saat musim kemarau, petani ini kembali belajar sehingga ilmunya bertambah," kata Pura Woha.
Direktur Politani Negeri Kupang. Ir. Jack Oematan, mengatakan, untuk mensejahterkan masyarakat lewat ketahanan pangan harus ada fokusnya. Mengenai penyuluhan, demikian Jack, tahun lalu Politani kerja sama dengan Pemkab Kupang. Ada satu konsep yang bagus, tapi belum direalisasikan, yakni ada penyuluh lapangan dan swakarsa yang dididik untuk menjadi penyuluh swakarsa bagi kelompoknya sendiri di desanya. Ini dari segi anggaran pemerintah lebih ringan.
"Kita didik kemudian kita fasilitasi penyuluh tersebut karena dia ada di desanya. Kita mobilisasi dia untuk lebih baik dan bagaimana membina/mempengaruhi teman- temannya. Ini salah satu cara yang bila kita tata dengan baik akan membantu ketahanan pangan di tingkat desa," kata Jack.
Kapuslit Budpar Undana Kupang, Drs. Ignas Sinu, M.A, mengatakan, pola pendampingan yang dilakukan Politani Negeri Kupang sekarang ini juga harus menjadi model dalam memotivasi masyarakat petani di NTT ke depan.
Para PPL yang dahulu tinggal di desa, sebaiknya mereka kembali ke desa. Tetapi semua butuh waktu dan proses. Sinu menyebutkan, dari 2.758 desa di NTT baru ada 2.104 orang penyuluh. Tetapi masih ada yang tenaga kontrak. Pendidikan penyuluh juga belum memadai.
Zainal Arifin dari Politani Negeri Kupang berpendapat, dalam konteks kedaulatan pangan, pendampingan mutlak di lapangan. PPL itu minimal lima tahun mendampingi petani. Kalau 200 PPL, maka ada 2.000 model yang kita dapat. "Harapan kami, di NTT minimal satu desa satu model," katanya.
Ia mengatakan, banyak kebijakan di sektor petanian selama ini hanya di tingkat elite, tidak di lapangan. Teknologi hanya dipaparkan di hotel, atau mengantar bibit tanaman kepada masyarakat di desa, tapi tidak ada pendekatan kebun atau menetap bersama petani di desa. Jadi, tegas Zainal, PPL harus menetap bersama petani di desa.
Menetap bukan berarti tinggal tetap di desa, tetapi dibuat jadwal untuk kumpul bersama petani, memberi penyuluhan kepada mereka. Sebab, selama ini banyak kebijakan hanya di tingkat elit, tetapi di lapangan jalan masing-masing.
Pendampingan secara kontinyu terhadap petani di desa menjadi syarat mutlak, demikian Zainal, dengan alasan bahwa persoalan di sektor pertanian di NTT adalah sumber daya manusia petani yang belum memadai sehingga berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Politani sudah berjalan lima tahun terakhir mendampingi petani di Baumata dengan membuka kebun unit uji. (habis)