Jenggot


KEMBALI ke Maumere di ujung Januari untuk sebuah acara kantor, ikut mengantar beta bertemu kawan lama. Kawan yang dagunya mulus tak berbulu. Mengejutkan! 

Rupanya dia sudah berubah wajah. Dulu dia rajin memelihara bulu. Bulu di dagu. Sekarang bersih. Dia rajin dan rutin mengikis.

"Ah, kau bikin saya sempat pangling. Kenapa tidak lagi berjenggot," tanyaku spontan. Dia terbahak-bahak. "Bukan gara- gara istri tidak suka. Saya yang tidak suka karena kelihatan lebih tua," katanya enteng. Kawanku itu doyan jenggot sejak SMA. Saat kuliah jenggotnya makin tebal dan hitam. Jenggot menjadi ciri khasnya selain kulit hitam legam, tubuh gempal dan kepala agak botak di bagian tengah. 


Tentang jenggot banyak kisah di baliknya. Ada kelompok tidak suka memelihara jenggot karena dianggap merusak penampilan. Mereka merasa kurang bersih atau rapi kalau jenggotan. Jangankan jenggot, banyak pula kaum pria tidak suka berkumis. Bagi kelompok ini, kumis dan jenggot mengganggu tampilan fisik sehingga perlu dibabat habis. Agenda cukur terjadwal rapi. Mereka disiplin mencukur. Mereka pun memiliki serta mengoleksi pisau silet kualitas nomor satu. 

Berbeda dengan kubu yang suka pelihara bulu di dagu. Bagi mereka, jenggot tidak merusak penampilan. Malah membuat mereka lebih percaya diri. Coba perhatikan anak muda zaman sekarang. Sebagian dari mereka berjanggut. Kalau ditanya alasan, mereka akan jawab sekenanya. Boleh jadi sekadar latah, bisa juga dengan alasan yang sangat pribadi. 

Jenggot menjadi ciri khas yang terbedakan dengan orang lain. Selain demi penampilan, ada pula yang berjenggot karena terkait dengan keyakinan. Jenggot menjadi tanda identitas diri. Untuk kelompok ini berlaku prinsip, pendekkan kumis dan panjangkan jenggotmu.

Jika tuan dan puan memperhatikan foto diri orang-orang yang hidup tempo doeloe, kaum pria umumnya berjenggot. Seperti bulu yang tumbuh di kepala alias rambut, bulu di dagu itu terawat baik. Rutin dipotong agar rapi. Secara periodik dicuci agar bersih dan membinasakan kutu yang mau hidup enak di antara rimbunan bulu.

Beberapa waktu lalu pria berjenggot sempat mendapat konotasi negatif. Ini gara-gara sejumlah tersangka teroris yang dibekuk aparat kepolisian Indonesia atau polisi mancanegara rata-rata berjenggot. Kenyataan itu memberi kesan seolah-olah teroris identik dengan jenggot. Padahal salah kaprah. Banyak juga pria berjenggot adalah orang baik-baik. Mereka pemimpin masyarakat. Tokoh panutan.

Tahun lalu beberapa portal berita online merilis hasil penelitian tentang jenggot. Menurut hasil penelitian itu, ternyata perempuan lebih suka pria berjenggot. Penelitian itu mengambil sampel perempuan berumur 18-44 tahun. Kepada mereka diperlihatkan 15 gambar pria berjenggot dengan beberapa tingkatan. Ada yang dagunya mulus, sedikit jenggot hingga yang berjenggot lebat. Perempuan-perempuan itu harus memilih, pria mana yang menurut mereka dewasa, romantis, agresif dan serius dalam berhubungan cinta. Hasilnya mencengangkan. Mayoritas perempuan memilih pria berjenggot. Mereka menganggap pria berjenggot memiliki daya tarik sendiri. Mereka lebih memilih pria berjenggot sebagai pasangan hidup. Benar tidaknya penelitian ini perlu diuji lagi.

Jenggot tidak monopoli bangsa manusia. Di dunia hewan, jenggot paling aduhai jelas milik kambing. Jenggot kambing jantan paling oke bentuknya dibandingkan hewan yang lain. Jangan-jangan bangsa manusia terinspirasi jenggot kambing sehingga eksistensi bulu di dagu ini tak lekang oleh zaman.

Tak terbantahkan lagi, jenggot telah menjadi bagian dari peradaban manusia. Jenggot adalah diksi idola dalam pergaulan manusia lewat peribahasa Seperti Cina Kebakaran Jenggot. Artinya, keadaan atau suasana yang terlalu ribut, kacau-balau, huru-hara, gerah, menjengkelkan. Siapa yang suka jenggotnya dibakar? Kebakaran jenggot itu memang bikin kesal. Beta sendiri "kebakaran jenggot" sepersekian detik ketika minggu lalu mendapat ucapan selamat lewat pesan singkat (SMS) dari seorang sahabat di Jakarta. "Proficiat bu, Kupang juara nasional dalam indeks persepsi korupsi dan suap di antara 50 kota di Indonesia!" Siapa yang tidak jengkel dapat ucapan selamat dengan kalimat demikian? Itu kan sinis! 

Tapi kawanku yang berasal dari Kupang itu rupanya cepat membaca pikiran beta. Dia melanjutkan pesan sebagai berikut. "Kalau bu kesal, itu bagus. Beta yakin hasil survei Transparansi Internasional Indonesia tahun 2008 itu valid. Survei itu mesti menghantar Kupang menuju kota KASIH. Kota yang lebih beradab." Beta tak sanggup berkata apa-apa lagi. Karena kata- katanya benar. 

Hari-hari ini adakah yang sungguh kebakaran jenggot tetapi malu mengakui di sekitar tuan dan puan? Terus terang, beta tak berani menjawab. 

Di Maumere empat hari lalu beta bersua dengan sesepuh Sikka, Drs. Daniel Woda Palle. Orang tua itu masih segar dan kuat. Enjoy menjalani masa tuanya sebagai pensiunan PNS. Apa katanya tentang pemimpin? "Tidur setelah anak buah tidur, bangun sebelum anak buahmu bangun." Tidur paling akhir, tapi bangun paling awal. "Karena pemimpin selalu terjaga, anak buah takut berbuat macam-macam." Lagi-lagi beta termangu. Mau bertutur apa lagi? Karena kata-kata itu benar! (dionbata@poskupang.co.id)

Pos Kupang edisi Senin, 2 Februari 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes