Berpihak pada yang tertindas

In memoriam Julius Siyaranamual

Oleh Ana Djukana

TAHUN 1995 lalu, saat menjadi wartawan magang di Harian Umum Pos Kupang, penulis dan beberapa wartawan senior pada pukul 15.00 Wita setiap hari sepulang dari lapangan mendapatkan materi penyegaran dari wartawan senior. Salah satu wartawan senior yang memberikan materi saat itu, Almarhum Om Julius Siyaranamual. Penulis dan hampir semua wartawan sering menyapa almarhum dan almarhum Valens Doy, Damyan Godho, Marcel Gobang, Wens Rumung, Pius Rengka, Hans Louk, Dion Putra, Beny Dasman, Paul Bolla dan senior lainnya dengan panggilan Om.



Tak ada alasan yang tepat mengapa harus menyapa Om dan bukan Pak. Semua itu, hanya masalah kebiasaan dan lebih enak untuk bantingan lidah. Karena itu, terasa janggal bagi kami menyapa Om Damyan Godho dengan Pak Damyan. Karena kebiasaan itu, panggilan om pun dibangun menjadi alasan prinsipil untuk menegaskan dalam dunia pers tak ada birokrasi. Panggilan boleh om, tetapi dalam struktur kami menghormati mereka sebagai pimpinan dan senior. Bukan karena panggilan om lantas menjustifikasi kami harus tidak menghormati mereka. Tetapi pada sisi yang lain, kami bebas berdebat soal idiologi. Sesuatu yang tidak haram di dunia pers.
Kembali ke almarhum Julius Siyaranamual, dengan penampilannya yang nyentrik rambut dikucir, mengenakan jins dan kemeja lengan panjang, merokok dengan secangkir kopi ia memberikan penyegaran kepada kami wartawan.
Untuk mengetahui idiologi apa yang dibangun seorang wartawan dalam bekerja, di ruang rapat Dewan Redaksi, kepada kami diajukan pertanyaan. Sebagai seorang wartawan, jika menulis berita wartawan berpihak pada orang miskin, tertindas ataukah pada kebenaran.
Yang menjawab pertama, senior penulis Om Ben Seran. Ia mengatakan akan berpihak kepada kebenaran. Selanjutnya Om Julius meminta penulis komentar. Penulis memberikan alasan berpihak pada mereka yang tertindas. Dengan membangun kerangka pikir advokasi, penulis selalu melihat korban sebagai orang yang harus dibela dan diberi perhatian.
Setelah itu, Om Julius mengemukakan mestinya wartawan berpihak pada mereka yang miskin dan tertindas. Jawaban Om Julius dibantah Om Ben Seran. Menurut Om Ben, bagaimana mungkin wartawan diminta berpihak kepada orang miskin kalau orang miskin itu mencuri, malas, menipu.
Om Julius kembali bertanya, apakah di dunia ada kebenaran?. Baginya kebenaran itu ada dalam diri orang yang tertindas, orang miskin dan tercecer. Orang menjadi miskin karena kemiskinan yang terstruktur, korupsi yang merajalela dan ketidakadilan.
Selanjutnya mantan Pemimpin Redaksi Majalah Anak-Anak Kawanku ini memberikan kuliah teologia panjang lebar untuk meyakinkan argumentasi yang disampaiaknnya kepada kami. Mengutip Injil, Om Julius menyampaikan bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan memberi Engkau makan atau haus dan memberikan Engkau minum ? Bilamanakah kami melihat melihat Engkau seorang asing dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan memberikan Engkau pakaian? Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Aku berkata kepadaMu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk Aku.
Baginya pesan Tuhan Yesus menjadi pesan kenabian yang menjadi spirit dalam melaksanakan kerja-kerja kemanusiaan melalui profesi wartawan. Wartawan tidak boleh netral dan pasif terhadap rezim saat itu.
Dalam bekerja, ujar Om Julius wartawan mesti bertindak profesional artinya dalam menulis berita harus berimbang, cek, recek tetapi dalam idiologi harus berpihak kepada mereka yang lapar, haus, korban ketidakadilan, termarginalisasi.
Pada lain kesempatan saat isu HIV/AIDS belum diketahui di NTT, Om Julius yang menangani hotline HIV/AIDS di koran Surya datang dan mensosialisasikannya melalui Harian Umum Pos Kupang, membuat lokakarya.
Om Julius jauh-jauh hari sudah mengingatkan wartawan agar dalam menulis berita HIV/ADIS tidak diskriminasi terhadap ODHA, melihat OHDA sebagai sesama yang patut diberi perhatian.
Ia pun mengajarkan kepada kami wartawan muda untuk menjaga nilai dalam menjalani profesi. Wartawan sekali-kali jangan mapan. Jika mapan wartawan tidak akan peka dan cenderung membela kekuasaan. Wartawan katanya harus belajar, membaca dan berdiskusi. Menjadi wartawan tak cukup dengan memahami 5 W dan 1 H.
Meski ia meminta wartawan menjaga jarak kritis dengan kekuasaan tetapi wartawan tetap harus mempunyai kasih dalam hati. Dengan kasih wartawan tidak menjadikan berita bagi pembacanya candu tetapi menjanjikan jalan keluar.
Ajarannya tentang nilai tidak sekedar omong-omong tetapi dipraktekannya dalam sikap hidup. Meski bicaranya sering nyelekit (judes bahasa Kupang), tetapi hatinya baik.
Penulis bertemu terakhir dengan almarhum, ketika Harian Independen NTT Ekspres baru terbit beberapa bulan. Setiap malam dari rumahnya di Fontein ia selalu datang memberikan motivasi kepada penulis, Om Hans Louk, Paul Bolla dan Dani Ratu.
Kini Om Julius telah dipanggil Tuhan kembali. Airmata kita jatuh lagi, kenapa orang-orang baik begitu lekas dipanggil pulang. Guru, penyair, wartawan, ayah kita Julius Siyaranamual telah berpulang. Itulah kiriman pesan pendek Pemred Pos Kupang, Om Dion Putra kepada penulis. Selamat jalan Om Julius, nilai-nilai yang kau ajarkan menjadi suluh bagi kerja-kerja kemanusiaan melalui profesi wartawan. *

Wartawan atau tukang cat?

MEMBAHAS seorang Julius Siyaranamual tak cukup hanya dengan menulis in memoriam. Ia tidak hanya wartawan, tetapi juga guru, sastrawan. Ia kaya ide. Berada dekatnya, kita selalu merasa bodoh. Bersama keluarga besar Harian Umum Pos Kupang, Rabu (25/5/2005), kami beberapa anak didik Om Julius yang sudah tidak lagi mengabdi di Pos Kupang diundang Pemred Pos Kupang, Om Dion Putra berdoa bersama. Di sana ada Om Hans Louk, Om Asis Tokan, Om Paul Bolla, Ibu Evie Pello dan saya sendiri yang pernah mengabdi dan dibesarkan di koran tersebut.
Doa bersama tersebut dipimpin Paul Bolla. Dalam refleksi khotbahnya Om Paul menyinggung Om Julius Siyaranamual mengajar calon wartawan Pos Kupang bagaimana mendeskripsikan fakta sehingga pembaca merasa hadir dalam sebuah peristiwa dengan membaca tulisan wartawan.
Yang dikritik Om Julius, selama ini wartawan menulis features sangat kering. Artinya konteks tidak dihadirkan dalam sebuah tulisan. Membaca features yang kering, pembaca tidak mendapatkan apa-apa dari tulisan tersebut. Karena itu, jangan heran kalau hasil liputan yang dibuat features dan diperiksa Om Julius tak ada yang baik menurutnya.
Menurut Paul, Om Julius berbeda dengan Om Valens. Kepada wartawan yang bersusah payah mengejar objek liputan dan berhasil membuat berita yang baik diberi apresiasi. Hal itu tak pernah dirasakan dari Om Julius. Di hadapan Om Yulius semua orang bodoh.
Membaca hasil-hasil karya wartawan yang diajarkannya dan tidak ada perubahan, Om Julius pernah marah. Ia mengatakan apa yang disampaikannya ibarat membuang mutiara ke mulut babi-babi. Setelah itu ia meninggalkan wartawan dan keluar.
Dipandu Tony Kleden, memberikan kesempatan kepada kami untuk memberikan komentar tentang Om Julius. Om Damyan Godho mempunyai kesan yang spesifik terhadap Om Yulius. Di mata Om Damyan, Om Julius orang yang sangat toleran. Saat pertama mendirikan Pos Kupang, Om Julius rela meninggalkan keluarga dan semuanya memilih bergabung dengan Om Damy dan teman-teman untuk mendirikan Pos Kupang. Semua itu dilakukannya karena tantangan Om Damy, kalau merasa orang Kupang pulang dan buat koran di Kupang.
Meski Om Julius suka mengeluarkan kata jorok kata Om Damy, dan jarang ke gereja, tetapi sikap hidupnya sangat religius.
Dirinya pernah dinasehati Om Julius saat ia datang ke rumahnya dan melihat lilin yang sementara dinyalakan. Om Julius memintanya untuk hidup seperti lilin yang menerangi orang lain tetapi lebur. Sebenarnya nasehat itu juga adalah cerminan hidup Om Julius sendiri. Karena Om Julius orang yang sibuk mempersoalkan dan menggugat kemiskinan, ketidakadilan, orang-orang yang tercecer tetapi hidupnya menderita.
Sementara Om Marsel Gobang menilai Om Julius adalah inspirator. Ide-idenya cerdas dan cemerlang. Dia diberikan Tuhan lima talenta.
Sewaktu masih di Surabaya, mereka sering makan dan tidur bersama sehingga menjadi akrab. Kedekatannya dengan Om Julius karena almarhum Valens Doy. Jika kehabisan uang untuk membeli makan, Om Julius akan berterus terang, begitupun rokok. Hal yang sama pun dilakukannya terhadap Om Julius. "Banyak hal yang tak bisa diungkapkan biar semua itu menjadi kenangan," katanya.
Om Hans Louk mempunyai kesan seperti Paul Bolla. Berkenalan dengan Om Yulius kata bodoh pertama yang diterimanya dari mulut Om Julius. Tetapi ajaran Om Julius soal deskripsi membuat tulisannya tentang tetangganya yang meninggal terbakar menjadi acuan polisi untuk membongkar kasus tersebut. Satu hal yang tak bisa ditirunya dari Om Julius mengajar berjam-jam dengan rokok di bibir.
Pengalaman kami dengan Om Julius oleh Pemred Pos Kupang, Om Dion Putra minta ditulis dan dikirim ke Pos Kupang. Paul Bolla didaulat pertama untuk menulisnya. Siapapun yang pernah berteman, dididik Om Yulius mempunyai kesan tersendiri terhadapnya. Yang pasti semua tahu Om Yulius tak pernah senyum meski selera humor tinggi, suka mengeluarkan kata-kata yang judes, pelit pujian, baju selalu diluar. Pokoknya dia sosok yang unik.
Jika seseorang ingin menjadi wartawan hanya karena mengisi waktu luang sebelum mendapat pekerjaan di tempat lain dan bertemu dengan Om Julius, pasti dia berpikir dua kali lagi untuk menjadi wartawan.
Awal kedekatan saya dengan Om Julius, saat menjadi wartawan magang. Seorang teman diutus meliput festival Lasiana. Namun sepulang dari festival ia tak membuat berita (sesuatu yang fatal bagi seorang wartawan sebenarnya). Padahal berita tersebut telah diproyeksi dalam rapat Dewan Redaksi sore hari untuk berita halaman I. Pukul 22.00 Wita, penulis dipanggil Om Hans Louk (redpel saat itu) dengan Om Julius dan menugaskan meliput diantar mobil sedan Pos Kupang. Pukul 12.00 Wita, kembali dan membuat berita yang diturunkan halaman I.
Sejak saat itu, mungkin karena ia melihat saya mempunyai tampang disuruh atau penurut dalam beberapa hal saya sering ditugaskan atau diajak diskusi. Termasuk saat sosialisasi HIV/AIDS di Kupang.
Hal yang tak pernah terlupakan saat mendidik kami wartawan baru. Om Julius paling benci terhadap orang yang malas berpikir dan tidak disiplin. Seorang teman perempuan saya datang terlambat dari lapangan padahal Om Julius sementara mengajar. Teman saya itu datang mengenakan celana ketelpak (celana kode) yang saat itu lagi mode. "Ana ini tukang cat dari mana?" tanya Om Julius dan menghadap ke Ana. Teman saya itu tertawa. Om Julius mengatakan tak ada yang lucu karena kamu seperti badut seraya bertanya sinis, "Ini wartawan atau tukang cat?"
Saat itu saya benar-benar ketakutan. Teman saya itu salah tingkah tetapi Om Julius seakan tak peduli perasaan teman saya dan melanjutkan mengajar. Dalam hati, saya catat Om Julius orang yang disiplin, keras dan komit terhadap profesi. Karenanya selama ia mengajar, saya berusaha tidak terlambat dan menuruti semua penugasan yang diberikannya. Om Julius memang unik, guru, wartawan, sastrawan. Mungkinkah ada generasi baru pengganti Om Julius? (ana djukana)

Sumber Harian Kursor, 25 Mei 2005
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes