UNTUK kesekian kalinya Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe melalui Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang, dr. Dominggus Sarambu mengingatkan warga kota ini tentang bahaya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Secara khusus Sarambu menyinggung tentang siklus kedua DBD dalam bulan Februari-Mei 2008. Seluruh kelurahan di Kota Kupang hendaknya waspada dan tingkatkan kepedulian tentang kebersihan lingkungan tempat tinggal mereka.
Dokter Sarambu juga menyebut data terkini tentang jumlah kasus DBD di Kota Kupang. Sampai tanggal 11 Februari 2008, tercatat 194 kasus dengan korban meninggal dunia tiga orang. Korban meninggal itu berdomisili di Kelurahan Kelapa Lima, Airnona dan Kelurahan Nefonaek. Dari 194 kasus itu, jumlah terbanyak di Kelurahan Oebobo. Bisa dimengerti, kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang, karena wilayah Oebobo lebih padat pemukiman penduduknya.
Wabah penyakit ini tidak hanya terjadi di Kupang, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejumlah daerah sudah masuk kategori KLB seperti Kota Ende. Penyakit yang sama juga terjadi di Atambua serta daerah lainnya di NTT.
Kendati sudah berulang ditulis dan diulas dalam ruangan ini, kita tak akan pernah bosan untuk kembali menggarisbawahi bahwa DBD itu merupakan "penyakit perilaku" kita sendiri. Sebagai salah satu jenis penyakit yang berbasis lingkungan selain diare atau malaria, DBD itu terkait erat dengan perilaku manusia terhadap kebersihan lingkungan huniannya. Dan, perilaku tidak tergantung pada tingkat pendidikan, pengetahuan atau posisi sosial seseorang di tengah masyarakat. Boleh jadi orang dengan pendidikan formal rendah jauh lebih peka dan peduli terhadap kebersihan lingkungan ketimbang mereka yang berpendidikan tinggi, S1, S2 dan seterusnya. Tidak mustahil rakyat biasa, orang-orang kecil dan sederhana jauh lebih paham ketimbang kita yang disebut tokoh masyarakat, pejabat eselon di pemerintahan, pengusaha kaya dan lainnya. Dengan kasus DBD yang melanda warga kota hampir saban tahun -- cukup bening memperlihatkan bagaimana perilaku kita terhadap kebersihan lingkungan sebagai sumber utama penyakit itu.
Warga kota terutama di kawasan perumahan yang padat bahkan perumahan elite -- umumnya bertindak semau gue. Jangan bayangkan mereka rutin menguburkan kaleng atau botol bekas makanan atau minuman. Kaleng atau botol bahkan dibuang pada pada lokasi yang tidak semestinya. Sampah berserakan, termasuk memenuhi selokan. Drum atau bak air dibiarkan terbuka tanpa abate. Pot-pot bunga penuh air, menjadi media idola nyamuk Aedes Aegypti beranak-pinak.
Ada salah kaprah di tengah masyarakat. Ketika terjadi wabah DBD -- sangat kuat kesan menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada pemerintah. Berteriak lantang kepada Dinas Kesehatan dan segenap jajarannya agar segera menurunkan tim untuk membagi abate, melakukan fogging.
Kita tidak mengingkari tanggung jawab pemerintah tersebut. Tetapi tangan pemerintah pun terbatas. Yang utama dan terpenting adalah kesadaran dari dalam diri kita masing-masing, dari dalam keluarga untuk berperilaku hidup sehat. Bersikap toleran dan peduli dengan kepentingan tetangga, dengan orang-orang yang tinggal di sekitar kita. Penting untuk melakukan hal-hal kecil dan remeh-temeh. Misalnya membuang sampah pada tempatnya. Membumikan kaleng dan botol bekas. Rutin memperhatikan pot bunga atau wadah apa saja yang berpeluang menampung air. Juga belilah abate secara mandiri. Harganya tidak terlampau mahal dan tersedia di banyak tempat.
Kebersihan lingkungan membutuhkan semangat swadaya dan kebersamaan. Kita gugah para ketua RT dan RW untuk menggelorakan semangat warganya bersama-sama membersihkan lingkungan masing-masing. Meluangkan waktu 1 sampai 2 jam untuk bersih lingkungan dalam sepekan agaknya bukan hal yang terlalu sulit.
Kalau masalah yang dianggap sepele ini tidak segera diperhatikan, maka penyakit "klasik" penduduk Kota Kupang dan rakyat NTT umumnya seperti DBD, diare, malaria dan lainnya senantiasa mengintai anak cucu kita, anggota keluarga, saudara dan tetangga kita. Dan, penyakit itu setiap saat dapat merenggut nyawa. Siapa pun Anda. ** Salam Pos Kupang, 12 Februari 2008.
Dokter Sarambu juga menyebut data terkini tentang jumlah kasus DBD di Kota Kupang. Sampai tanggal 11 Februari 2008, tercatat 194 kasus dengan korban meninggal dunia tiga orang. Korban meninggal itu berdomisili di Kelurahan Kelapa Lima, Airnona dan Kelurahan Nefonaek. Dari 194 kasus itu, jumlah terbanyak di Kelurahan Oebobo. Bisa dimengerti, kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang, karena wilayah Oebobo lebih padat pemukiman penduduknya.
Wabah penyakit ini tidak hanya terjadi di Kupang, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejumlah daerah sudah masuk kategori KLB seperti Kota Ende. Penyakit yang sama juga terjadi di Atambua serta daerah lainnya di NTT.
Kendati sudah berulang ditulis dan diulas dalam ruangan ini, kita tak akan pernah bosan untuk kembali menggarisbawahi bahwa DBD itu merupakan "penyakit perilaku" kita sendiri. Sebagai salah satu jenis penyakit yang berbasis lingkungan selain diare atau malaria, DBD itu terkait erat dengan perilaku manusia terhadap kebersihan lingkungan huniannya. Dan, perilaku tidak tergantung pada tingkat pendidikan, pengetahuan atau posisi sosial seseorang di tengah masyarakat. Boleh jadi orang dengan pendidikan formal rendah jauh lebih peka dan peduli terhadap kebersihan lingkungan ketimbang mereka yang berpendidikan tinggi, S1, S2 dan seterusnya. Tidak mustahil rakyat biasa, orang-orang kecil dan sederhana jauh lebih paham ketimbang kita yang disebut tokoh masyarakat, pejabat eselon di pemerintahan, pengusaha kaya dan lainnya. Dengan kasus DBD yang melanda warga kota hampir saban tahun -- cukup bening memperlihatkan bagaimana perilaku kita terhadap kebersihan lingkungan sebagai sumber utama penyakit itu.
Warga kota terutama di kawasan perumahan yang padat bahkan perumahan elite -- umumnya bertindak semau gue. Jangan bayangkan mereka rutin menguburkan kaleng atau botol bekas makanan atau minuman. Kaleng atau botol bahkan dibuang pada pada lokasi yang tidak semestinya. Sampah berserakan, termasuk memenuhi selokan. Drum atau bak air dibiarkan terbuka tanpa abate. Pot-pot bunga penuh air, menjadi media idola nyamuk Aedes Aegypti beranak-pinak.
Ada salah kaprah di tengah masyarakat. Ketika terjadi wabah DBD -- sangat kuat kesan menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada pemerintah. Berteriak lantang kepada Dinas Kesehatan dan segenap jajarannya agar segera menurunkan tim untuk membagi abate, melakukan fogging.
Kita tidak mengingkari tanggung jawab pemerintah tersebut. Tetapi tangan pemerintah pun terbatas. Yang utama dan terpenting adalah kesadaran dari dalam diri kita masing-masing, dari dalam keluarga untuk berperilaku hidup sehat. Bersikap toleran dan peduli dengan kepentingan tetangga, dengan orang-orang yang tinggal di sekitar kita. Penting untuk melakukan hal-hal kecil dan remeh-temeh. Misalnya membuang sampah pada tempatnya. Membumikan kaleng dan botol bekas. Rutin memperhatikan pot bunga atau wadah apa saja yang berpeluang menampung air. Juga belilah abate secara mandiri. Harganya tidak terlampau mahal dan tersedia di banyak tempat.
Kebersihan lingkungan membutuhkan semangat swadaya dan kebersamaan. Kita gugah para ketua RT dan RW untuk menggelorakan semangat warganya bersama-sama membersihkan lingkungan masing-masing. Meluangkan waktu 1 sampai 2 jam untuk bersih lingkungan dalam sepekan agaknya bukan hal yang terlalu sulit.
Kalau masalah yang dianggap sepele ini tidak segera diperhatikan, maka penyakit "klasik" penduduk Kota Kupang dan rakyat NTT umumnya seperti DBD, diare, malaria dan lainnya senantiasa mengintai anak cucu kita, anggota keluarga, saudara dan tetangga kita. Dan, penyakit itu setiap saat dapat merenggut nyawa. Siapa pun Anda. ** Salam Pos Kupang, 12 Februari 2008.