Sastrawan yang Asing di Kampung Sendiri

* Mengenang Julius R Siyaranmual

Oleh Even Edomeko*

ADAKAH sastrawan dari NTT? Maka seorang guru sastra SMP Seminari Yohanes XXIII Lela (1983) menjawab kepada penulis : Gerson Poyk dan Julius R Siyaranamual. Hanya begitu. Begitu saja! Lalu ia cepat-cepat membicarakan nama lain yang tertulis dalam buku pelajaran sastra terbitan Tiga Serangkai Solo.
Siapakah Julius? Jawaban atas pertanyaan ini baru penulis peroleh ketika "merusak kerapian" perpustakaan SMA Seminari Yohanes Berchmans Mataloko (1985/1986), langsung dari "mulut" Om Julius sendiri melalui kisah kepengarangannya yang ia juduli Menolak Kebetulan, sebagaimana termuat dalam buku Pamusuk Eneste (editor) : Proses Kreatif (Gramedia, Jakarta, 1983). Dalam buku ini, "Sastrawan leu-leu" itu bersaksi dan men-sharing-kan pengalamannya tentang mengapa dan bagaimana saya mengarang, bersama dengan sepuluh sastrawan senior seperti "ST Alisjahbana, Trisno Yuwono, Budi Darma, Nh. Dini, Putu Wijaya, Arswendo Atmowiloto, dll. Berkali-kali penulis membacanya, dan setiap kali membaca, selalu saja berkibar perasaan sangat bangga bahwa ternyata dari daerah bencana ini, dari propinsi busung lapar ini, ada sastrawan ternama!


Namun perkenalan yang "lebih intens" dengan Om Julius dan sastrawan NTT lainnya baru terjadi di Malang (1991/1995), saat penulis jadi mahasiswa dan aktif dalam Kelompok Penulis Nusa Nipa (bersama Anthony Tonggo, Tonce Tolentino, Timo Teweng, Marthen Golo, serta Drs. Gaspar Asal dan Drs. Gerardus Uda - dua nama terakhir adalah dosen Undana yang sedang studi S2 di IKIP Malang). Kami mengumpulkan karya-karya pengarang NTT dan mendiskusikannya. "Luar biasa dahsyat para pengarang NTT!" kata Profesor Hasyim Amir, budayawan dan ahli sastra IKIP Malang, yang sering kami mintai komentarnya terhadap karya pengarang NTT.
Di rumah beliau yang sederhana dan artistik, sambil lesehan, kami sempat bergurau dengan dan menikmati Eka Budianta bersyair, Emha Ainun Nadjib berseloroh dan Gerson Poyk bikin cerita "porno". Kami jadi akrab dengan sastrawati Ratna Indraswari Ibrahim, yang hanya duduk di kursi roda, tetapi selalu dikunjungi Ignas Kleden saat ngelencer ke Malang. Sayang, Om Julius yang kala itu tinggal dekat- dekat di Surabaya sebagai redaktur Harian Surya tidak pernah bisa kami jumpai. Saat ke Surya mengambil honorarium tulisan dan menanyakan Om Julius, Kae Jacobus Embu Lato biasa menjawab, "Wah dia sudah ke..." Namun dari mulut para sastrawan dan budayawan itu, kami lebih mengenal para sastrawan NTT, termasuk keunikan-keunikan yang pasti tidak bakal dimuat di media massa. Kami pun mengenal : Umbu Landu Paranggi, John Dami Mukese, Maria Matildis Banda...
Gesekan dan pergaulan itu mendorong penulis untuk coba bikin cerpen sendiri dan -syukur-alhamdulilah-deo-gratias- dimuat di beberapa media terbitan Jakarta, Nusa Tenggara dan Jatim, di antaranya di Harian Sore Surabaya Post, di kolom yang pernah memuat karya Gerson Poyk (seperti cerbung Negeri Lintasan Petir, Budi Darma, Beni Setia dan Emha Ainub Nadjib.

***
Dengan kisah di atas, penulis mau mengatakan bahwa ternyata NTT memiliki sastrawan kaliber nasional dan bahkan dibicarakan di luar negeri, dan bahwa karya dan hidup mereka mampu membangkitkan minat dan menodorong kreativitas "generasi ade-ade"-nya, tetapi sayangnya mereka kurang dikenal di antara "anak-anak tanah". Sastrawan NTT adalah orang asing di kampungnya sendiri.
Ketika Pos Kupang (25/5/2005) mengabarkan Om Julius telah meninggal dunia, penulis bertanya kepada para siswa SMU di Maumere: "Kenal sastrawan Julis R Siyaranamual?" Mereka malah bertanya, "Siapa dia?" Bahkan seorang guru bahasa dan sastra di sebuah sekolah ternama di Maumere mengaku hanya tahu serba sedikit nama itu dari buku pelajaran sastra, dan belum pernah membaca karya-karyanya!
Pemerintah daerah pun sama saja. Dalam Pos Kupang edisi 26 dan 27 Mei 2005 tidak pernah ada "tanda-tanda budaya' (istilah penulis) yang mensinyalkan adanya perhatian dan kepedulian dari Pemda NTT - baik pemimpin eksekutifnya maupun legislatifnya - tentang telah mangkatnya seorang tokoh besar NTT. Sama sekali tidak ada! Yang ada justru ikan-iklan besar yang beri ucapan selamat ulang tahun kepada Bapak Piet A Tallo, Gubernur NTT. Om Julius, seperti Om Valens Goa Doy yang meninggal beberapa hari sebelumnya (3 Mei 2005), memang telah memilih jalan seni, sebuah jalan yang sepi, yang senyap dari aplaus dan sunyi dari apresiasi, lebih-lebih di kampung sendiri.
Apakah artinya ini? Ini berarti, para pemimpin kita, eksekutif, dan legislatif, tidak menaruh hormat atas jasa para pahlawan sastra dan budaya NTT. Padahal mereka telah mengharumkan nama NTT, tidak saja di jagat sastra nasional, tapi juga internasional. Hidup bagi mereka, seolah-olah, hanya politik yang riuh dan ekonomi yang hinggar. Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada peringatan Harkitnas 20 Mei 2005, di Istana Negara, menulis sebuah puisi yang dibacakan penyair Bandung Imam S, dan menitipkan salam untuk semua seniman dan sastrawan Indonesia dengan ucapan : "Hidup itu tidak hanya politik dan ekonomi. Hidup baru jadi kaya bila diisi dengan seni dan budaya" (TVRI, 2 Mei 2005, jam 20.00-22.00 Witeng). (Kiranya politikus-ekonom Ame Frans Seda tidak berkeberatan dengan hal ini).
Semua ini mengingatkan kita akan gugatan Gerson Poyk, Taufiq Ismail, Jamal D Rahman dan Agus R Sarjono, tiga tahun lalu, yang mengeluh bahwa : "Sekarang Indonesia umumnya, dan NTT khususnya, miskin sastrawan pelapis". Keluhan ini dilontarkan dalam dialog "Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya" bersama para siswwa SMA di Kupang (Pos Kupang, 29 Juli 2002). Gerson bahkan menuding Pemda NTT hanya peduli membangun gedung-gedung besar dan rumah-rumah mewah, semua yang fisikal belaka. Itu tidak buruk. Tetapi, melupakan pembangunan rohani, spiritual, dan emosi, lewat sastra dan budaya, hanya membuat manusia NTT yang besar badannya tetapi kerdil jiwanya.

***
Mungkin prihatin akan itu, Om Julius bercita-cita pulang kampung dan mendirikan sanggar belajar sastra bagi kaum muda NTT (Pos Kupang, 25/5/2005). Sayang, ia keburu mangkat sebelum angannya terwujud. Maka, hari-hari duka mengenang kepergiannya kini mesti jadi momentum untuk membergairahkan minat kaum muda NTT akan sastra. Bukan sekadar untuk memenuhi cita-cita Julius, tidak hanya demi melahirkan sastrawan pelapis dari NTT yang diangankan Gerson Poyk, tetapi terutama untuk membentuk kebeningan budi dan keindahan jiwa kaum muda kita.
Untuk itu barangkali strategi berikut kita direnungkan untuk dipertimbangkan. Pertama, media massa. Media massa kita, elektronik dan terutama cetak, akan menjadi tonggak pertama dan sangat penting dalam menyebarluaskan karya-karya dan kisah hidup para sastrawan lokal kita. Jangan tunggu mereka mati dulu baru menulis berhalaman- halaman tentang mereka. Ulasan tentang karya-karya mereka, baik karya yang meraih penghargaan maupun belum, dan wawancara tentang proses kreatif mereka sebagai pengarang atau aktivitas kesehariannya, akan senantiasa penting dan menarik disimak, dipelajari, diarsipkan, diajarkan, dan pada gilirannya merangsang minat banyak "anak tanah" untuk tidak saja mengenal dan mencintai para sastrawannya, tetapi juga mengikuti jejaknya.
Di sisi lain, demi mengemangkan minat pada sastra, koran-koran perlu menyiapkan ruang khusus yang mempublikasikan karya para kawula muda (seperti Pos Kupang Minggu), dan alangkah baiknya jika disediakan pula honorarium yang merangsang. Bersamaan dengan itu, kehadiran Maria Matildis Banda, Frans M Parera dan Gerson Poyk (selaku redaktur khusus) bisa lebih menggairahkan para "calon sastrawan pelapis" itu dengan memberikan penilaian, kritik dan apresiasi terhadap karya-karya mereka, sebagaimana dulu DA Peransi terhadap R Siyaranamual atau HB Jassin terhadap Chairil Anwar, dll.
Kedua, sekolah-sekolah. Sistem pendidikan bahasa dan sastra yang selama ini menitikberatkan gramatika perlu diperkaya dengan belajar sastra dan mengarang. Adalah baik, jika para guru mulai memasukkan ujian mengarang sebagai bagian dengan bobot lebih dalam ujian Bahasa Indonesia. Siswa harus diajari menulis dan mengarang lebih serius daripada sekadar bikin clipping. Rasa-rasanya ahli gramatika seperti Bapak Goris Keraf dan Romo Bone Rampung setuju dengan saran ini.
Ketiga, masyarakat. Kelompok masyarakat seperti pengusaha, LMS dan stasiun-stasiun radio bisa mengambil bagian dalam menumbuhkan semangat berkebudayaan ini, misalnya dengan menyelenggarakan lomba mengarang dan/atau membaca karya sastra (seperti dulu pernah ada lomba baca Tapaleuk). Jangan dulu bangga jika hanya mampu menyelenggarakan pertandingan sepak bola, invitasi bola voli, turnamen tinju, kejuaraan berkelahi (taekwondo, karate, kungfu, gulat, silat, dll). Jangan hanya bikin pemilihan Puteri Ayu, Puteri Seksi, Puteri Pantai. Jangan dulu bertepuk dada karena sukses bikin lomba nyanyi, lomba joget, lomba poco-poco, lomba rokatenda, atau lomba gawi dan lomba tari ja'i. Tetapi berbanggalah, beranilah bertepuk dadalah dengan menyelenggarakan sayembara mengarang. Rasanya Dr. Daniel Dhakidae dan Dr. Paulus Budi Kleden tidak akan menolak menjadi juri tanpa dibayar.
Upaya Flobamora Mall yang mengadakan lomba baca puisi baru-baru ini di Kupang penting diikuti pengusaha lainnya. Era otonomi daerah adalah era inisiatif rakyat diberi dan mengambil peran. Dan jangan lupa, jika mungkin, rangsanglah peserta dengan hadiah uang yang menggiurkan. Sekadar contoh, para pengarang/penulis di Malaysia, jika memenangi suatu sayembara mengarang, bisa membawa pulang uang ribuan ringgit (=jutaan rupiah). Maka, tidak heran, jika di negeri tetangga kita itu, kehidupan sastranya jauh lebih maju dari pada kita di sini.
Keempat, pemerintah. Di atas telah diuraikan kritik Gerson Poyk. Di sini, penulis hendak mengimbau agar pemda mulai berani memaknai OTDA dengan mengembangkan kurikulum pendidikan muatan lokal, yang berisikan pelajaran dan pembelajaran tentang sastra dan sastrawan NTT. Siapa lagi yang akan menghargai mereka jika bukan kita?
Setelah melengkapi kurikulum tersebut, langkah selanjutnya pemda perlu menyiapkan "media" untuk para muda itu berkreasi. Misalnya: menyelenggarakan lomba mengarang kisah kepahlawan dari para pahlawan daerah kita pada Hardiknas 2 Mei, Harkitnas 20 Mei, atau perayaan Kemerdekaan 17 Agustus. Jangan hanya bikin pertandingan makan kerupuk dan lomba panjat pinang doang! Bung Karno dan Bung Hatta memperjuangkan kemerdekaan negara ini dengan banyak menyebarkan tulisan di media massa nasional dan internasional. Bukan dengan memanjat pinang atau makan kerupuk.
Semoga permenungan ini menggedor kesadaran kita bersama untuk melahirkan Julius-Julius baru, Gerson-Gerson muda, sebuah angkatan sastrawan NTT yang baru, yang -insya Allah- mengharumkan NTT dan menyejajarkan Indonesia dengan Rusia (dengan Dostoyevsky-nya) atau Inggris (dengan Shakespeare-nya) atau Jerman (dengan Karl May-nya) atau Denmark (dengan Hans Christian 'Louk', eh, Anderson-nya), dll. Memang, jalan itu masih panjang. Namun, berusaha selalu lebih baik daripada berdiam diri. **

* Penulis, pemerhati kearifan lokal
dan pencinta sastra, tinggal di Maumere

Pos Kupang, 15 Juni 2005
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes