Manusia dan Belenggu Bahasa

* Mengenang Kakakku Julius Sijaranamual

Oleh Jacobus E. Lato

Manusia belum mengetahui apakah dia itu, namun melalui alienasi dari diri sendiri, ia dapat mengetahui apa yang pasti bukan merupakan dirinya dan karenanya ia tidak mau atau sekurang-kurangnya seharusnya ia tidak mau tetap tingggal dalam kepalsuan.
Kata-kata Ernest Block, filsuf Marxis kenamaan ini mengingatkan saya pada Julius Sijaranamual. Pada perspektif tertentu, karena kedekatan personal kami yang bersumberkan kekayaan normatif kebudayaan Sumba dan Flores, saya menempatkannya sebagai kakak, namun perspektif lain memposisikan kami sebagai dua lawan yang tak bisa dipertemukan. Tulisan ini dengan demikian mendeskripsikan keberjarakan dan ketidakmampuan manusiawi untuk saling memahami manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Manusia adalah mahluk historis; tumbuh dari pergulatan hidupnya sendiri mewarnai kejasmanian dirinya seperti diuraikan Sigmund Freud berintikan kesadaran dan ketidaksadaran; lingkungan dan relasinya dengan Allah dalam dimensi waktu yang selalu mengkini. Dengan statemen ini saya ingin mengatakan bahwa pengakuan terhadap manusia sebagai mahluk historis tetap tidak bisa memberikan validasi atas pemahaman masa lampau seseorang. Kita tetap membuka diri terhadap kenyataan bahwa manusia adalah mahluk nyata hari ini; mengkini, yang sama sekali tidak bisa sepenuhnya dipertautkan dengan masa lampaunya. Dinamika manusia dengan demikian mengekspresikan kompleks rumit masa lampaunya sekaligus orientasi, harapan dan ekspektasi masa depannya.
Fenomena itu menyebabkan saya tidak bisa dibenarkan mengatakan rekan saya, seorang doktor yang meraih gelar secara gemilang dari sebuah universitas kenamaan yang membuatku ngiler dengan keistimewaan itu, sering terkantuk-kantuk di meja belajar dalam buaian udara dingin Mataloko tempo dulu untuk melakukan character assault atasnya. Saya pun pantas digebuk dengan pukulan karate ala Bruce Lee jika mengatakan rekan-rekan yang kini menjaga gawang dan mewujudkan kebijakan pemerintah pada berbagai kantor di NTT yang kini tercabut dari budaya jalan kaki mereka serta mengendarai mobil ke mana-mana, dulu seringkali mengencangkan perut karena kiriman wesel orangtua terlambat, karena para orangtua itu lebih dulu mengencangkan ikat pinggang mereka demi perwujudan pembangunan monumen anak mereka yang belajar di rantau.
Keunikan dinamika manusia menyebabkan kesibukan para seniman, mahluk yang berada di atas angin angan, sekaligus yang menjalani setiap jalan keras kehidupan tidak berhenti berkreasi. Mahluk rasional ini menjadi sumber inspirasi yang terus-menerus harus ditulis ulang. Menjadi kesibukan pencarian yang tidak pernah mampu terpagari oleh eksistensi manusia sehingga kematian pun tidak mampu mematikan keabadiannya. Tidak juga oleh bahasa. Pengalaman sebagai remaja kecil yang membuatnya selalu dikelompokkan sebagai orang buangan untuk tim sepakbola kelasnya atau jenis olahraga lainnya diekspresikan Julius dalam berbagai novel kanak-kanak seperti Anak-anak Laut (1971), Menaklukkan Dunia Baru (1972), Tuhan Jatuh Hati (1972) dan Dalam Enam Jam.
Dalam novelnya Theo si Cilik (1972), salah satu penulis terbaik yang pernah dihasilkan NTT itu menemukan bahwa ketidakmampuan menandingi rekan-rekannya yang berbadan subur bisa dikanalisasi dalam bentuk lain. Dalam ekspisme psikologis konstruktif tanpa terjebak dalam hingar bingar kebencian yang mempertentangkan diri dengan manusia lain yang kini nampak mulai menghilang dari batin kalangan muda kita. Pengakuan pribadinya kepada saya yang selama tiga tahun hidup satu kos dan bersama-sama menangani kolom Opini, harian Surya di Surabaya; yang termasuk Theo si Cilik dalam dunia nyatanya adalah Valens Goa Doy, rekan sekelasnya yang meninggalkan kita beberapa waktu lalu (lihat essay saya, Valens tidak bisa dikuburkan dengan kata-katanya).
Dalam novel terbitan Nusa Indah yang saya baca pada tahun tahun 1993 itu, Julius membuktikan bahwa karya sastra estetik bisa menjadi semacam tension release, pelepasan ketegangan berekspresi yang mampu menutupi hubungan timpang dalam kekerasan kehidupan sosial. Theo, anak nelayan kecil diindividuasikannya mampu mengalahkan rekan-rekannya yang kelebihan bobot yang ketika itu menyimbolkan kemampuan ekonomi keluarga karena keunggulannya memancing dan memasuki got-got kecil di sekitar kampungnya. Perbedaan-perbedaan kharakter dan kemampuan memetakan manusia dalam berbagai kelompok, tetapi kehidupan sosial mempertautkan mereka dalam satu kesatuan yang utuh agar manusia tumbuh seimbang nampak ingin dimaknakannya dalam berbagai novel anak-anaknya..
Kekayaan dan keasyikan permainan anak-anak kemudian secara jeli dituangkannya kembali dalam cerpennya, Ancaman-ancaman, yang menjadi bagian dari antologi Prosa Indonesia Modern, oleh penulis Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi A.G. Dalam cerpen yang dituliskannya ketika pesona teologi membiusnya sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, kemapanan berpikir kolektif yang bergerak dari norma-norma yang pada akhirnya membelenggu manusia dipertanyakan. Semua norma termasuk agama dipertanyakan dalam semangat mencari kemungkinan konsepsional alternatif yang mengakomodasi ketidakmampuan manusia memahami manusia itu sendiri sehingga hidup tidak terjebak dalam keinginan menjadi Tuhan bagi orang lain. Dikisahkannya, ada murid sekolah dasar yang senang mengganggu pendetanya yang menghabiskan waktu senggangnya dengan berkebun. Setiap kali melewati rumah sang pendeta yang penuh bunga-bunga dan kerimbunan pohon buah-buahan, sang aku melempari bunga-bunga dan mangga. Kebiasaan mengganggu itu ternyata lahir dari keinginan sang aku untuk mendengarkan penjaga gawang norma yang selalu mengkotbahkan cinta dan kerahiman Tuhan itu mengancam anak-anak dengan dosa, neraka dan Tuhan.
Keasyikannya pada anak-anak dan laut ditunjukkan Julius yang sudah mulai mematangkan konsep kepengarangannya dalam cerpen lain, Rembuan mati yang memperlihatkan betapa kebudayaan dalam hal ini mungkin Sumba membelenggu manusia sehingga fatalisme kematian pun bisa dipilih sebagai pelarian. Belenggu itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang merugikan tetapi humor
yang memungkinkan siapapun melihat tradisi nenek moyang itu dalam perspektif baru; keseimbangan menjaga relasi manusia dan alam serta Tuhan. Cerpen itu, berkisah tentang dua bakal besan yang terjebak dalam kebanggaan etnis dan prestise sosial bersitegang tentang mas kawin. Tidak ada pihak mau mengalah menggampangkan anak mereka yang kasmaran menempuh perkawinan. Ketika kebuntuan terjadi keduanya melihat bertanding sebagai alternatif, untuk menunjukkan keunggulan dan prestise diri. Bentuknya bukan berhadap-hadapan ala Caci di Manggarai atau Etu di Ngada, tetapi memancing, yang justru dilakukan ketika rembulan sedang mati. Setelah sekian lama memancing, kedua bakal besan itu merasakan pancing mereka bergoyang. Dan ketika pancing diangkat, kedua calon kakek itu terperangah. Bukannya ikan yang mereka peroleh tetapi mayat anak-anak mereka sendiri.
Arswendo Atmowiloto salah seorang rekannya mengagumi Julius sebagai pengarang yang berhasil menyajikan setting NTT dalam kancah dunia sastra nasional yang berorientasi Jakarta. Pengarang nyeleneh yang pernah dipenjarakan karena sikap skeptisnya itu menilai Julius tidak termasuk pengarang produktif. Hingga tahun 1980, penyuka kopi yang bisa menghabiskan lima bungkus rokok perhati itu hanya menulis sekitar 11 cerpen.
Saya sendiri beruntung pernah membaca sekitar 6 cerpen dan dua novelnya; Theo si Cilik dan Saat Untuk Menaruh Dendam dan Saat Untuk Menaburkan Cinta serta satu novel yang konon diupayakan penerbitannya sebelum stroke melemahkan tubuhnya. Berbagai karya itu terasa mengental utuh dalam kehidupan Bohemiannya yang tidak berhenti mempertanyakan semua fenomena yang ada di sekitarnya. Akibat intensitas pergaulan kami dan latar belakang pendidikan filsafat serta psikologi sosial saya, hidup dan pesona pemenang Zakze Prize sebagai penulis mahasiswa terbaik Indonesia untuk bidang sosial budaya itu merepresentasikan sebuah cerpen atau novel absurd yang sampai kapan tidak pernah diselesaikannya.
Pemberontakan terhadap kemapanan sosial dan keinginan aspek mencari sisi lain dari kegetiran hidup terasa kental dalam setiap gerak hidupnya. Sebagai putra Timor, begitu dia lebih suka mengakuinya, dia keluar dari batasan-batasan sosialnya sejak remaja. Keberanian itu diungkapkannya sejak SMA, setelah menamatkan SMP di kota karang, Kupang. Sebagai drop out SMA elit NTT itu, yang kebetulan sama-sama mengelola ruang Opini harian Surya, kami saling menyegarkan ingatan kepada sekolah asuhan para pastor Serikat Sabda Allah yang menurut penulis NTT lainnya, Gerson Poyk, memiliki panggung drama yang sama baiknya seperti yang dimiliki East West Center di Hawai, Amerika Serikat pada era tahun 1970-an.
Kembara Julius berlanjut. Setelah menamatkan SMA Syuradikara, yang mungkin kini kehilangan panggung sekaliber East West Center sesudah bencana Tsunami tahun 1992, dan bekerja bersama tokoh dan orator Partai Katolik di NTT, Kanis Pari, dia melanjutkan pendidikannya ke STT Jakarta. Selain bertemu dengan rekan-rekannya, seperti Pendeta Yewangoe yang kini menjadi Ketua PGI, di sana, dia bertemu Theresa S. Jansen, mahasiswi Sastra Jerman UI asal Manado, Sulawesi Utara yang dinikahinya dan memberikannya empat putera; tiga perempuan dan satu laki-laki.
Mengenai kisah cintanya itu, Kak Thres, begitu saya biasanya menyapa, berkisah; Ketika mau menikah, dia (Julius) , membawa saya ke Kupang. Bapak dan mama saya tidak tahu. Pakaian pengantin terpaksa saya jahit sendiri dengan tangan. Pakaian itulah yang saya kenakan pada hari pernikahan kami.
Karya sastra berkembang seiring pergulatan hidup pengarang yang ditempa dalam waktu yang panjang. Proses ini menjadi niat yang terus menerus diperjuangkan sehingga kekayaan pengalaman dan pengetahuan dieskpresikan dalam karya-karya yang selalu lebih baik dari sebelumnya. Gejolak dunia anak-anaknya dan remaja Julius dituangkan dalam berbagai tulisan yang sekilas saya singgung di atas. Ketika dewasa, yang menurut psikolog kenamaan Kohler didahului sikap skeptis untuk mempertanyakan nilai-nilai, Julius pun mempertanyakan nilai-nilai cinta dan perkawinan.
Dalam Saat Untuk Menaruh Dendam dan Saat Untuk Menaburkan Cinta (1992), dia melukiskan misteri manusia yang cenderung memetakan cinta sekalipun secara platonis tanpa terjebak hanyutan psikologis; sebaliknya membiarkan masing-masing pihak tumbuh sebagai pribadi.
Bahar, mahasiswa daerah yang terkurung tembok asrama terjebak keinginan menyelamatkan Eri yang terlanjur hamil karena saya membutuhkan seorang sahabat, sebab itu yang tidak pernah saya miliki, dengan cara hidup bersama wanita itu. Kehidupan Eri yang bebas, perbedaan prinsip yang kerap berujung pada konflik menyebabkan pria 23 tahun itu ingin membalas dendam; wanita cantik mahasiswi sebuah akademi sekretaris itu telah memberikan cinta dan dirinya kepada kekasihnya yang entah ke mana, namun kini mengharapkan kerelaannya menanggung malu. Meski demikian, Bahar, tanpa mengutipkan alasan moralistis yang secara sederhana dan hitam putih memetakan manusia juga melihat perkawinan sebagai persoalan manusia yang harus diperjuangkan keutuhan dan kelanggengannya.
Bahasa bagi Julius, adalah raket di tangan Liem Swie King itulah yang sering dikatakannya ketika kami bersama-sama memberikan pelatihan kepada mahasiswa, pada awal 1990-an. Kemahirannya menggunakan keluaran kemampuan berpikir manusia itu mencengangkan. Setiap kata disadarinya dan dirumuskannya hati-hati. Ia khawatir, ketidakmampuan mengungkapkan setiap detil kekayaan konsep berpikir seperti dikandung benaknya membiaskan maksudnya. Tulisan-tulisannya merupakan cermin panjang refleksi keseharian yang dimatangkan bahasanya. Ketidakmampuan merumuskan utuh konsep yang selalu terjadi pada perspektif tertentu harus dikembalikan kepada ketidakmampuan dasar abstraksi manusia dan bahasa pada pihak lain. Karena itu, selain belenggu ketidakmampuan diri, manusia pun dikendalai oleh ketidakmampuan bahasa. Tulisan ini tidak berpretensi menjelaskan Julius Sijaranamual, seperti juga kekayaan pengalamanku bertemu dia. Untuk memahami serba sedikit kekayaan kemampuan Julius mengungkapkan dinamika psikologis manusia, saya kutipkan bagian akhir buku Saat Untuk Menaruh Dendam dan Saat Untuk Menaburkan Cinta (hal. 134-135).
Tetapi ketika melihat wajah ayah Eri yang seakan-akan siap untuk menelan isri dan anaknya, saya segera melanjutkannya; Ketika mula-mula menikah, saya dan Eri memang sependapat bahwa hanya untuk mengatasi persoalan yang bakal dihadapi Eri karena ia hamil. Tetapi persoalannya sekarang sudah agak berbeda. Kenyataan yang saya hadapi pun sudah mampu membuat saya mengambil keputusan untuk tetap meneruskan hubungan yang ada dengan Eri sebagai suami istri.
Lalu sang ayah menanyakan kesungguhan hati saya dan saya katakan bahwa saya dibesarkan dalam tradisi keluarga yang hanya mengenal satu kali perkawinan sebagai hal yang sempurna, dan terutama karena kami telah mempunyai anak dan saya kira persoalan tidak ada sebagai saya juga sudah bekerja baik-baik, bahkan akan kuliah kembali karena dibantu oleh kantor.
Malam itu memang kedua orangtua itu tidak jadi menginap di rumah kami, tetapi mereka juga tidak perlu repot membawa pulang anak mereka. Eri sendiri tidak berbicara sama sekali, ia berdiam diri saja.
Di atas tempat tidur saya berkata, Kau tahu Anwar sekantor dengan saya. Kata Eri: Saya tahu. Waktu saya mau melahirkan, saya dengan taksi lewat di situ. Maksud saya mau memberitahukan kau, tahu-tahu saya lihat Anwar berdiri di depan. Jadi saya suruh taksi terus saja.
Kata saya: Dia menceritakan segalanya, dan saya kira saya bukan seseorang yang tidak membuktikan hal-hal yang saya kira patut saya kerjakan, walaupun seluruh dunia ini akan mengatakan salah. Kata Eri: Lalu apa sebenarnya yang mendorong kau untuk meneruskan hidup bersama saya?
Kata saya: Tidak ada. Kita sudah hidup bersama dan justru saya lihat kemungkinan untuk sebaliknya yang akan aneh. Apalagi kita sudah punya anak sekarang. Dan persoalan pertama yang kita hadapi adalah bagaimana memberikan nama yang bagus untuknya. Eri diam saja. Saya juga sebab saat untuk tidur sudah hampir.*




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes