Selamat jalan Ba'i Jembatang!

(Mengenang 40 hari Bung Julius Siyaranamual)

Oleh : Aris Tanone*

"Bermula dari mula itu ada mulanya".

SEJAK menerima berita duka itu, lalu ada permintaan dari Bung Damyan Godho untuk menulis catatan singkat mengenang 40 harinya Bung Julius, kalimat di atas terus berputar di otak. Soalnya, kalimat itu membangkitkan kenangan akan Bung Lius. Bayangan tentang tawa dan wajah Bung Lius saat berusaha menjelaskan tentang pentingnya kalimat pembuka sebuah cerpen, seakan tertayang kembali dalam film layar hitam putih. Dari pembicaraan tentang tulisan Bung Julius yang mendapat penghargaan Zainal Zakse di Bandung, akhirnya membawa Bung Julius ke urusan kalimat pembuka sebuah cerpen.
Kalimat pendek seperti yang banyak dipakai dalam Alkitab, kata Bung Lius. Sayang, saya tidak bisa ingat persis lagi kalimat itu selain sepotong kalimat di atas; sedangkan waktu dan jarak tidak memungkinkan untuk mengecek lebih jauh apakah betul begitu bunyi kalimatnya.
Pertama kali mendengar nama Bung Lius, mungkin dari almarhum Dady Tanggela yang kemudian menjadi iparnya Bung Julius. Dady dan saya ketemu di tahun terakhir SMA di Kupang. Dia bercita-cita menjadi pelaut dan berniat masuk AIP karena ada familinya yaitu Bung Julius yang tinggal di Jakarta.


Kedua kali mendengar nama Bung Lius dari Asmara Nababan, di Pesta Urakannya WS Rendra di Parangtritis di awal tahun 1970-an. Asmara datang bersama Arief Budiman. Ketika beliau tahu saya dari Timor, beliau terus bilang bahwa Bung Julius adalah teman kerjanya di majalah anak-anak Kawanku. Beliau malah kenal dengan Dady yang juga sudah kerja di sana. Ketiga kalinya mendengar nama Bung Lius dari Satyagraha Hoerip, redaktur harian Sinar Harapan. Waktu itu saya ke Kantor Sinar Harapan di Jakarta membawa naskah cerpen. Lagi-lagi waktu dengar saya dari Timor, beliau bilang kalau Bung Julius adalah pengasuh rubrik Sinar Remaja. "Nanti jam tiga baru dia akan masuk kantor. Tunggu atau kembali saja jam tiga nanti."
Detail pertemuan sudah tidak ingat sama sekali, tetapi dialog berikut ini tak bakal terlupakan.
"Lu tenga di mana?" tanya Bung Lius.
"Di Balai Budaya!"
"Oh, kalau lu bisa tenga di Balai Budaya, ayo nanti pulang botong singgah ame lu pung barang, tarus lu pi buka tikar deng Dady di rumah sa," ajak Bung Lius.
Tentu saja ajakan itu tidak saya tolak. Paling tidak ada Dady untuk mengobrol ketimbang mendengar batuknya Nashar dari bilik kecilnya waktu saya tidur sendiri di kursi tamu panjang di Balai Budaya.
Waktu itu saya ke Jakarta cuma berbekal mesin tik portable. Ada pergolakan batin apakah saya mau jadi fisikus atau jadi pengarang begitu menginjak tahun kedua di Yogyakarta. Karena tinggal di Asrama Timor, saya kenal akrab dengan penyair dan kini Prof. Bakdi Soemanto dari FS UGM yang menjadi tetangga. Dari ceritera-ceritera pengalaman beliaulah, saya pun akhirnya nekad ke Jakarta tanpa uang di kantong selain bekal mesin tik dan satu naskah cerpen. Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya cerpen saya itu tidak bakal lolos ke rubrik Sinar Remaja. Tapi sekarang saya merasa seperti semua itu ada kaitan dengan kalimat-kalimat singkat Pengkhotbah yang Bung Lius kutip saat menjelaskan urusan kalimat pembukaan sebuah cerpen.
Saya tak ingat lagi berapa honornya, tetapi cukup untuk bisa beli tiket bis malam pulang ke Yogya, sekalian bisa beberapa kali ikut Bung Julius putar-putar keliling kota. Yang saya masih ingat antara lain kami pernah mampir ke rumah penulis atau pelukis bernama Fadli Rasyid, lalu ketemu dengan Bung Gerson Poyk. Pernah juga nongkrong minum di warung entah di mana di daerah Jatinegara lewat tengah malam. Paling tidak, itulah saat saya mencicipi hidup ala seniman di Jakarta dan terus terang agak menakutkan juga, apalagi sebelum itu pernah dikejar tukang-tukang copet di Lapangan Banteng sehabis turun dari bus gara-gara saya kembalikan hasil copetan mereka yang jatuh ke teman kuliah saya yang kebetulan ketemu di bus dan kena copet hari itu.
Tapi pengaruh terbesar Bung Julius dalam hidup saya adalah ajakan "buka tikar" di rumahnya itu. Karena waktu menginap di situ itu, saya disuruh melihat contoh karya berupa cerpen dan sajak yang dikirim buat rubrik Sinar Remaja. Ada dua tumpukan tinggi di lantai, masing-masing sekitar setengah meter. Dari tumpukan itulah, diam-diam saya mengingat nama dan alamat seorang penulis remaja dari Pekalongan, setelah sempat juga membaca naskahnya. Setahun kemudian ketika saya membaca sajak penulis remaja tadi di rubrik remaja harian Berita Buana, terus teringat alamat itu, dan saya menulis surat kepadanya.
Gayung bersambut, surat pun saling susul-menyusul. Sayangnya, ketika acara perkawinan kami setelah saya lulus kuliah di akhir tahun 1976, saking sibuknya saya sampai tidak ingat untuk mengirim undangan kepada Bung Lius. Itu suatu ganjalan di hati. Apalagi setelah menikah, kami selalu saja berpindah. Belum lagi karena kami sudah begitu lama di rantau, sampai saat ini istri saya belum pernah ketemu dengan keluarga Bung Julius, selain dengan Dady yang pernah mampir waktu kami masih tinggal di Salatiga.
Terakhir kali ketemu Bung Lius waktu saya di kampus Salemba sekitar tahun 1983-84. Saat itu saya sempat bergurau. "Pertama kali ketemu, Amy (putri Bung Julius) baru lahir. Kedua kali ketemu Amy sudah SMP. Mungkin ketiga kali ketemu Bung Julius sudah jadi kakek." Beberapa tahun lalu, gara-gara melihat namanya di susunan Redaksi Pos Kupang lewat internet, saya sempat telepon cari Bung Julius ke sana. Kebetulan Bung Julius sedang berada di Pos Kupang dan saya tidak ingat lagi apa yang kita bicarakan. Itu juga pertama kali Bung Lius kenalkan saya pada Bung Damyan.
Lalu dari Bung Lius saya mendapat nomor telepon rumahnya di Jakarta, dan saya pernah telepon dan bicara dengan ibu Theresa beberapa bulan setelahnya. Dari sana saya mendapat nomor telepon di Surabaya lalu sempat bicara satu kali lagi dengan Bung Lius.
Waktu saya beritahu kalau Bung Julius meninggal, istri saya hanya melongo. Setelah kembali dari rasa terkejutnya, istri saya sempat tanya.
"Masih muda kan?"
"Enampuluh satu," kata saya.
"Enampuluh satu kan belum tua, enampuluh satu kan sudah menunggu kita di ujung situ."
"Iya, sayang. Kalau di sini enampuluh satu memang terhitung muda. Di sana, selain mereka makannya sembarangan, tidak peduli urusan kolesterol, atau kandungan lemak, mereka juga belum tentu bisa periksa kesehatan dengan fasilitas seperti yang ada di sini, apalagi itu asap rokok dan minumam keras," lalu kami pun tenggelam ke dalam lamunan masing-masing.
Malam itu istri saya mengajak saya ke kapela, khusus untuk berdoa buat Bung Julius dan keluarganya. Setelah telepon sana sini selama dua hari, akhirnya saya bisa bicara dengan ibu Theresa, Amy dan adik-adik Bung Lius di Jakarta.
Dibandingkan dengan pembaca lain, kehadiran Bung Julius dalam hidup saya singkat sekali. Tapi dalam pertemuan yang begitu singkat, Jembatang - kata orang Kupang - atau mak comblang tidak langsung ini tentu saja menentukan sekali dalam seluruh perjalanan hidup saya. Mungkinkah itulah makna bahwa segala sesuatu di bawah langit ada waktunya, seperti yang Bung Julius sempat kutip waktu menjelaskan kalimat-kalimat pendek Pengkhotbah? Walahualam. Dari jauh, saya hanya bisa bilang, selamat jalan Bung Lius, selamat jalan Ba'i Jembatang!

* Aris dan istrinya Winnie Aloisa Tanone,
kini tinggal di Amerika Serikat.

Pos Kupang, 2 Juli 2005
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes