"Ikal diluruskan, keriting dilicinkan!"
Oleh Dion DB Putra
NAIF kalau pengelola media massa (wartawan) bersembunyi dari gugatan mengeksploitasi perempuan. Dibutuhkan kejujuran pengelola media massa bahwa kecenderungan itu cukup signifikan dan telah berlangsung lama. Bahkan pada hari ini ketika kita berdiskusi tentang tema ini -- kekerasan tersebut sedang girang menyengat. Gairah mencubit dan melukai.
Perhatikan produk media setiap hari. Adakah tanpa sosok perempuan dalam berita maupun iklan? Dari iklan sabun, peralatan rumah tangga sampai gedung dan mobil mewah, perempuan menjadi daya tarik utama. So pasti perempuan yang cantik, sedap dipandang, memikat hati. Prinsip media massa: "Yang Cantik, Yang Menjual". Yang tidak cantik tersingkir- terpinggirkan.
Kita sedang berkubang dalam zaman keemasan konsutivisme. Kita tidak segera sadar bahwa eksploitasi terhadap perempuan itu sisi buruk dari ideologi kapitalisme. Perempuan menjadi alat produksi semata. Citra kecantikan kemudian tergantung siapa yang menguasai pasar. Yang cantik adalah perempuan berkulit putih dan langsing. Perempuan dengan rambut lurus, lembut dan jatuh terurai. Penggambarannya dalam aneka rupa dan wujud baik melalui iklan shampo, sabun mandi, alat-alat kosmetika dan lainnya yang hadir setiap saat di televisi, radio, koran dan majalah. Mengalir bagai air bah. Merasuk pikiran, mengubah cara pandang dan tindak.
Adakah hari ini yang merasa heran melihat perempuan di Kota Kupang dan berbagai tempat di NTT dengan rambut rebonding? Juga rambut berwarna-warni? Mereka itu bukan orang lain. Mereka adalah istrimu, saudari, kekasih, teman sekolah, rekan kerja, bibi, kakak atau nenek kita sendiri. Kita suka melihat penampilan mereka sehingga lupa menggugat jangan-jangan mereka "korban" pencitraan yang keliru lewat media massa. Penggambaran yang merusak mindset. Cantik harus rambut lurus sehingga putri-putri Flobamora yang dari sononya sudah anggun dengan rambut keriting asli, keriting ikal atau keriting kribo, rame-rame ke salon demi Meluruskan yang ikal, Melicinkan yang Keriting.
Demikianlah "kekerasan" yang kerap dipandang remeh, tak terasa menyayat kalbu masyarakat yang mengklaim diri melek informasi dan tidak ketinggalan zaman. Masyarakat yang sudah lupa untuk retret sejenak. Menarik diri sesaat guna menengok dengan pikiran lebih jernih.
Tidak jauhlah bedanya dengan produk berita yang membanjiri masyarakat detik demi detik. Sebagian besar media massa, baik media cetak, elektronik maupun online (multimedia) khusus menyiapkan rubrik yang menonjolkan daya tarik perempuan.
Beragam nama sekadar pilihan pengelola agar terbedakan dengan yang lain. Menunya hampir serumpun dan sebangun. Bijak bagi pengelola media massa jika berani melakukan otokritik. Introspeksi demi transformasi. Juga penting bagi setiap jurnalis untuk memahami bahwa persepsi yang keliru atau salah kaprah akan menghasilkan karya jurnalistik yang justru mengekspoitasi perempuan. Menjauhkan perempuan dari perlindungan yang memadai yang merupakan hak dasar mereka.
Mengapa otokritik? Karena media massa merupakan representasi simbolis norma dan nilai-nilai dalam masyarakat.
Stereotipe
Sosok perempuan di media massa seringkali mengusik akal sehat. Saya coba mengangkat kembali hasil penelitian Kartini Network di Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi Jender dan Seksualitas FISIP UI, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Hasil penelitian itu dipresentasikan di Jakarta, 28 September 2005.
Penelitian kualitatif dilakukan terhadap dua majalah dengan sasaran pembaca laki-laki, satu di antaranya dengan pembaca terbanyak dibandingkan media sejenis lainnya; satu koran kuning pendatang baru; dan satu tabloid perempuan. Yang diteliti adalah bagaimana media menggambarkan seksualitas perempuan, terutama dari kelompok marjinal yaitu janda, pekerja seks komersial (PSK) dan lesbian.
Hasil penelitian ini memperlihatkan, citra tentang perempuan janda, misalnya, adalah pencuri suami orang, penggoda dan sensual, pelaku kekerasan terhadap perempuan lain, lelaki tidak melakukan dosa, sebagai penjual cinta, janda itu sensitif (pencemburu), kehidupannya misterius dan mudah kawin-cerai.
Penggambaran tentang PSK adalah penyakit masyarakat, pekerjaan tersebut kriminal, PSK merasa kotor sebab sebelum menjadi PSK sudah tidak perawan lagi karena ditipu pacar, PSK adalah pemuas kebutuhan seksual laki-laki, korban kemiskinan, ditinggal suami atau korban perkosaan dan mereka juga ingin diperlakukan dengan patut sebagai manusia.
Sementara citra perempuan lesbian adalah penderita sakit jiwa, mengalami kelainan, melakukan dosa, jadi lesbian karena tertular dari lesbian lain, korban konflik keluarga serta membutuhkan penyembuhan. Hasil penelitian itu menunjukkan media massa membentuk stereotipe yang merugikan kaum perempuan (lebih jauh baca: Ninuk Mardiana Pambudy, Wajah Perempuan di Media Massa, Kompas 1 Oktober 2005).
Dalam perkara lain, liputan media massa tentang kasus kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kurang memberi perlindungan terhadap perempuan. Pemberitaan media cenderung memojokkan ketimbang membangkitkan harapan dan daya hidup. Sebagai misal kasus kekerasan seksual (perkosaan). Atas nama prinsip jurnalistik bahwa "fakta itu suci" wartawan menulis berita perkosaan sedemikian rinci. Dari awal hingga akhir. Menyebut nama, alamat dan keluarga korban dengan jelas. Wartawan tidak mempertimbangkan dampak psikologis korban dan keluarganya. Oleh pemberitaan yang bias seperti itu, korban dan keluarganya menderita dua kali bahkan berkali-kali dan media ikut menyumbang kontribusi.
Kasus Indonesia menarik perhatian. Masih banyak pekerjaan rumah bangsa ini dalam konteks pengarusutamaan gender. Ketika perempuan (dan anak-anak) dipojokkan media massa, belum cukup regulasi yang memberi ruang kepada mereka melakukan perlawanan. Kita sudah memiliki produk hukum yang melindungi perempuan dan anak dengan diberlakukannya
Undang-Undang (UU) No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Walau demikian, tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga masih tinggi. Dan, media massa belum mengambil peran yang dibutuhkan untuk mendorong penegakan hukum itu secara benar.
Media massa malah membungkam hak perempuan dan anak karena kebebasan pers dimaknai secara salah. Atas nama kebebasan pers, media "menjual" sensualitas perempuan dengan menonjolkan kemolekan tubuh, menampilkan pose dalam pakaian minim (pornografi). Bahkan ada media massa mengiklankan ajakan kencan. Kiranya kutipan ini boleh menjadi bahan refleksi insan pers nasional: SEKALI MERDEKA, MERDEKA SEKALI!
Wartawan = skeptis
Bentuk perlindungan yang dapat dilakukan media massa tentu saja bukan perlindungan fisik. Perlindungan media massa adalah memberi gambaran nyata tentang realitas perempuan. Tidak dalam konteks kisah para janda, wanita PSK atau lesbian sebagaimana hasil penelitian di atas.
Gambaran-gambaran stereotipe yang memojokkan, tidak menggali realitas perempuan dan mengobyekkan perempuan harus diminimalisir media massa. Sudah pasti komitmen itu harus tertanam dalam diri setiap reporter yang bertugas melaporkan fakta dari lapangan sampai level editor di ruang redaksi yang mengolah bahan berita sebelum dipublikasikan. Sikap dasar yang harus dimiliki seorang wartawan adalah skeptis bukan sinis, prasangka atau apriori.
Skeptis adalah tentang bertanya, meragukan, waspada, tidak mudah ditipu, tidak menelan begitu saja setiap data atau informasi yang diperoleh. Jelas beda dengan orang sinis yang merasa sudah mempunyai jawaban tentang seseorang atau peristiwa yang dihadapinya.
Dengan sikap skeptis, seorang reporter bakal melaporkan realitas bahwa janda tidak selalu dicitrakan sebagai penggoda suami orang, sensual dan bisa menjerumuskan orang lain. Wanita PSK tidak dipersepsikan sebagai wanita jalang, kotor dan warga kelas dua. Toh kalau ditelusuri lebih jauh ada banyak ragam motif seseorang menjadi PSK.
Kalau digali lebih dalam, banyak janda yang hidupnya luhur dan mulia. Layak menjadi panutan. Mereka menjadi single parent (orangtua tunggal) yang mampu menghidupi dan mendidik anak-anaknya menjadi orang yang berhasil di tengah masyarakat.
Ketika memberitakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), media harus berimbang. Tidak memojokkan kaum perempuan atau sebaliknya. Ini menyangkut pilihan sudut pandang (angle). Kecenderungan umum wartawan adalah mengungkap motif di permukaan saja. Mereka tidak menggali lebih jauh akar masalah dan terutama dampak dari KDRT itu terhadap istri, suami dan juga anak-anak mereka. Dibutuhkan empati dalam melaporkan peristiwa sosial semacam ini.
Untuk konteks Nusa Tenggara Timur, masih banyak media massa yang bias ketika melaporkan peristiwa perkosaan. Peristiwa perkosaan dilukiskan sedemikian detail dan rinci. Wartawan tidak membayangkan bagaimana kalau berita itu dibaca anak-anak dan remaja yang belum cukup filter. Bagaimana perasaan korban dan keluarganya. Liputan bijak dalam kasus perkosaan adalah "memihak atau melindungi korban" dan "menghukum pelakunya". Di lingkungan SKH Pos Kupang, sikap itu dipraktekkan dengan batasan yang jelas dan tegas. Nama dan alamat korban tidak ditulis lengkap, termasuk lembaga terkait dengan korban seperti sekolah atau lainnya.
Perempuan tangguh
Setiap wartawan sejati harus menyangsikan pandangan umum bahwa perempuan adalah makhluk lemah dan butuh dilindungi.
Siapa bilang perempuan lemah? Jawabannya tidak. Dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan banyak perempuan tangguh, ulet, pekerja keras yang cerdas dan produktif. Pergulatan hidup mereka tidak hanya menarik tetapi penting untuk diungkap kepada publik. Suara dan pengalaman perempuan seperti itu tidak boleh dibungkam oleh media. Paradigma baru bagi media adalah menempatkan perempuan sebagai subyek, sumber utama berita bukan dimunculkan sebagai obyek, dikonstruksikan sebagai korban yang perlu dikasihani. Wartawan perlu mengambil peran untuk mengubah konstruksi sosial yang tidak pro perempuan.Adalah juga tugas media massa untuk mengungkap kekayaan tradisi yang menempatkan perempuan pada posisi terhormat. Tidak selamanya budaya kita membelenggu perempuan. Ada sisi-sisi positif yang belum digali.
Tidak proporsional pula jika media massa cuma mendapat cap buruk yaitu mengeksploitasi perempuan. Banyak media massa yang memberi tempat istimewa, memberi perlindungan yang memadai untuk perempuan. Harus diakui media massa nasional memberi sumbangan berharga sampai lahirnya UU No.23/2002 dan UU No.23/2004. Sumbangan media melalui liputan yang luas tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan. Media bahu-membahu dengan LSM dan semua stake holder terkait hingga melahirkan regulasi tersebut.
Salah satu peristiwa monumental adalah kasus Marsinah (1993). Marsinah, kelahiran 10 April 1969. Wafat 9 Mei 1993. Makamnya di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur masih ramai dikunjungi para buruh setiap awal bulan Mei. Marsinah, buruh PT Catur Putra Surya (CPS), Sidoarjo, ditemukan tewas di tepi sawah di Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, pada tanggal 9 Mei 1993.
Pembunuhan aktivis buruh itu diduga terencana secara matang dan melibatkan sejumlah personel militer, polisi, dan aparat hukum lain. Tindakan itu dinilai banyak pihak untuk menakut-nakuti para pekerja yang berminat membentuk serikat pekerja dan memperjuangkan nasib mereka secara langsung. Pembunuhan Marsinah yang semula ditutup-tutupi akhirnya terkuak. Media massa nasional pada masa itu (Orde Baru) memberi liputan yang sangat besar terhadap kasus ini. Meskipun penegakan hukum dalama kasus Marsinah tidak mememuhi rasa keadilan masyarakat, namun kasus tersebut membuka cakrawala baru, memberi inspirasi tentang perlindungan terhadap buruh atau pekerja.
Tahun 1993 Marsinah mendapat piagam penghargaan Yap Thiam Hien, piagam penobatan sebagai pahlawan pekerja Indonesia oleh SPSI dan piagam penghargaan Pemerintah Kabupaten Nganjuk. Inspirasi terpenting dari kasus Marsinah adalah lahirnya produk UU di bidang ketegakerjaaan yang pro pekerja, pro hak-hak perempuan. Bagi pekerja media massa, kasus Marsinah memberi pelajaran penting yaitu keberpihakan yang nyata bagi yang tertindas.
Apakah itu cukup? Tuntutan dan aspirasi masyarakat berubah amat lekas. Mutlak bagi media massa untuk peka dan tanggap. Maka tak ada jalan pintas bagi wartawan. Tabu untuk berpuas diri. Harus selalu dan selalu menggugat kembali peran sosialnya. **
Kupang, 25 April 2008.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagai bahan pengantar diskusi workshop "Media Massa dan Perlindungan Perempuan" yang diselenggarakan Forum Wartawan Peduli Gender (FWPG) Propinsi NTT bekerja sama dengan Pemprop NTT Cq Biro Pemberdayaan Perempuan Setda NTT di Aula RRI Kupang, Sabtu 26 April 2008.