Selamat jalan Ama Tobo

Oleh Paul Bolla

SAAT menghadiri ibadah syukur mengenang Om Julius Siyaranamual di Kantor Surat Kabar Harian Pos Kupang kemarin (25 Mei 2005) siang, saya diminta oleh Pemimpin Redaksi Pos Kupang, Dion DB Putra, untuk membuat sebuah tulisan mengenai Om Julius.
"Pokoknya, katong tunggu tulisan To'o (begitu Dion biasa menyapa saya) untuk rubrik opini," pinta Dion. "Opini masih kosong ya," kata Dion kepada Tony Kleden, pengasuh halaman opini, agak bersekongkol. Dan, diiyakan oleh Tony.
"Masih wartawan to, pokoknya katong tunggu sebentar untuk edisi besok," ulang Dion dengan pemaksaan halus, saat ibadah selesai dan hendak berpisah sekitar pukul 14.15 Wita. Deadline tulisan tidak diberitahu. Hanya deadline "pokoknya".

Dalam waktu yang mepet, saya memenuhi permintaan eja asal Ende itu. Karena saya tahu, jika mendekati deadline dan tulisan yang diharapkan belum ada, pasti mereka akan stres. Dan dengan kecewa segera mengganti dengan tulisan lain. Nah, tulisan ini merupakan pengembangan dari apa yang sudah saya ungkapkan sebagian saat diminta memimpin ibadah syukur mengenang Om Julius Siyaranamual, kemarin.
Ada banyak predikat yang diberikan pada Om Julius. Dia seorang wartawan, penulis, sastrawan, budayawan, aktivis LSM, guru, sahabat, pendeta, ayah, dan sebagainya. Saya memilih dua predikat: guru dan penulis. Sebagai guru, Om Julius mengajari saya menulis yang baik.
Dalam banyak ilmu yang dia ajarkan sejak ikut mendirikan Pos Kupang, topik deskripsi adalah yang paling berkesan pada saya. Mengapa? Karena ketika itu topik itu sangat menelanjangi kita wartawan Pos Kupang angkatan pertama dan sudah senior. Mereka yang tadinya bergaya sebagai wartawan senior, ternyata sama saja dengan para pemula. Lemah dalam membuat deskripsi. Om Julius mencap kita semua "bodok".
Jerih lelahnya agar kita bisa membuat tulisan deskripsi yang benar, tak banyak memberi hasil. Sehingga ungkapan berikut ini keluar begitu saja: "Saya telah memberi mutiara kepada babi-babi." Semua yang ikut pelatihan terdiam. Sonde ada yang barani angka muka. Muka merah semua. Bagi wartawan pemula wajarlah, tapi yang sudah terlanjur bergaya wartawan besar, betul-betul tidak berkutik. Karena hanya untuk membuat deskripsi ternyata tidak ada yang benar.
Sejujurnya, apa yang diminta Om Julius itu berat. Kemampuan yang didapat om Julius, terutama saat menulis feature yang menuntut deskripsi yang kuat, pasti tidak dalam seminggu pelatihan. Tetapi Om Julius meminta kita harus cepat bisa. Di kemudian hari baru saya mengerti tuntutan Om Julius itu. Ternyata deskripsi yang benar adalah sesuatu yang sangat mendasar bagi seorang wartawan. Sebuah fakta kerap berubah menjadi penilaian atau opini di tangan wartawan. Itu bukan semata-mata karena wartawan ingin beropini, tetapi sumbernya dari sang wartawan memang lemah dalam membuat deskripsi atas peristiwa yang dia laporkan.
Nah, suka atau tidak, kita sudah dicap 'bodok'. Itulah Om Julius. Apa yang ada di pikirannya keluar begitu saja. Dia ungkapkan lurus, apa adanya, dan langsung. Dia ungkapkan sesuatu yang obyektif. Jujur. Bagi yang tidak mengenal karakternya, tentu akan sangat tersinggung. Namun penilaian obyektif ini tidak terbawa dalam hubungan pribadi. Dia tetap seorang teman, memperlakukan kita dengan baik, meski baru saja dia mengatakan kita 'bodok' atau 'babi'.

***
Pada acara syukur di Kantor SKH Pos Kupang, Om Damyan Godho, Om Marcel Gobang, Om Hans Louk dan Ana Djukana, sudah mengisahkan pengalaman kebersamaan mereka dengan Om Julius Siyaranamual. Saya sudah mengawali kisah pengalaman dengan Om Julius dalam renungan singkat yang didasarkan dari kitab Mazmur 90: 12 demikian "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana."
Mengingat Om Julius adalah alumnus Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, saya menyampaikan renungan diawali dengan cerita tentang penciptaan manusia. Dalam Kitab Kejadian 1-2, jelas disebutkan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan lebih dahulu. Manusia diciptakan kemudian. Artinya dalam hubungan senioritas, manusia yunior dibanding ciptaan lainnya. Namun, manusia mengabaikan kesenioritas ini dan mengeksploitasi alam hingga akhirnya mencelakakan diri sendiri.
Dalam kisah penciptaan, martabat manusia tidak lepas dari ciptaan lain. Mulianya manusia selalu berkaitan dengan konteks. Konteks menyediakan semua yang manusia butuhkan. Konteks di mana Tuhan menempatkan manusia di tengah semua yang diciptakan adalah baik adanya. Sebaliknya konteks tidak bisa menyembunyikan dan melindungi manusia jika manusia mengabaikannya.
Menurut hemat saya, di situlah tempat Om Julius Siyaranamual. Dia adalah penulis yang memperhatikan pentingnya konteks, sehingga sebuah tulisan bisa bertutur dengan jujur dan apa adanya. Alasannya, tulisan harus menghadirkan suasana. Sesuatu yang hidup, berbicara dan semua yang ada dalam konteks memiliki peran terhadap yang lain. Sesuatu itu menjadi bermakna karena letaknya dalam konteks yang tepat. Jika sesuatu diabaikan atau dimarjinalkan perannya, maka yang lainnya akan berbeda pula maknanya. Tulisan yang mengabaikan konteks akan menyesatkan orang yang membacanya.
Penulis yang peduli pada konteks adalah bekal bagi wartawan yang jujur. Sebuah peristiwa yang dia lapor dengan kualitas deskripsi yang baik akan memberi gambaran jelas kepada pembaca bagaimana dan di mana sebuah peristiwa terjadi. Sebab deskripsi yang baik, menjadikan penulis sebagai mata, telinga dan indera perasa bagi pembaca. Sebuah tulisan dengan deskripsi yang baik sama seperti kita menghadirkan atau menyajikan tulisan sebagai suatu dunia ril, yang terbuka untuk dimasuki para pembaca.
Kepergian Om Julius Siyaranamual adalah suatu kehilangan seorang jago deskripsi. Saya kira Om Julius pergi dengan sakit hati. Sebagai orang Kupang -- rumahnya di Fontein Bawah dekat Suembak --- pasti Om Julius akan sedih sekali membaca tulisan-tulisan di koran-koran, terutama yang terbit di Kupang. Wartawan hingga editornya tidak mempunyai cukup bekal kemampuan deskripsi, sehingga banyak orang disakiti oleh tulisan mereka.
Rendahnya kemampuan deskripsi, diperparah dengan miskinnya perbendaharaan kata, membuat wartawan mengambil jalan pintas untuk mengungkapkan sesuatu yang disajikan kepada pembaca. Dalam banyak kasus tentang insiden perkelahian, wartawan mudah jatuh dalam kata- kata menyesatkan 'korban babak belur.' Ternyata yang dimaksud 'babak belur' itu bukan 'babonte balau' seperti ungkapan orang Kupang, tetapi hanya memar ringan. Kita telah diberi gambaran yang menyesatkan.
Mereka yang pernah membaca rubrik 'Bakatumu di Paklaru' pada tahun pertama kehadiran Pos Kupang, bisa menikmati kuatnya deskripsi. Rubrik ini merupakan rubrik Om Julius yang ditulis dalam bahasa Kupang. Tulisannya tentang aktivitas orang di Paklaru, membuat kita ikut membayangkan aktivitas di dalam paklaru. Ada dedegu, laru, se'i bakar, dan Ama Tobo yang pulang jual ikan selalu singgah di paklaru.
Rubrik 'Bakatumu di Paklaru' kemudian dipercayakan kepada saya. Saya menambahkan tokoh baru sebagai pemilik paklaru, yakni Aduba'i, nama asli suku Rote. Om Julius meminta saya mempertahankan tokoh Ama Tobo, tokoh rekaan asli dari Om Julius. Dengan kemampuan yang terbatas, saya mencoba menjaga setting, plot, karakter rubrik itu sesuai permintaan Om Julius hingga rubrik itu ditiadakan saat saya bertugas di Maumere.
Suatu hari di awal saya dipercayakan menulis rubrik Bakatumu di Paklaru, Om Julius bertanya: "Kanapa beta minta lu pertahankan tokoh Ama Tobo?" tanya Om Julius dalam aksen Kupang. Saya menjawab tidak tahu.
"Lu tau arti Ama Tobo?" tanya Om Julius lagi.
"Apa artinya?" Saya balik bertanya.
"Ama Tobo artinya To-lo Bo-a," Jawab Om Julius ringan sonde pake pele-pele. Saya hanya bisa melongo, tapi tidak merasa heran.
"Maksudnya, Ama Tobo adalah figur orang yang selalu jadi korban pembangunan, sasaran makian. Dia hanya bisa datang berterus terang tentang nasibnya dengan mengunjungi Paklaru Aduba'i yang dia anggap sebagai kantor DPR." Om Julius memberi penjelasan setelah melihat saya melongo.
"Nah, pakailah rubrik Bakatumu di Paklaru untuk membela Ama Tobo-Ama Tobo di mana pun." Inilah pesan terakhir Om Julius saat mengkhotbahi saya.
Kini Om Julius, bapaknya Ama Tobo menyusul rubrik "Bakatumu di Paklaru" yang sudah lebih dahulu almarhum sejak tahun 1996. Selamat jalan Ama Tobo!!!

* Penulis, seorang wartawan, tinggal di Kupang

Pos Kupang, 26 Mei 2005


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes