KECELAKAAN laut bertubi-tubi! Demikianlah yang melanda daerah ini. Dalam empat bulan terakhir sudah terjadi enam kecelakaan laut yang menelan korban jiwa dan harta benda. Musibah pertama terjadi 16 Januari 2006 di dua tempat berbeda.
Perahu Motor Putra Mandiri yang memuat 38 penumpang tenggelam di perairan Pulau Alor. Enam penumpang meninggal dunia dan sembilan orang hilang. Pada tanggal yang sama, Perahu MotorPutra Wudjon' yang memuat 14 penumpang dan tiga awak terbalik di depan Teluk Lewoleba, sekitar 300 meter dari Lopo Moting Lomblen. Syukur karena penumpang dan awak kapal diselamatkan para nelayan dan warga Rayuan Kelapa Barat.
Kecelakaan ketiga tanggal 31 Januari 2006 Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Citra Mandala Bahari atau JM Ferry tenggelam di Selat Pukuafu dalam pelayaran dari Pelabuhan Bolok ke Pantai Baru di Rote Ndao. Sebanyak 162 penumpang selamat, 107 orang tewas. Pada 9 Maret 2006, kapal ikan berbobot 20-30 GT ditemukan terbalik dan hancur di Perairan Pulau Seraya Besar, Kabupaten Manggarai Barat.
Kapal naas itu diduga diterjang arus dan gelombang laut yang ganas. Tanggal 1 April 2006, KM New Fuji yang memuat 256 ekor sapi, 71 balok batu marmer dan 10 kontainer dan 32 awak serta penumpang tenggelam di Laut Sawu. Hingga saat ini baru empat penumpang yang ditemukan selamat, sedangkan 28 lainnya hilang. Dan terakhir terjadi Senin lalu, 17 April 2006.
Perahu Layar Motor (PLM) Beresitha 02 yang memuat 59 orang, termasuk enam ABK tenggelam di perairan antara Pulau Nuse dan Pulau Ndao. Seorang penumpang hilang, sedangkan 58 yang lain selamat. Jika diakumulasikan maka jumlah korban manusia sungguh memilukan hati. Sebanyak 151 orang tewas dalam enam kecelakaan laut tersebut dan sebanyak 241 orang berhasil diselamatkan.
Jumlah korban tewas terbesar adalah tenggelamnya KMP Citra Mandala Bahari tanggal 31 Januari 2006 di Selat Pukuafu, Rote disusul KM New Fuji dan Perahu Motor Putra Mandiri. Mengingat angka korban jiwa sebesar itu, kecelakaan laut di perairan Nusa Tenggara Timur pada awal tahun 2006 ini patut disebut sebagai bencana nasional.
Dalam waktu sangat singkat, seratus lima puluh satu orang terkubur di lautan. Sulit kita lukiskan dengan kata-kata kesedihan keluarga korban yang tewas. Mereka yang kehilangan orang-orang terkasih. Tapi siapapun pasti dapat memahami bahwa kegetiran itu tak mudah hilang dalam sekejap. Butuh waktu lama untuk menerima kenyataan pahit ini. Ratusan orang mati dalam waktu sesingkat itu seharusnya membuka mata hati kita.
Jangan lagi bermain-main dengan nyawa manusia. Keterlaluan bila angka korban sedemikian besar tidak menggugah kesadaran kita untuk berbuat sesuatu yang lebih bertanggung jawab demi mencegah kecelakaan laut berikutnya. Celakanya kita mudah mencari kambing hitam. Menyalahkan alam!
Faktor alam berupa cuara buruk selalu menjadi alasan utama yang menyebabkan terjadinya kecelakaan laut yang bertubi-tubi tersebut. Kita lupa mengaca diri bahwa manusia sendirilah penyebab utama musibah tersebut. Kecelakaan yang menimpa KMP Citra Mandala Bahari, misalnya, telah memberi contoh sangat jelas betapa faktor manusia sangat berperan. Ratusan orang penumpang tidak tercatat dalam manifest. Kapal tetap diberangkatkan sekalipun Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sudah memberi tahu kondisi cuaca tidak laik untuk berlayar.
Tenggelamnya KM New Fuji pun patut disesali karena jauh-jauh hari instansi berwenang sudah mengingatkan tentang bahaya badai Gelenda. Tapi begitulah yang sudah terjadi. Alam sungguh tak pantas disalahkan karena alam selalu jujur memberi tanda. Apalagi kita bukan hidup di zaman primitif.
Kita sangat dimanjakan oleh kemajuan teknologi yang bisa memprediksikan kondisi alam dengan tingkat akurasi sangat memadai. Masalahnya perilaku kita yang tidak mau berubah. Entah karena motivasi ekonomi semata, kapal tak laik jalan diizinkan berlayar.
Kiranya kita teringat selalu akan hal ini. Laut adalah sumber kehidupan yang tak habis digarap semalam. Tapi laut juga menjadi kuburan massal jika manusia salah bertindak. Salam Pos Kupang, 21 April 2006 (dion db putra)