KITA kutip kembali pernyataan Penasihat Ikatan Keluarga Nusa Tenggara Timur di Propinsi Kalimantan Timur (Ikenttim), ABC Djoka. "Sekolah dulu baru merantau". Pernyataan ABC Djoka tersebut disampaikan dalam acara dialog dan silaturahmi dengan pimpinan dan anggota DPRD NTT, pengurus PWI Cabang NTT dan para wartawan asal NTT di Samarinda, 7 Februari yang lalu.
"Saya sudah puluhan tahun berada di Samarinda. Kenyataannya, tidak banyak perantau asal NTT yang kini bekerja di Kalimatan Timur berpendidikan cukup. Akibatnya, mereka hanya bisa menjadi buruh kasar," demikian Djoka.
Tidak ada alasan bagi kita menampik pernyataan sesepuh NTT di perantauan tersebut. Kenyataannya memang demikian. Dan, hal itu sudah berlangsung sejak lama. Tidak banyak perantau NTT yang berpendidikan cukup. Mereka umumnya merantau dengan modal pendidikan amat minim. Hanya tamatan Sekolah Dasar atau SLTP. Bahkan tidak sedikit drop out pendidikan dasar.
Syukur kalau ada yang berijazah SLTA atau sederajat. Prinsip yang dianut perantau NTT adalah bisa bekerja apa saja di tanah orang untuk mempertahankan hidup.Dengan latar pendidikan minim, maka dapat dimengerti jika pekerja asal daerah ini umumnya menjadi buruh kasar di berbagai perusahaan, baik di Kalimantan, Jawa, Sumatera atau daerah lainnya.
Profesi yang cukup banyak ditempati anak-anak NTT adalah petugas satuan pengamanan (satpam), mandor atau kepala gudang. Bermodalkan fisik yang terlihat kuat dan wajah seram, tak sedikit pula anak NTT yang menjadi pengawal pribadi bos-bos perusahaan besar.
Tenaga kerja wanita (TKW) pun kondisinya tidak jauh berbeda. Pendidikan dan keterampilan mereka sangat terbatas. Sudah berulangkali kita menyaksikan penderitaan TKW asal NTT yang diperlakukan tidak manusiawi oleh majikan mereka.Pekerja dengan tingkat pendidikan dan keterampilan rendah sangat rentan posisinya.Mereka itulah yang akan menjadi korban pertama manakala perusahaan terpaksa melakukan rasionalisasi tenaga kerja demi efisiensi.
Dalam dialog dengan wartawan di Samarinda, Rabu pekan lalu, para tokoh NTT yang tergabung dalam Ikenttim juga mengungkapkan kenyataan tentang warga NTT yang di-PHK oleh perusahaannya di Kaltim. Mereka terpaksa dirumahkan karena perusahaan sedang merugi.
Untuk mempertahankan hidup, mereka bekerja apa saja.Tingkat pendidikan masyarakat yang lebih memadai masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan masyarakat NTT. Sekitar 70 persen penduduk NTT berpendidikan rendah (SD/SLTP). Namun, kita sesungguhnya tidak kekurangan tenaga produktif tamatan perguruan tinggi.
Setiap tahun rata-rata 2.000 sampai 3.000 lulusan pendidikan tinggi di berbagai daerah di NTT. Dalam kurun waktu dua sampai tiga bulan selalu ada acara wisuda sarjana di Kupang atau kota lainnya. Jumlah tersebut di atas belum termasuk anak-anak NTT yang menimba ilmu di luar NTT.
Persoalannya terletak pada lapangan kerja yang amat sedikit sehingga mereka tidak langsung bekerja setelah menyelesaikan studi. Pegawai negeri sipil (PNS) pun menjadi incaran. Setiap kali pemerintah daerah membuka kesempatan menerima Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD), ribuan sarjana melamar meskipun mereka tahu dan sadar formasinya sangat terbatas.Pernyataan sesepuh NTT di Kaltim itu seharusnya menggugah perhatian kita untuk melakukan terobosan yang lebih berarti.
Sudah saatnya kita mengirim anak-anak NTT yang berpredikat sarjana ke luar daerah. Dalam hal ini peranan pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi sangatlah penting. Pada tahap yang sederhana, Dinas Tenaga Kerja hendaknya menjadi pusat informasi pasar kerja di berbagai daerah di Indonesia. Artinya, sebelum mengadu nasib ke suatu daerah, tenaga kerja kita sudah memiliki informasi yang cukup tentang lapangan kerja yang tersedia serta kualifikasi tenaga yang dibutuhkan. Salam Pos Kupang, 14 Februari 2007. (dion db putra)