Antara Dendam dan Cinta

* Mengenang sastrawan Julius R Siyaranamual (1)

Oleh Maria Matildis Banda

PERJUANGAN mengalahkan dendam berjalan bersama kegigihan menaburkan cinta. Itulah dua hal yang paling meninggalkan kesan mendalam tentang Julius Reinhard Siyaranamual sebagai seorang sastrawan. Dalam kehidupan nyata cinta dan dendam ibarat mata uang. Katakanlah uang itu senilai lima puluh ribu rupiah. Manakah halaman depan dan mana pula halaman belakang? Apakah yang bergambar pengerek bendera siap menaikkan bendera, ataukah wajah tampan Wage Rudolf Soepratman. Mana pula yang lebih penting?
Kedua sisinya saling memunggung tetapi tak terpisahkan. Mungkin analogi ini kurang tepat untuk menunjukkan betapa dendam dan cinta memiliki kekuatan yang sulit dipahami. Apalagi jika dikaitkan dengan harga diri dan integritas seorang laki-laki Timor yang dibesarkan dalam tradisi Kristen yang amat kuat. Sudah dapat diduga mana yang dikalahkan, mana yang diutamakan, dan bagaimana dua hal ini membayangi detak-detik perjalanan waktu.


Demikianlah Julius R Syaranamual mendeskripsikan prinsip hidupnya melalui novel terkenal Saat untuk Menaruh Dendam dan Saat untuk Menaburkan Cinta (disingkat SMDSMC). Sebelum lahir sebagai buku, novel ini terbit bersambung di Harian Kompas bulan April 1978. Tidak banyak sesama warga NTT yang membaca karyanya. Mungkin hanya segelintir guru yang kagum dan mencatatnya dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Keberhasilan Julius sebagai pengarang memang hanya dikenal generasi sebelum 1980-an.
SMDSMC menarasikan dua tokoh utama Bahar (laki-laki) dan Eri (perempuan). Eri berusia 20 tahun, karyawati juga mahasiswi Akademi Sekretaris yang sangat binal. Kehidupan cintanya dilukiskan sangat liar dan bebas. Lukisan karakter fisik, psikis dan sosial (salah satu poin penting dalam estetika prosa) dibangun dalam kemasan konflik yang membuat pembaca tidak akan berhenti membaca sebelum selesai. Dia naik ranjang dengan semua laki-laki yang pernah menjadi pacarnya. Tercatat banyak nama dan yang terakhir ternyata sudah beristri. Sedangkan Bahar adalah mahasiswa Teologi yang hidup di asrama dengan tata krama sosial budaya yang sudah dibangun dalam kesepadanan teori dan praktek. Bahar adalah sahabat Eri, pendengar yang sangat menawan yang selalu dengan setia menampung semua kisah dan keluhan Eri tentang sebagian besar laki-laki yang pernah tidur dengan dia. Pendek kata Bahar adalah laki-laki yang siap-sedia memberi nasehat dan jalan keluar dari problem sahabat karibnya itu.
Sampai suatu saat terjadilah bencana itu. Tanpa diduga, Bahar jatuh juga dalam pelukan Eri dan celakanya satu kali saja memakan "buah terlarang" telah menyebabkan Eri hamil. Bahar perlu meyakinkan dirinya apakah benar dia laki-laki terakhir dan apakah betul dialah ayah anak yang kandung Eri. Tapi Eri memilih Bahar untuk mau bertanggung jawab, sekedar menutup malu. Pernikahan Bahar (23 tahun) dan Eri (20 tahun) berlangsung dalam sebuah perjanjian cerai setelah anak mereka lahir.
Eri tahu dirinya tidak pernah mencintai Bahar dan sangat naif jika memaksa Bahar untuk bertanggung jawab. Rumah tangga berjalan dengan konflik tajam untuk saling menyakiti terutama setelah Bahar tanpa sengaja membaca buku harian Eri yang menulis detail malam pertamanya dengan "D". "Bukan main pengalaman malam pertamamu," demikian Bahar menikam Eri dengan kata-kata sekaligus membuka aib yang telah terkubur satu persatu dalam kenangan catatan harian. Tanpa sadar dendam di hati dan pikiran Bahar bertumbuh subur bersamaan dengan keluasan Eri berpeluk dengan mantan-mantannya dan membesarnya kandungan ibu muda itu bulan demi bulan.
Puncaknya ketika Bahar akhirnya tahu bahwa Anwar, sahabat karibnya sekaligus rekan kerja di sebuah majalah, bercerita tentang bagaimana malam percintaannya dengan Eri. Anwar tidak pernah tahu bahwa perempuan yang dikisahkan itu adalah istri Bahar. Pada puncak kemarahan itulah Eri melahirkan bayi laki-laki. Entah kenapa Bahar merasa perlu untuk mendampinginya dengan rasa kasih dan maaf yang sukar dikatakan sebab lahir bersama dendam yang tak juga hilang.
Dua minggu setelah melahirkan, Eri cukup tahu diri untuk segera pergi. Sambil berlinang air mata dia memohon pamit. "Saya tidak tahu cara yang paling tepat untuk mengatakan terima kasih saya," ujar Eri. "Tapi kau tahu, saya sangat berhutang budi padamu. Terima kasih. Tapi saya kira kita tidak begitu sepadan untuk hidup bersama. Kita selalu cenderung untuk saling menyiksa." Di luar perkiraan Eri, ternyata Bahar tidak mengizinkannya pergi dengan alasan, "Kalau saya menahan kau bukan karena kasihan. Itu jelas, karena saya kira hal itu tidak begitu baik untuk kita berdua. Tapi Negara ini sudah terlalu penuh dengan penderitaan. Kita tidak punya hak untuk menambahnya, kalau seandainya kita bisa menghindarkannya." Ada alasan yang lebih mendasar dari itu, Bahar dibesarkan dalam tradisi keluarga yang hanya mengenal satu kali perkawinan sebagai hal yang sempurna. Dengan prinsip iman inilah dia kalahkan dendam dan berjuang membangun cinta bersama Eri dan anaknya.
Berbagai pikiran yang dituangkan dalam SMDSMC syarat makna. Novel ini ditampilkan dalam teknik dan komposisi cerita dalam cerita (cerita berbingkai). Alur bergerak maju dalam latar Jakarta yang padat masalah. Sangat tepat bisa ditelaah dari teori strukturalisme genetik yang menggarisbawahi pandangan dunia pengarang. Lucian Goldmann adalah salah satu pengembang teori ini (Baca: Sosiologi Sastra, tulisan Umar Yunus). Intinya menggarisbawahi cara berpikir, wawasan dan sikap hidup pengarang yang dituangkan dalam karya sastra. Struktur novel dibedah sesuai estetika alur, perwatakan, dan latar. Pandangan dunia pengarang akan terungkap melalui estetika itu. Pertanyaan seperti siapakah mengarang, apa alasan dan tujuan, dan makna apa yang ingin dikedepankan melalui karyanya, menjadi bagian dari usaha kritikus untuk menempatkan posisi karya sastra. SMDSMC secara tajam menampilkan sebuah ekspresi dari prinsip iman pengarangnya. Bahwa meskipun pahit pil realitas hidup yang mesti ditelan, segalanya akan menjadi lebih mudah jika seseorang berjalan pada prinsip.
Catatan kenangan yang ditinggalkan Julius Siyaranamual tidak berhenti pada solusi iman. Melalui SMDSMC beliau juga memberi pesan bahwa kerumitan problem hidup tidak dapat berubah hanya dalam sekejab membalikkan telapak tangan. Butuh waktu dan usaha terus- menerus untuk berapresiasi dengan kesediaan memberi. Itulah Julius R Siyaranamual, laki-laki kelahiran Sumba Barat. Salah satu pengarang asal daerah NTT yang miskin penulis dan begitu lama kehilangan jejak regenerasi. "Sebab seseorang yang berada di tempat saya akan merasa betapa sialnya hidup bercinta dan terjerat oleh nasib, karena ia sempat mengetahui bahwa banyak orang lain dengan pasti telah menggauli habis-habisan perempuan yang menjadi istrinya," itulah pandangan dunia Julius melalui tokoh Bahar.
Dalam keadaan hampir putus asa dia kembali ke dalam Gereja. "Saya memasukinya dengan perasaan tak menentu. Memang saya tidak juga memperoleh kedamaian di situ, tetapi saya bisa menyanyi dengan seluruh jiwa saya." Pengarang "menggiring" pembaca pada akhir yang menyesakkan jika diukur dari sudut pandang manusia. Namun, bukan tanpa alasan ketika di ujung kemelut tokoh utamanya diantar ke Gereja dengan kata-kata padat makna, "Sudah saatnya saya memperbaiki hubungan saya dengan Tuhan." Sejak Julius wafat 23 Mei 2005, beliau tidak saja memperbaiki hubungan dengan Tuhan tetapi beliau pergi ke sana dan tak pernah kembali lagi ke Negara yang katanya terlalu dipenuhi oleh penderitaan. (Bersambung)

Pos Kupang, 27 Mei 2005
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes