PEMIMPIN kharismatik yang dikenal sebagai "Uskup kaum miskin" berpeluang besar menciptakan sejarah sebagai uskup pertama dalam Gereja Katolik Roma yang terpilih menjadi presiden di negaranya. Pemimpin kharismatik itu bernama Fernando Lugo.
Tahta Suci Vatikan tidak mengizinkan. Dan, itu bukan pertama kali dalam sejarah gereja. Pencalonan Fernando Lugo bukan hanya ujian terhadap sikap tegas Gereja Katolik melarang kaum klerus terlibat politik praktis. Pencalonan uskup emeritus itu juga menantang kemapanan elite politik di Paraguay.
Negara Amerika Latin yang merdeka dari jajahan Spanyol 15 Mei 1811 itu tetap miskin setelah 60 tahun tak putus-putusnya pemerintahan dikendalikan Partai Colorado. Dalam kepemimpinan Presiden Nicanor Duarte Frutos dan Wakil Presiden, Luis Castiglioni Joria sekarang, Republik Paraguay tak pernah menjadi lebih baik. Lebih dari setengah abad, Colorado mewariskan kemiskinan dan korupsi merajalela di negeri dengan populasi 6.347.884 jiwa (2005) itu.
Di tengah kemiskinan itu, Uskup Lugo hadir sebagai idola rakyat. Walaupun waktu masih lama menuju pemilu presiden bulan April tahun depan, hasil jajak pendapat memperlihatkan Lugo mendapat dukungan mendekati 40 persen suara dari total pemilih, sepuluh persen lebih tinggi dari para kandidat lain, termasuk Presiden Duarte.
Puluhan ribu orang selalu mengikuti kampanyenya, kadang- kadang ikut menarik mobil wagon tuanya sambil melantunkan lagu gereja. Mereka meneriakkan yel-yel, "Lugo, si!" saat dia berjanji mengakhiri kekuasaan Partai Colorado yang korup.
Sebagaimana kebanyakan rakyat Paraguay, Lugo menyalahkan Colorado atas kehancuran perekonomian, korupsi yang merajalela dan praktek politik yang cuma memperkaya para elite di negeri yang terkurung oleh daratan itu. "Saya kira pejabat partai bertanggung jawab terhadap kemiskinan, korupsi dan ketidakjujuran di negeri ini," kata Lugo dalam wawancara di rumah saudaranya. "Kami inginkan sebuah negeri dimana rakyat bisa hidup secara wajar," katanya.
Lugo, yang mundur dari jabatan uskup bulan Desember tahun lalu karena konsitusi Paraguay melarang klerus mengikuti pemilihan presiden, melihat politik sebagai solusi bagi masalah umatnya di wilayah San Pedro. Dia mengabdi di sana selama 11 tahun, melayani petani lapar yang bekerja keras menggarap lahan kacang kedelai milik para tuan tanah yang kaya raya.
Lugo menyatu dengan para petani miskin, memberi kekuatan dan kesadaran kepada mereka untuk menolong diri sendiri. Dia tidak persis menyatakan ingin jadi presiden, tetapi dia mengaku dalam kebersamaannya dengan rakyat, mereka menginginkan reformasi agraria (lahan), industri yang produktif dan lapangan kerja. Suatu tuntutan yang mirip dengan harapan rakyat Venezuela. Namun, dalam lawatannya ke Washington, ia bersikeras bukan seperti Presiden Venezuela, Hugo Chavez.
"Chavez seorang militer dan saya berlatar belakang religius," kata Lugo kepada wartawan. "Pencalonan saya sesuai permintaan masyarakat, saya lahir dari jalan yang berbeda dengan Hugo Chavez," tandasnya.
Kampanye Lugo mulai mendapat dukungan signifikan bulan lalu ketika ia setuju menggandeng calon wakil presiden dari Partai Liberal (Authentic Radical Liberals), oposisi utama Paraguay yang sekian dekade menantang kekuasaan Colorado dan dapat mendukung sisi finansial untuk kampanye secara nasional. Namun, ada beberapa partai oposisi kecil yang belum berani mengatakan berada di pihak Lugo.
Presiden Nicanor Duarte belum tercatat resmi sebagai kandidat, yang harus dideklarasikan sebelum batas akhir pendaftaran calon 29 November 2007. Tetapi presiden itu berkali-kali mengritik Lugo yang mendukung mantan Menteri Pendidikan, Blanca Ovelar sebagai calon dari Partai Colorado.
"Calon itu inkonstitusional," kata Duarte, yang berusaha terpilih kembali secepatnya. "Lugo adalah anggota klerus yang tidak tahu jika dia seorang uskup atau apa," kata Duarte.
Vatikan menolak pengunduran diri Lugo dengan mengatakan, jabatan uskup melekat "selama hidupnya". Pimpinan Konferensi Para Uskup Paraguay telah mengingatkan Lugo bahwa ia menghadapi risiko eks-komunikasi jika memulai kampanye calon presiden.
Vatikan sudah kerap menghadapi masalah serupa. Kasus terheboh ketika Jean Bertrand Aristide terpilih menjadi Presiden Haiti tahun 1991. Aristide adalah pastor dari Ordo Salesian. Seperti Lugo, dia menjadi idola rakyat karena kotbah-kotbahnya yang menyentuh hati. Dia mundur dari pastor dan menjadi presiden negara miskin di Kepulauan Karibia itu. Pemerintahannya tidak bertahan lama. Awal tahun 2004 ia digulingkan militer dan lari ke pengasingan di Panama, Jamaika lalu ke Afrika tengah. Aristide meninggalkan Haiti yang rusuh dan menewaskan lebih dari 50 orang. Urusan luar negeri negara Vatikan mau tak mau mengakui Haiti di bawah rezim militer.
Mendiang Paus Yohanes Paulus II yang termasyhur itu juga pernah menegur seorang pastor Jesuit di Nikaragua yang menjadi menteri kebudayaan. Dan, pastor Jesuit, Robert Drinan, menjadi wakil negara bagian Massachusetts di Kongres AS selama 11 tahun. Yang terkini terjadi di Filipina ketika Pastor Eddie Panlilio menang dalam pemilihan Gubernur Propinsi Pampanga bulan Mei 2007. Pampanga, sekitar 60 km utara Manila, dikenal sebagai pusat prostitusi dan judi ilegal. Panlilio tercatat sebagai pastor pertama di Filipina yang menjadi gubernur. Dia mengalahkan dua calon dari partai berkuasa, termasuk gubernur yang sedang memimpin. Dalam kasus-kasus semacam ini, Vatikan tetap pada sikapnya.
"Mencoba meraih jabatan di pemerintahan merupakan masalah bagi Vatikan, maka biarkanlah dia (Lugo) sendiri mengikuti pencalonan presiden," jelas teolog dari Georgetown University, Thomas Reese. "Inilah jalan di luar harapan Vatikan terhadap apa yang harus dikerjakan kaum klerus. Secara sakramental, dia seorang imam selamanya, sejak pertama kali ditahbiskan," demikian Reese.
Tidak kompeten
Paus Benediktus XVI dalam perjalanannya ke Amerika Latin belum lama ini kembali mengingatkan masalah itu. Dalam pertemuan dengan konferensi para uskup Amerika Latin, Sri Paus menegaskan, "Tugas politik bukan kompetensi gereja."
Paus Benediktus, tokoh yang kurang sepaham dengan teologi pembebasan, gerakan Katolik yang sangat kuat di Amerika Latin, mengingatkan kembali bahwa misi utama Kristen adalah membebaskan kaum miskin papa dari penindasan.
Menurut Lugo, teologi pembebasan hanya salah satu yang mempengaruhi pandangannya. Ia mengutip ucapan salah seorang paus terdahulu bahwa tanggung jawab politik "menyehatkan dan hanya sebuah aktivitas".
Puluhan ribu petani, peternak, pekerja, suku Indian dan kelompok kiri mendukung Lugo, tetapi dia menentang label ideologi, dengan memberi contoh bahwa dia menganut "tanggung jawab sosial" kapitalisme. "Saya tidak di kiri, tidak ke kanan. Saya berada di tengah sebagai calon yang diajukan rakyat," katanya.
Analis politik Paraguay, Alcibiades Gonzalez Delvalle melukiskan karakter Lugo sebagai moderat, lebih pragmatis ketimbang ideologis. "Banyak masyarakat dari kelompok kiri di sekelilingnya tetapi dia tidak memiliki tendensi itu," kata Gonzalez. "Bertahun-tahun Lugo hidup di tengah rakyat miskin dan menghadapi banyak situasi yang sulit sehingga dia memiliki pengaruh dan kesan yang dalam," tambahnya.
Pengeritik Lugo berkata dari sudut pandang berbeda. "Dengan jubah dan salib di dada, dia sudah lama masuk politik," kata Alberto Soljancic, Presiden Asosiasi Pedesaan Paraguay, organisasi dengan kekuatan besar, tempat bergabung para tuan tanah dan pemilik lahan pertanian. Menurut dia, Lugo memanfaatkan perannya sebagai pastor untuk membesarkan hati serta menanamkan keberanian bagi petani miskin yang tak memiliki lahan menyerobot lahan pertanian di San Pedro. Walau demikian, ia tidak menyalahkan Lugo secara langsung.
Dia juga mempertanyakan mengapa Lugo mengunjungi negara komunis Kuba setelah meluncurkan kampanyenya. "Ada banyak negara yang bisa dikunjungi, tetapi mengapa Kuba?" katanya.
Lugo telah melawat ke Argentina, Amerika Serikat dan Spanyol untuk memperkenalkan diri, bertemu imigran Paraguay di luar negeri dan mencari dana kampanye.
Rakyat miskin Paraguay mengharapkan pastor itu benar-benar memimpin negeri mereka. Dalam setiap kampanyenya, Lugo memaparkan tiga program besar. Pertama, rekonsiliasi nasional. Meninggalkan segala bentuk kemarahan dan dendam akibat berbagai tekanan politik pengecualian (politics of exclusion) yang diterapkan dalam rezim yang berkuasa dan membangun kembali kepercayaan diri rakyat. Kedua, menjadikan pengadilan sebagai lembaga yang bebas dan otonom. Ketiga, kesetaraan sosial. Menjadikan kaum marjinal sebagai pelaku pembangunan. Hak-hak sipil mereka diakui kembali. Untuk itu ia berjanji meninjau kembali sumber kekayaan terbesar hidroelektrik di Itaipu yang selama ini dimanipulasi perusahaan multinasional yang berbasis di AS.
"Kami mendambakan perubahan," kata Miriam Aquino, yang mendapatkan 10 dolar AS sehari dengan menjual pakaian di jalanan Asuncion, ibu kota Paraguay. "Setiap presiden mengatakan banyak hal dan kemudian mereka tidak melakukan apa pun. Korupsi merajalela dan kami sudah lelah. Bersama Lugo, di sana ada harapan," demikian Miriam Aquino. (dion db putra/disarikan dari Associated Press dan sumber terkait). Pos Kupang, Minggu 15 Juli 2007, halaman 1