Yabes bersujud seusai cetak gol ke gawang Filipina 10-10-13 |
ANAK Flobamora, nama gaul komunitas masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu punya mimpi. Mimpi memberi diri demi Ibu Pertiwi lewat olahraga berprestasi. Maka sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, di dusun-dusun yang sunyi, di antara lembah dan ngarai serta gunung-gemunung Nusa Nipa, Nusa Lote, Timor, Alor, Sabu dan padang meringkik Savana Sumba, anak-anak NTT tak pernah berhenti bergerak.
Mereka bergelora, bergoyang seirama alam kampung, berolahraga apa saja, dari sekadar menepuk bulu angsa meniru kehebatan Rudi Hartono, meninju pohon pisang sambil membayangkan kerasnya kepalan Ellyas Pical hingga menendang buah jeruk besar sembari berangan sebagai Pele, laksana Armando Maradona.
Nusa Tenggara Timur bukanlah yang terpencil di antara gemagaung olahraga berprestasi Indonesia. Bertahun-tahun kampung jauh dari Jakarta itu, yang kerap pula terlupakan dalam kampanye pembangunan itu, menyumbang putra-putri terbaiknya untuk membela panji Merah Putih, memberi diri untuk kehormatan bangsa ini tanpa pamrih berlebih.
Jejak bersejarah NTT pertama ditorehkan Wempy Foenay tahun 1955, pada zaman Provinsi Sunda Kecil di nomor lempar cakram. Dia memegang rekor nasional dengan skor 33,2 meter yang baru pecah tahun 1973 oleh atlet DKI Jakarta, Sri Numini. Berturut-turt lahir olahragawan legendaris daerah kepulauan itu seperti Mathilda Fanggidae, Rony Mello, Ratmini, Mace Siahainenia, Welmince Sonbay, Theo Rodja, Ruben Ludji, Amos Kamesah, Eduardus Nabunome, Hermensen Ballo.
Eforia penyambutan Yabes di Kalabahi (Fb Sipri Seko) |
Mace Siahainenia boleh disebut secara spesial. Tatkala radio adalah satu-satunya media andalan yang merangsek hingga pelosok, nama Mace sudah tersohor. Itu tahun 1970-an ketika Nusa Tenggara Timur baru sebatas dusun, sekadar kampung besar yang pesawat televisi merupakan barang mewah dan masih jarang amat.
Bulu kuduk merinding mendengar reportase penyiar RRI mengelu-elukan nama Mace dari arena PON, dari ajang SEA Games. Amboi! Mace.... Mace... Oh Mace Siahainenia merebut emas lagi! Emas dari tolak peluru, emas dari lempar cakram dari arena Pekan Olahraga Nasional (PON) selama tiga kali berturut-turut . Dari PON ke PON, nama Mace selalu terpampang di papan skor. Emas SEA Games pun menjadi lazim. Persembahan Mace untuk Merah Putih.
Itu berlangsung selama hampir dua dasawarsa. Mace tak terkalahkan, Mace tak tergantikan di cabang sunyi atletik khususnya nomor lempar cakram dan tolak peluru putri . Hingga detik ini pun, ketika nona-nona cantik Indonesia jauh lebih sehat oleh makanan bergizi tinggi, belum ada atlet putri Indonesia sehebat Mace Siahainenia.
Dia tidak cuma mengharumkan nama Flobamora, tetapi Indonesia hingga level Asia. Di semesta Nusantara, nama Mace melambung jauh sebelum hadir generasi yang lebih muda seperti Eduardus Nabunome atau dua jagoan ring tinju, Johny Asadoma dan Hermensen Ballo menembus Olimpic Games (olimpiade).
Bagi yang mengenalnya, Mace mestinya layak dan sepantasnya dinobatkan sebagai srikandi terbaik Nusa Tenggara Timur di jagat olahraga sampai saat ini. Dia duta olahraga Flobamora. Tapi Mace, tanta Mace yang rendah hati itu tidak pernah meminta lebih. Dia tetaplah gadis NTT kelahiran Sumba yang enggan jumawa.
Maka ketika Mace Siahainenia menghembuskan napas terakhir di RS Bhayangkara Kupang 5 Mei 2011, saya menyaksikan begitu banyak orang menitikkan air mata.
Di sudut rumah duka di Jalan Sam Ratulangi, Kota Baru, Kupang kala itu, Ketua Umum Pengurus Provinsi Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) NTT, Ir. Esthon L Foenay, M.Si berkali-kali mengambil sapu tangan, mengusap lelehan air bening di pipinya.
Air mata duka atas kepergian Mace. Tapi Esthon dan semua yang hadir kala itu bangga atas dedikasi tanta Mace untuk ini negeri hingga akhir hayatnya. Di luar nama besarnya sebagai atlet, Mace adalah abdi negara, pegawai negeri sipil yang berbakti melalui Bidang Keolahragaan Dinas PPO Provinsi NTT.
Banyak nian kenangan indah yang terungkap dari sesepuh atletik NTT seperti Wellem Radja, Fredik Tunliu, Eduard Setty, Saturnus Serajawa, hingga mantan atlet atletik Anton Fallo dan Tersiana Riwu Rohi. Pribadi Mace dikenal sangat bersahaja. Tapi dia sangat disiplin dalam berlatih. Disiplinlah yang bikin Mace tetap berprestasi belasan tahun, sampai batas usia atlet tak bisa lagi kompromi.
Beberapa yang masih terbayang dalam ingatan, Mace memulai prestasi di PON VIII tahun 1975 dengan merebut medali perak lempar cakram. PON IX 1977 Jakarta, emas tolak peluru dan perunggu lempar cakram. Medali emas PON X 1981, medali perak PON XI 1985, perunggu PON XIII 1993 dan perunggu PON XII 1989.
Kesederhaan, ketekunan berlatih serta konsistensi menjaga kebugaran tubuh hingga prestasi bertahan lama, itulah warisan terindah Mace Siahainenia. Siapapun atlet Indonesia yang masih aktif saat ini di cabang olahraga manapun mestinya meniru jejak Mace. Mengambil warisannya yang tetap relevan sampai kapan pun!
***
DEMAM Yabes. Ya, demam Yabes Roni Malaifani! Begitu atmosfer Nusa Tenggara Timur sepekan terakhir, sejak remaja hitam manis rambut keriting riwil riwil dari Moru, Pulau Alor menjebol gawang Filipina di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Kamis 10 Oktober 2013.
Yabes menjebol jala gawang dengan kostum berlambang Garuda di dada, jersey pemain tim nasional sepakbola Indonesia, Merah Putih. NTT terhenyak bergetar tercengang. Bangga! Ada lagi putra Flobamora membela timnas Indonesia di cabang sepakbola setelah Om Sinyo Aliandoe melakoninya di waktu yang amat lampau, akhir 1970-an. Lama nian mimpi itu baru terwujud lagi melalui Yabes. Bertahun-tahun yang langganan memakai kostum Garuda adalah anak Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Jawa dan Sumatera. NTT, entah di mana?
Bila Pulau Alor gempar, jika Kamis malam 10 Oktober 2013 penduduk Flobamora jingkrak bergirang ria, itu sebuah pemenuhan dahaga. Oase di tengah gurun prestasi bola yang hening sepi di kawasan tenggara Republik Indonesia. Yabes mencetak gol, ada yang sampai memeluk televisi segala. Ada juga yang melempar layar lebar untuk nobar (nonton bareng) karena kegirangan hingga layar robek berhamburan. Pesona bola memang menghipnotis manusia. Bola bikin orang jadi setengah gila!
Heboh penyambutan Yabes di Kota Kupang pada 16 Oktober 2013 dan di Kalabahi sehari kemudian mencerminkan betapa dahaganya Flobamora akan prestasi di cabang sepakbola. Untung mimpi Yabes kesampaian berkat rejeki blusukan ala Pelatih Timnas Indonesia U-19 Indra Sjafri.
Seandainya Indra tidak melirik NTT, tidak mencari talenta dari seluruh pelosok Indonesia, nasib Yabes pastilah sama dengan anak-anak NTT lainnya. Mereka punya talenta, punya kemauan untuk meraih prestasi, tetapi peluang itu tidak pernah datang. Mereka layu sebelum berkembang. Saat remaja menjelang, mereka lebih piawai menenggak arak, mengisap rokok sambil bermain kartu remi berjam-jam. Badan tambun. Tambun bonsai. Tambun dengan penyakit sesak berdesak.
Begitulah. Kompetisi sepakbola di NTT memang hidup enggan mati pun tak mau. Dari waktu ke waktu begitu saja yang tergelar. Menu yang itu itu juga yang tersaji di altar bola Flobamora. Kejuaraan El Tari Memorial Cup adalah ritual tahunan. Ritual sang jago kandang yang begitu susah menembus kasta kompetisi divisi sedikit lebih tinggi di Indonesia. Jangankan Divisi Utama apalagi Liga Super, sekadar divisi II pun begitu rapuh tim-tim asal NTT mampu bertahan. Warta kekalahan merupakan derita panjang tim-tim Flobamora.
Begitulah hukumnya. Kompetisi berjenjang berkelanjutan merupakan keniscayaan sepakbola. Tatkala dunia gemas dan girang melihat anak bola yang sehat dan menghibur seperti Pele, Maradona, David Beckham, Cristiano Ronaldo, Lionel Messi atau Neymar, ketahuilah mereka tidak lahir begitu saja. Mereka lahir dari rahim ibu bola yang kerja keras memeras keringat bahkan air mata.
Ketika suatu kabupaten, kota, provinsi di ini negeri tidak memiliki kompetisi sepakbola yang kompetitif, sumbangan pemain untuk tim nasional adalah mimpi di siang bolong. Kalau elit pemimpin daerah lebih sibuk berkompetisi politik, lebih doyan bermain jurus di rimba persilatan pemilukada dan setelah itu lupa urus rakyat, anak-anak bola Indonesia tak pernah mengguncang dunia.
Ini memang bukan hanya masalah Nusa Tenggara Timur. Sulawesi Utara, Sumatera Utara serta sejumlah daerah lain di Indonesia yang dulu rutin melahirkan anak-anak bola berbakat, saat ini sepi dari nama besar.
Yabes, ya Yabes Roni Malaifani! Apakah dia sudah memiliki nama besar? Saya kira belum saatnya Yabes berbangga secara berlebihan sebagai duta sepakbola Flobamora. Yabes Roni barulah sekuncup, belum mekar mewangi apalagi sampai legendaris.
Siapa saja yang tergetar oleh demam Yabes hari ini, oleh daya itu, oleh pesona bola yang mengantar Yabes disambut bak pahlawan, melebihi atlet kempo, tinju, atletik asal NTT yang prestasinya bahkan sudah menembus dunia, mestilah merawat momentum ini dengan bijak. Yabes tak patut dibelai disanjung dengan kebanggaan terburu-buru karena ia akan merasa tak sanggup memikul beban yang bejibun.
Putaran final Piala Asia U-19 di Myamar, tempat di mana Yabes dkk akan mempertaruhkan kehormatan tim Merah Putih di level Asia masih setahun lagi. Dalam 12 bulan ke depan segala sesuatu masih mungkin terjadi. Yabes, apakah Yabes masih mengenakan kostum berlogo Garuda?
Indra Sjafri, sehari setelah timnas U-19 memastikan lolos ke putaran final lewat kemenangan bersejarah atas timnas Korea Selatan 3-2, lantang berkata, rotasi, promosi dan degradasi pemain masih berlaku di Timnas U-19 yang dia targetkan bisa menembus final Piala Dunia U-20 tahun 2015 di Selandia Baru.
Kata Indra, pelatih berkumis kelahiran Sumatera Barat, bahkan seorang Evan Dimas Daryono pun bisa digantikan manakala dalam setahun ini performanya anjlok atau ada pemain lain yang lebih bagus darinya. Jadi, pencapaian seorang Yabes belum apa-apa. Jalan anak yatim itu masih panjang dan berliku, penuh onak dan duri. Tugas kita mendukung Yabes agar jalan yang telah dia rintis dengan manis, dia akhiri pula dengan indah berseri-seri.
Di antara celah gunung-gemunung, ngarai dan juga lembah Indonesia, hari ini masih riuh terngiang nama Yabes. Ya Yabes! Sungguh terlalu kalau ada yang iri dan dengki, juga berpikir praktis dengan agendanya sendiri. Menumpang tenar Yabes Roni Malaifani pakai parfum politik. Politik parfum, konon kabarnya, kalau over dosis malah menjadi bau. Jauh dari harum, semerbak mewangi. *
Sumber: Tribun Manado