SEJAK zaman nenek moyang kami Ata Lise, struktur organisasi itu sudah terbentuk dengan fungsi, peranan, tanggung jawab, wewenang serta pembagian tugas (job description) masing-masing.
Posisi tertinggi adalah Mosalaki Pu'u Lise Tana Telu. Dialah pemimpin untuk seluruh anak cucu Mbete Woda atau Woda Rasi. Simbol pemersatu juga hadir dalam diri Mosalaki Puu Lise Tana Telu. Terbukti untuk suatu upacara adat di wilayah Lise Tana Telu, pernyataan atau pengumuman pertama datang dari Mosalaki Puu. Misalnya pesta Po'o Fata Mari (poo terbesar), yang menentukan waktunya adalah Mosalaki Puu. Penentuan waktu itu dilaksanakan para aji ana (kelurga besar Lise).
Po'o adalah perayaan yang digelar pada bulan September atau Oktober saban tahun di Fatamari, sebuah tempat yang teduh di bibir sungai Lowo Ria tak jauh dari kampung Mulawatu. (Makna perayaan ini akan saya kisahkan di artikel tersendiri).
Meskipun sudah ada mosalaki puu, tapi di setiap kampung ada mosalakinya masing-masing. Istilah yang dikenal "Kura Fangga no Lowo-lowo, Roa Loka no keli-keli". Artinya di setiap tempat ada pemimpinnya masing-masing. Dalam teori kepemimpinan, realitas ini bisa dimengerti. Selain mosalaki puu ad aria bewa.
Dalam struktur adat orang Lise ada dua Ria Bewa atau Ria Rua yaitu Ria Bewa yang berkedudukan di Mulawatu dan Ria Bewa yang berkedudukan di Wololele A (keturunan Wangge Woda). Salah satu peranan Ria Bewa yaitu sebagai juru bicara dengan pihak luar suku,semacam menteri luar negeri dalam tata pemerintahan negara modern. Peran Ria Bewa juga memberikan masukan atau pertimbangan kepada mosalaki puu dalam mengambil keputusan atau kebijakan yang bertautan dengan kepentingan aji ana, ana kalo fai walu (rakyat).
Secara genealogis, mosalaki puu dan ria bewa sesungguhnya kakak beradik. Mereka masih bertalian saudara satu sama lain. Memang sebagaimana lazimnya keluarga, ada saja ketidakcocokkan, silang pendapat, iri hati, salah paham dan lainnya. Namun, semua itu merupakan dinamika dalam membangun keluarga besar Lise, membangun komunitas masyarakat yang bertahan sampai berabad-abad hingga saat ini.
Selain Ria Bewa ada posisi Hage Loo dan Hage Ria. Ada versi cerita yang menyebutkan Hage Loo dan Hage Ria serta Mosalaki Tuke Sani yang mempunyai peran dan tanggungjawab masing-masing. Pada masa perang suku, mereka itu mempunyai peran dan bekerja sama mengalahkan musuh. Ada yang berperan sebagai penunjuk jalan, peramal, pengintai posisi musuh, prajurit maupun panglima perang di medan laga (ngalu ngeti).
Setelah meraih kemenangan dalam perang atau sukses merebut tanah (wika), tanah itu dibagi-bagi kepada aji ana sesuai prinsip keadilan untuk dijadikan lahan petanian sumber makan minum sehari-hari. Namun, kepemilikannya menganut sistem ulayat. Komunalitas dalam tradisi orang Lise sebenarnya berlaku universal untuk konteks masyarakat Indonesia yang hakekatnya memiliki leluhur yang sama.
Di kalangan masyarakat Lise dikenal istilah ini. Tanah itu milik mosalaki. Yang itu cuma ngebo (kebun) saya. Artinya pemiliknya mosalaki, aji ana berhak menggarap. Eko Take Tola Ndale - Ulu Soe Endo Mbawe itu tanah Woda Rasi yang diserahkan kepada anak cucunya untuk digarap guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dalam hal ikhwal tanah, orang Lise mengenal sumpah adat yang ditandai dengan percikan darah manusia serta makan tanah. Sumpah ini sangat mengikat dan mempertaruhkan kejujuran dan kebenaran hakiki. Apabila ada persoalan tanah, sumpah ini dilakukan untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Biasanya yang benar akan menang.
Sumpah minum darah dilandasi keyakinan bahwa tanah itu diperoleh dengan jiwa dan raga (korban jiwa sangat banyak saat perang suku di masa lalu). Nilai dari sumpah makan tanah dan minum darah ini sangat bernas. Karena itu bisa dimengerti jika kasus-kasus tanah (perdata) sangat jarang terjadi di Lise serta wilayah Lio umumnya. Keyakinan akan sumpah itulah pengikatnya, sehingga orang akan berpikir panjang kalau melangkah. (*)
Di sini kutulis tentang asal-usulku. Juga kucatat penggalan-penggalan kisah leluhur. Aku bagian dari darah daging mereka yang ada dan mengalir adanya hingga anak cucu Lise mendatang.
Dion Dosi Bata Putra
Embu Woda, Ana Mbete, Wewa Tani Woda, Mamo Ngaba Tani, Benge Dede Dosi, Putra Bata. Gelombang yang tiada henti bergelora dalam arus zaman.