Seminari Mataloko |
SETELAH menyesaikan studinya di Seminari Matoloko, Ngada, Alex Beding melanjutkan ke novisiat Ledalero. Alex Beding melukiskan pengalamannya tersebut sangat menakjubkan karena berlangsung dalam suasana perang saat itu.
Berikut catatan Alex Beding seperti dikutip Steph Tupeng Witin, SVD dalam buku Bersyukur dan Berharap, Kenangan 60 Tahun Imamat Alex Beding, SVD (Ledalero 2011, hal 24).
“Pada tahun 1943, kami menjalani novisiat tahun pertama di Ledalero. Waktu itu dalam keadaan perang dan serdadu-serdadu Jepang menduduki juga seminari tinggi. Karena semua pater-profesor berkebangsaan Belanda diinternir, maka para frater mahasiswa filsafat dan teologi dipindahkan ke Mataloko. Di ‘Rumah Tinggi’ kuliah-kuliah dilanjutkan dengan bantuan para imam yang ada.
Sementara itu kami sebagai novis masih bertahan di bawah pimpinan PJ Koemeester sebagai Magister, namun orang-orang Jepang melihat bahwa Ledalero mulai menjadi titik bahaya dari udara, maka kami diungsikan ke Lela. Tapi di sana juga kami tidak bertahan karena tidak aman, dan sekali lagi kami diungsikan ke Mataloko dan ditampung juga di ‘Rumah Tinggi’. Kami menyelesaikan masa novisiat di Mataloko dan mengikrarkan kaul-kaul pertama dalam gereja Paroki Mataloko pada 15 Agustus 1945, dua hari kemudian tibalah Hari Kemerdekaan Indonesia tetapi kami masih terus hidup dalam keadaan perang.”
Ketika keadaan berangsur membaik, Alex Beding muda bersama teman-temannya bisa mulai memasuki studi di Seminari Tinggi St Paulus Ledalero di Kabupaten Sikka. Akhirnya cita-cita mereka tercapai juga. Alex Beding bersama enam temannya ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Antonius Thijjssen, SVD di dalam Gereja Paroki Nita, tidak seberapa jauh dari Seminari Tinggi Ledalero pada 24 Oktober tahun 1951.
Meskipun menjalani studi dalam suasana ‘tidak enak’ Alex Beding akhirnya menjadi imam sulung dari Pulau Lembata. Peristiwa tersebut merupakan warta gembira bagi seluruh umat Katolik di Lembata dan khususnya kampung Lamalera.
Pater Alex Beding merefleksikan seluruh ziarah menuju tangga imamatnya tersebut sebagai bukti kesetiaan Tuhan dalam hidupnya. “Melihat seluruh perkembangan studi menjadi imam dan keadaan perang yang mengakibatkan kesulitan dan hambatan, saya sangat bersyukur kepada Tuhan bahwa semuanya berlangsung relatif lancar dan yang terpenting kami mendapat kesempatan untuk belajar mengenai kesulitan-kesulitan yang nyata dalam perjalanan menjadi imam. Semuanya berguna dan semuanya ada arti.”
Pada tanggal 29 Juni 1952, Pater Alex bersama Pater Gregorius Monteiro, SVD (kemudian menjadi Uskup Agung Kupang) merayakan misa perdana mulia di Gereja Paroki St. Petrus dan St. Paulus Lamalera. Pater Gregorius Monteiro adalah keturunan Lamalera. Dalam acara-acara meriah yang dipimpin Pater Bruno Pehl, SVD, mereka mengalami kegembiraan umat yang pertama kali menyaksikan putra Lembata bertindak sebagai imam di altar Tuhan.
Selanjutnya Pater Alex memulai ziarah dalam karya pastoral sebagai imam. Yang istimewa adalah Pater Alex Beding mendapat kesempatan untuk terus belajar pada dua universitas terkemuka di negeri ini yaitu Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta dan Universitas Indonesia (UI) Jakarta.
Alex Beding mengenang masa belajar di luar seminar itu sebagai proses pematangan diri terus-menerus. “Saya belajar selalu dalam lingkungan yang aman di seminari menengah dan seminari tinggi sampai menjadi imam, dan saya diberi kesempatan belajar juga pada Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dilanjutkan di UI Jakarta dan tamat sebagai sarjana muda Bahasa dan Sastra Indonesia untuk segera ditugaskan sebagai guru Bahasa Indonesia pada seminari Menengah St Johanes Berchmans di Todabelu, Mataloko, Ngada.”
Ketika sedang studi di Jakarta, Pater Alex sempat diminta menjadi pastor tentara (TNI) untuk ikut dalam aksi militer ke Padang, Sumatera di bawah komando Letkol Ahmad Yani melawan Ahmad Husein, seorang jenderal pemberontak dan pemimpin PRRI pada pertengahan 1957. Ia menerima tugas itu demi cinta tanah air dan kepentingan nasional. Tapi tugasnya tidak berlangsung lama karena masih dalam masa studi.
“Ketika di Yogyakarta maupun di Jakarta di mana saya belajar, saya juga dilibatkan dalam karya pelayanan pastoral dalam kota dan juga di paroki-paroki diaspora. Di Jakarta saya menjadi anggota PMKRI dan sering mengikuti kegiatan yang berkaitan langsung dengan liturgi. Orang-orang Flores yang saya jumpai pada masa itu termasuk Drs. Frans Seda, Drs. Mang Reng Say, Centis da Costa, P. Adr, Conterius yang bertugas pada kantor Wali Gereja Indonesia memberi saya kesempatan untuk bertemu Presiden Soekarno pada perayaan nasional di Istana Merdeka. Para perayaan Misa 400 tahun St Ignatius de Loyola saya diundang untuk berkotbah di Gereja Katedral Jakarta dalam Bahasa Belanda. Dengan ketetapan Uskup Jakarta, saya menjadi anggota Yayasan Melani, Yayasan Papa-Miskin. Pada tahun 1955 di Jakarta, saya ikut dalam pemilu pertama di Indonesia,” kenangnya.
Setelah mengabdi sebagai pendidik di Seminari Mataloko, Pater Alex Beding beralih ke Ende tahun 1970. Beliau menulis dalam kenangannya, “Saya pindah ke Ende dan diminta untuk mulai membangun Penerbit Nusa Indah, Biro Naskah dan Toko Buku Nusa Indah. Dengan kegiatan itu saya belajar amat banyak dan saya mendapat dukungan yang kuat khusus dari Pater Heinz Neuhaus, Direktur Percetakan Arnoldus.
Dalam kerja sama dengan rekan-rekan (Thom Wignyanta, Paceli Boleng, Ben Oleona, Chris Nau, Jack Blikololong, Albert Pantaleon, Sr Regina, SSpS, Sr Ignacio CIJ, Sr Emmanuel Gunanto OSU, gadis-gadis Monika Pemba, Ona Paty, Nela dll) yang tergabung dalam Biro Naskah dan pimpinan redaksi majalah-majalah. Kami menerbitkan banyak buku dan dua majalah yaitu Dua Mingguan DIAN dan majalah anak-anak KUNANG-KUNANG. Dua terbitan ini hidup sampai sempat saya merayakan pesta perak! Terima kasih bagi teman-teman dari staf Biro Naskah dan Dewan Redaksi DIAN yang setia dan penuh dedikasi dalam peranan mereka masing-masing. Terima kasih yang limpah bagi Sr. Emmanuel Gunanto OSU yang memimpin redaksi majalah anak-anak KUNANG-KUNANG dengan penuh cinta bersama para pembantunya.”
Menurutnya, dari kesan-kesan yang diperoleh, ia boleh bergembira bahwa Penerbit Nusa Indah dan karya pers melalui kedua majalah tersebut telah bekerja maksimal untuk misi Gereja dan SVD yakni mewartakan sabda Allah demi membangun umat dalam suatu masa baru dengan tantangan-tantangan baru.
“Terima kasih khusus kepada pimpinan SVD yakni Pater Provinsial dan pimpinan Gereja lokal Bapa Uskup yang memberikan restu dan dukungan kepada kegiatan kami. Terima kasih berlimpah kepada seluruh sidang pembaca dan pelanggan yang menaruh simpati dan menerima hasil pekerjaan kami,” demikian Pater Alex Beding. (dion db putra/bersambung)
Sumber: Harian FloresStar edisi Senin, 30 Januari 2012 hal 1
Baca Artikel Terkait
Intan Imamatnya jadi Mahkota Bagi Lembata
Dia Menjala di Lautan Lain...