You Are Woman!

ilustrasi
Catatan Sepakbola Dion DB Putra *

PERASAAN
Adam Goodes remuk. Ketika dia berjalan ke bibir lapangan terdengar suara yang memanggilnya  'monyet'. Panggilan yang sudah berulangkali melukai batinnya. Dia berbalik, coba  mencari sumber suara itu. Matanya terbelalak. Sapaan 'monyet' datang dari seorang gadis kecil berusia 13 tahun! "Ini benar-benar menghancurkan hati saya," kata Goodes.

Goodes merupakan pemain  Australian Football (AFL) dari tim Sydney Swan. Hari itu, 25 Mei 2013 dia membela timnya saat bertanding melawan tim Collingwood Magpies di Stadion MCG atau Melbourne Cricket Ground. Goodes yang telah bermain dalam 328 pertandingan AFL, berhasil mengantar timnya menang atas Magpies. Itu kemenangan bersejarah karena untuk pertama kalinya selama 13 tahun. Namun, sapaan 'monyet' dari bocah 13 tahun membuat kemenangan itu seolah tak berarti apa-apa bagi Goodes.

"Kemenangan ini tidak ada artinya. Ketika saya berbalik dan melihat bahwa yang mengucapkan itu seorang anak perempuan, saya berpikir oh Tuhan...yang benar saja? Mengapa seorang anak berusia 13 tahun sudah bersikap rasis," kata Adam Goodes yang berdarah Aborigin. Sebagai anak Aborigin,  jelas kulitnya hitam dan rambutnya keriwil-keriwil mirip keriting. Beda dengan anak perempuan berkulit putih dan rambut pirang yang menghujatnya.

Seperti dikutip dari www.radioaustralia.net.au, polisi sempat menanyai anak perempuan itu kemudian melepaskannya. Si bocah ini pun sudah menyampaikan permintaan maaf kepada Goodes lewat telepon beberapa jam kemudian.

 Menurut Goodes, dia  tidak menyalahkan anak tersebut. Anak ini pasti belum mengerti apa-apa dengan menyapa seseorang sebagai 'monyet'. Dia tak paham implikasi dan dampak psikologisnya.  Struktur sosial yang rasislah yang telah membentuk wataknya sejak usia muda untuk 'membenci' orang lain dengan penampakan ragawi berbeda, jenis kelamin berbeda, agama, suku, bangsa berbeda.

Dari pengalaman yang menyakitkan itu, Adam Goodes kembali  menyerukan pentingnya kampanye global untuk menjauhkan anak-anak sejagat dari rasisme. Salah satunya lewat pendidikan yang benar. Seruannya mendapat respons positif dari banyak warga Australia.  "Kita harus membantu masyarakat agar bersama-sama menghindari tindakan seperti ini tidak terjadi lagi. Saya mendapat dukungan yang fantastis selama 24 jam terakhir," katanya kala itu.

                                                              ***

RASISME
dalam dunia olahraga bukan hal baru, terlebih untuk cabang olahraga terpopuler sedunia, sepakbola. Sikap rasis sering menyembul genit dalam kejuaraan antarnegara atau antarklub. Tentu saja hal itu dipicu oleh banyak faktor. Sebut misalnya sejarah sebuah bangsa, ego etnis, kesenjangan ekonomi dan lainnya.  Di benua Eropa,  Inggris dan Italia merupakan negara dengan catatan sangat buruk dalam masalah ini.

Badan sepakbola dunia (FIFA) dan badan sepakbola Eropa (UEFA) dalam satu dasawarsa terakhir lumayan getol kampanyekan antirasis dengan mengusung bendera Say No To Racism menjelang setiap laga  resmi.  FIFA dan UEFA sudah menelurkan beragam aturan yang menghukum  pemain, penonton, klub, dan badan sepakbola suatu negara bilamana bertindak rasis.

Beberapa kasus rasis yang terjadi di Liga Inggris bisa disebut di sini. Pemain  Manchester United, Rio Ferdinand mendapat hukuman dari FA, badan sepakbola Inggris setelah dia  berkomentar rasis di twitter yang mengejek bek andalan Chelsea dan timnas Inggris, Ashley Cole. Ferdinand menyapa Cole dengan choc ice yang  menggambarkan seseorang berkulit hitam namun orang itu merasa kulitnya putih.

FA pernah melarang Kapten Chelsea, John Terry bermain dalam pertandingan dan membayar  denda 220.000 poundsterling. Terry dihukum karena menghujat bek Queens Park Rangers, Anton Ferdinand, dengan kalimat rasis.

Dalam rangka mendukung kampanye antirasis, manajemen klub terkemuka Inggris,  Liverpool pada awal musim kompetisi 2013-2014 ini mengeluarkan ketentuan yang patut diapresiasi secara positif.  Manajemen klub The Reds terbitkan  aturan yang melarang penggunaan frasa tertentu yang mendiskreditkan orang lain terkait jenis kelamin, suku, agama, ras atau cacat fisik.

Kata-kata semisal queer (merujuk pada gay), lezzer (merujuk pada lesbi), midget (cebol atau kerdil) adalah beberapa contoh kata yang dilarang. Selain itu ungkapan  'you are women! (kamu perempuan) atau  'jangan bermain seperti perempuan' serta 'jadilah laki-laki' juga tak boleh digunakan. Ketentuan ini jelas merupakan tantangan bagi staf, ofisial, pelatih dan pemain Liverpool.  Maklum sebagian besar dari mereka kerapkali mengeluarkan kata-kata seperti di atas ketika sedang kesal.  Seperi dikutip dari Marca, Pelatih Liverpool  Brendan Rodgers cukup sering menggunakan kalimat tersebut musim yang lalu.

"Kami ingin karyawan kami menyadari kata-kata yang tak pantas dan kemudian mengambil langkah yang dibutuhkan untuk memastikan Anfield bebas dari semua bentuk diskriminasi," begitu statemen resmi manejemen Liverpool. Guardian melaporkan kalau langkah Liverpool mengeluarkan aturan ini terkait dengan kritik tajam terhadap klub ini menyusul pembelaan yang mereka lakukan pada Luis Suarez terkait kasus rasialnya terhadap Patrice Evra. Dengan mengeluarkan aturan ini,  Liverpool ingin memperbaiki citranya.

Apakah sikap rasis hanya terjadi di manca negara? Jangan salah bung! Di negeri kita ini rasisme pun mulai mekar berbiak. Kompetisi Liga Indonesia sudah berkali- kali dinodai sikap rasis tersebut. Sekadar misal, pemain klub Persipura Jayapura mendapat perlakuan rasis saat bertanding melawan Arema di Malang belum lama ini.

Aremania - sebutan bagi pendukung Arema melempari para pemain Persipura di lapangan bahkan istri para pemain di tribun VIP. Aremania pun dengan vulgar memperlihatkan replika keranda mayat bertuliskan Persipura dan menirukan tingkah laku monyet. Keterlaluan, Persipura dilukiskan sebagai monyet!

Masih banyak kasus serupa yang terjadi di Indonesia. Jika Anda rutin menonton pertandingan kompetisi Liga Indonesia, nyanyian bernada rasis nyaring terdengar di berbagai stadion. Demikian pula ejekan dan hujatan yang menghina pemain lawan.

Perbedaannya terletak di sini. Bila di luar sana sanksinya tegas bagi pemain, klub atau penonton yang bertindak rasis, di bumi Nusantara masih sebatas imbauan, sekadar kata-kata. Aturan soal rasisme di negeri ini masih abu abu. Semoga Indonesia yang multietnik ini tidak menjadi ladang emas rasisme yang melukai sesama. Pelangi itu indah karena warna berbeda bukan?  Salam bola!

Sumber: Tribun Manado
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes