Setelah Tsunami Senyap di Selat Sunda


BENCANA sungguh akrab dengan kehidupan kita. Dalam enam bulan terakhir gempa bumi dan tsunami memporak-porandakan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Palu, Donggala dan Sigi di Sulawesi Tengah dan terakhir tsunami senyap di Selat Sunda. Derita mendera masyarakat pesisir Provinsi Banten dan Lampung.  

Dari tiga bencana alam gempa dan tsunami tersebut,  jumlah korban jiwa lebih dari 3.000 orang Korban tewas terbanyak di Kota Palu, Donggala, Sigi dan sekitarnya. Dalam bencana Lombok, Palu dan Selat Sunda,  jumlah korban luka-luka mencapai  belasan ribu orang dan ratusan  ribu orang mengungsi. Penderitaan pun masih menyertai mereka di lokasi bencana hingga hari-hari ini.

Bangsa Indonesia secara umum memang hidup bersama gempa dan tsunami. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat,  rata-rata dalam satu tahun terjadi 6 ribu kali gempa di Indonesia. Gempa  dalam skala magnitudo tertentu menimbulkan tsunami sebagaimana terjadi di Aceh tahun 2004 dan Palu 2018.


Tsunami yang menerjang Banten dan Lampung 22 Desember 2018 malah bukan dipicu gempa tektonik tetapi kuat dugaan akibat erupsi anak Gunung Krakatau
sehingga datangnya tsunami begitu hening.

Mengingat rentannya wilayah Indonesia dari bencana  alam, maka kita tak akan bosan mengingatkan ihwal  pentingnya membangun budaya sadar bencana. Mitigasi dan edukasi bencana harus ditanamkan berulang-ulang. 

Setiap penduduk Indonesia mesti memahami potensi bahaya bencana semisal gempa dan tsunami serta memahami mitigasinya agar terjadi  harmoni tinggal di wilayah rawan bencana.

Wajib hukumnya bagi anak Indonesia sejak usia dini membudayakan perilaku sadar bencana. Memperbanyak latihan atau simulasi penyelamatan jika terjadi gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor dan bencana alam lainnya merupakan cara membentuk kebiasaan yang bermanfaat jika bencana sesungguhnya datang.

Mitigasi sebagaimana perintah Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan bencana harus menjadi kewajiban pemerintah daerah demi meminimalisir risiko dan dampak bencana, baik melalui pembangunan infrastruktur atau memberikan kesadaran dan kemampuan menghadapi bencana.

Sejauh ini kita masih melihat pemerintah daerah di NTT  setengah hati menjalankan program mitigasi. Padahal bencana dapat terjadi kapan dan di mana saja serta dapat menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa manusia.

Kita belum melihat agenda aksi yang konkret dari pemerintah daerah melaksanakan mitigasi struktural dan non struktural yang berkesinambungan. Pemerintah  umumnya baru memberi respons manakala sudah terjadi bencana alam yang menelan korban materi dan manusia.

Mari kita tinggalkan cara lama menghadapi bencana alam. Mitigasi dan edukasi bencana harus menjadi program utama yang tidak kalah penting dibandingkan pembangunan sektor lainnya karena taruhannya adalah keselamatan manusia.*

Pos Kupang, 28 Desember 2018 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes