Aleta Baun Dapat Penghargaan Goldman

Aleta Baun (dok. Goldman Environmental/detikfoto)
SUARA yang keluar dari bibir perempuan bertubuh mungil itu sangat lembut. Namun, di balik kelembutan suara Aleta Baun, terkandung inspirasi sekaligus motor penggerak masyarakat di Pegunungan Molo, Nusa Tenggara Timur, untuk menentang perusahaan pertambangan di daerahnya.

"Saya hanya ingin melindungi tanah kelahiran dan keindahan alam seperti apa adanya," kata wanita yang biasa disapa Mama Aleta, saat ditemui pekan lalu di sebuah acara diskusi terbatas kesehatan jiwa tingkat nasional di Hotel Le Meridien, Jakarta, pada bulan Oktober 2008 lalu.

Saat itu, wanita yang berusia 41 tahun itu menjadi pusat perhatian dalam acara tersebut. Di atas panggung, Mama Aleta menceritakan pengalamannya berhadapan dengan aparat, pemerintah dan beberapa perusahaan pertambangan yang membuka lahan di tempatnya. "Banyak masyarakat di sana yang sudah terlalu lelah
Aleta (dok. Goldman Environmental/detikfoto
berjuang, seperti kehilangan semangat, lalu akhirnya mengalami depresi. Saya dengan segala cara memberi kekuatan untuk menyemangati dan mendampingi mereka," ujar Mama Aleta berkisah.

Di desanya, Mama Aleta dikenal gigih sebagai pejuang dan pembela hak-hak asasi manusia. Lulusan SMA Kristen Timor Tengah Selatan ini mengaku tertarik dengan dunia pemberdayaan masyarakat melalui kisah masa kecilnya. Lahir dari keluarga petani, anak keenam dari delapan bersaudara ini mengaku sejak kecil dekat dan menyatu dengan alam. Baginya, tanah kelahiran itu memiliki keindahan yang membuat pihak lain terpesona. Belum lagi tanahnya memiliki situs batu bersejarah serta mengandung pualam dan marmer.

"Ya, siapa yang tidak tertarik pada pertambangan yang menghasilkan banyak uang. Tetapi mereka lupa, struktur tanah tempat kami tidak baik untuk pertambangan. Bila dipaksakan justru akan mengakibatkan longsor atau erosi besar-besaran," ujar dia seraya berwajah serius.

Sudah sejak lama ia memutuskan berjuang buat kehidupan warga di sekitar kampungnya. Kampungnya berada di sekitar batuan raksasa sepanjang daerah Pegunungan Molo, yang memanjang dari timur ke barat Kepulauan Timor, Nusa Tenggara Timur. Gunung-gunung batu tersebut dalam bahasa setempat disebut sebagai fatu atau faut yang berarti "bukit batu." Sembilan tahun lalu, gunung batu tersebut mulai disebut-sebut sebagai gunungan batu marmer oleh pemerintah dan pengusaha tambang.

Cadangan atau deposit marmer di Pulau Timor dan Flores diperkirakan sekitar 3,5 triliun meter kubik. Pemerintah dan pengusaha tambang memiliki keinginan yang sama, yaitu supaya gugusan gunung batunya
digali, ditambang, dipotong menjadi petak-petak kubus raksasa berwarna putih, dan dijual ke Jawa lalu dibentuk menjadi peralatan rumah tangga. "Memang banyak perusahaan telah memiliki izin menambang batuan marmer di sini, meskipun rakyat kami berkeras menolak," ujarnya. 

Padahal, fatu-fatu tersebut merupakan tali penghubung masayarakat di sana dengan leluhur, nenek moyang, alam, sumber air, bahkan lahan bawang dan wortel. Itulah sebabnya gunung-gunung batu tersebut punya nama, mulai yang terbesar dan tertinggi, terlihat kukuh di kejauhan bernama Fatu Naususu, Anjaf di Desa Fatukoto, Fatu Peke di Desa Tune, Fatu Pe' di Desa Fatumnutu, Fatu Nua Molo di Desa Ajaobaki, Fatu Naitapan di Desa Tunua, Fatu Faenman, Fautlik di Desa Fatumnasi. (*)

Sumber: Tempo

Artikel Terkait
Peraih Goldman dari Pegunungan Molo 
Video Aktivitas Mama Aleta Baun
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes