Pesawat Lion Air jatuh di ujung Ngurah Rai |
Sore itu bersama Apollo, saya dan dua kawan wartawan dari Jakarta baru saja meliput acara Konferensi Nasional Forkoma PMKRI, Sabtu (13/4/2013) lalu.
Kami baru sebentar, sekitar 25 menit, jalan-jalan ke Garuda Wisnu Kencana (GWK) Bali, tiba-tiba ada kabar pesawat Lion Air jatuh.
Mata belum puas memandangi karya tangan manusia kreatif di GWK. Kami sebentar jalan-jalan ke Garuda Wisnu Kencana di Bukit Peninsula, salah satu objek wisata utama pelancong. Lokasinya dari bukit yang kikis dengan menyisakan bukit-bukit besar persegi empat kira-kira ukuran 30 x 30 meter persegi.
Patung Burung Garuda di atas tangga, dan patung Wisnu setinggi 23 meter menjadi pemandangan menakjubkan, dan karenanya objek favorit dijadikan latar belakang berfoto. Akhirnya kami berempat meluncur ke arah Bandara, perjalanan kurang lebih sejam karena terjebak macet arus lalu lintas di Denpasar dan Kuta.
Setengah tidak sabar, dan gelisah. Sementara sirene mobil brimob dan tentara meaung-raung dari arah yang sama, mobil-mobil truk dan pikap mengangkut pasukan bersenjata laras panjang melaju dari sisi kanan mobil yang kami tumpangi.
Pergerakan beramai-ramai warga Kuta dan sekitarnya menuju bandara turut memperparah kemacetan. Warga menyisir jalan-jalan kecil di sisi utara bandara, menuju pantai Klan atau dikenal juga Pantai Segara di Kampung Klan Kelurahan Tuban, Kecamatan Kute Selatan, Kabupaten Badung, lokasi pesawat Lion Air jenis Boeing 737-800 NG jatuh.
Saya segera melompat ke luar. Di antara warga yang berduyun-duyun menuju pantai, ada seorang laki-laki berkendara motor seorang diri. "Bli, ikut dong menumpang," kataku nekat. Laki-laki kurus ini mempersilakan. Jaraknya rupanya tidak jauh, sekitar 200 meter. Selebihnya motor tidak bisa masuk karena sudah penuh sesak pengunjung, namun mereka tak dapat melihat pesawat yang jatuh di laut. Jaraknya jauh dan di balik landasan pacu yang dibuat menjorok ke laut.
"Dari sini tidak bisa pak. Tidak terlihat. Kalau naik perahu, juga tak bisa. Dilarang tentara. Bisanya dari selatan, dari Pantai Jerman," kata seorang nelayan.
Saya keluar buru-buru. Laki-laki yang membonceng tadi saya 'todong'. "Bli, tolong antar saya ke seberang dong. Supaya bisa ambil foto pesawat. Ke pantai Jerman, yuk," kataku. Bli sapaan untuk laki-laki Bali, padanannya abang, mas, atau kang.
Laki-laki ini rupanya sehari-hari penarik ojek. Dan selama saya meliput terkait pesawat jatuh, termasuk mendatangi Untung Santoso beserta Ni Luh Artami di RS Kasih Ibu Tabanan, sekitar 30 km dari Kuta, dialah langganan saya mengojek.
Sekitar 15 menit hendak keluar hotel di Jalan Sudirman Denpasar, saya akan telepon dia untuk menjemput. Sebelum kembali ke Jakarta, saya menanya namanya, Adi, pria asal Jember, Jawa Timur.
Hari sudah senja dan mendung. Saya batalkan ke Pantai Jerman, tapi fokus meliput korban-korban Lion yang terus berdatangan diangkut ambulans yang hilir-mudik di RS Kasih Ibu, Kedongan, Jalan Uluwatu, Kuta. Hingga malam, ada 30-an pasien rawat jalan maupun menginap di sini. Selebihnya di RSUD Sanglah, dan RS BIMC Denpasar. Berdasarkan data PT Jasa Raharda (Persero), dari 101 penumpang dan 7 awak kapal, total yang sempat menjalani perawatan sebanyak 52 orang.
Kembali ke masalah pantai Jerman. Untuk mencari kisah tentang Pantai Jerman, aneka cara saya tempuh. Bertanya ke sesama wartawan maupun mencari nara sumber kompeten, ahli sejarah atau pemangku adat asli Kuta. Selasa (16/4/2013) pagi, sambil membawa koper dan ransel, sebelum ke Bandara Ngurah Rai, Adi mengojeki saya ke rumah Lurah/ Bendesa Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung I Nyoman Swena.
Sesampai di rumahnya yang khas Bali, kami diterima anak penengahnya di rumah bangunan depan. Lalu dia membawa ke rumah belakang, dan menuju rumah ayahnya. "Bapak masih tidur. Soalnya barusan pulang dari sembayangan sejak tadi malam. Nanti sore disambung lagi," kata Nyoman junior.
Lalu kami lanjut ke pantai Jerman. Selasa siang, saya mendatangi pantai ini. Setelah mampir ke Pantai Klan di utara bandara, tempat yang saya datangi Sabtu lalu, diantarkan Adi, saya bertemu sejumlah nelayan di Pantai Jerman. Made Karyasa alias Kingkong, seorang nelayan di sana mengaku pernah mendengar pantai Jerman. Menurutnya, dulu, entah tahun berapa dia tidak tahu pasti, orang Jerman sempat tinggal dan memiliki rumah di pinggir pantai itu.
"Ini nih pohon kelapa dan waru ini bekas rumah-rumahnya. Orang-orang Jerman itu pindah karena rumahnya kena ombak, abrasi. Sekarang jadi restoran dan vila punya orang lain," kata Kingkong, laki-laki berbadan kekar.
Untuk mendapatkan data akurat, saya mengontak sejumlah akademisi atau sejarawan. Salah satunya Prof Nyoman Darma Putra, guru besar Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana Denpasar.Dalam perbincangan telepon, Prof Nyoman Putra mengaku tak tahu cerita mengenai Pantai Jerman. Namun dia memberi nomor telepon seseorang. "Coba telepon Rutha Adhy, dia seorang pengamat asal Kuta-Legian," demikian Prof Nyoman.
Rutha Adhy dalam perbincangan Selasa senja menuturkan sebenarnya lokasi Pantai Jerman dengan lokasi Lion Air jatuh di ujung barat Bandara, agak jauh. Kurang lebih 2 kilometer. "Partai Jerman itu lokasi di utara, dekat lokasi pertamina. Partai Jerman itu bermula dari nama, karena dulu banyak orang-orang Jerman tinggal punya rumah di sana," kata Rutha.
Siapa orang-orang Jerman itu, ngapain punya rumah di sana? Dia menjawab, "Saat itu, tahun 1963, saya masih SD kelas 4 atau kelas 5." Ia melanjutkan, bandara itu saat bernama Pelabuhan Udara Tuban Bali,dibangun pada era Orde Lama. Pengerjaannya ditangani Hutama Karya. Saat itu Direkturnya Ir Sutami yang kemudian hari menjadi menteri. Pelabuhan udara dibangun tahun 1963 pada zaman Soekarno dan diresmikan Presiden Soeharto tahun 1967. "Dulu kan kalau ada proyek, teknisi atau konsultannya dari Jerman. Jadi banyalk orang Jerman terlibat di proyek itu dan mereka dibuatkan rumah di dekat bandara," kata Rutha.
Ia mengakui, rumah-rumah itu sudah tidak berbekas karena diterjang ombak. Daratan terkena abrasi. "Lokasi rumah-rumah itu sudah tenggelam, sudah jadi laut sekarang. Bandara Ngurah Rai sekarang kan dibuat menjorok ke laut. Jadi masuk akal, ombak menghantam daratan di sebelah selatan," kata Rutha mengakhiri perbincangan sambil pamit karena segera pergi sembayangan. (domu d ambarita)
Sumber: Tribun Manado 18 April 2013 hal 1