Pasukan berduka dalam tradisi Non Pah |
Mereka berkumpul di Sonaf Bikomi Maslete untuk menjalani ritual Non Pah. Ritual ini masih dipertahankan komunitas adat Bikomi yang digelar tujuh tahun sekali. Dalam upacara ini, pasukan berkuda mengelilingi wilayah Kerajaan Bikomi hingga Kota Kefamenanu dan kembali masuk ke Sonaf Bikomi Maslete. Pasukan berkuda membawa Pedang Bermata Tujuh atau dalam bahasa lokal disebut Tap Mese Nes Hitu yang dipercayai memiliki kekuatan magis.
Seekor kuda jantan hitam dipersiapkan khusus oleh Sonaf (pemangku rumah adat) untuk membawa Pedang Bermata Tujuh. Kuda didandani dengan giring-giring, perak dan ekor sapi yang sudah dikeringkan ditempatkan pada bagian leher. Semua meo (panglima perang, red) hadir bersama kuda masing-masing. Meo memakai pakaian adat lengkap ditemani pedang di bagian pinggang. Mereka siap mengawal Le'o atau benda adat yang dirindukan masyarakat Pah Bikomi sejak tujuh tahun lalu.
Sebelum berangkat, masih ada beberapa ritual adat, seperti meminta izin foto dan syuting yang dilakukan di Tola Naijuf dengan memotong babi jantan berwarna hitam.
Wisatawan menyaksikan upacara Non Pah |
Seorang lelaki dari suku Ta'kua berwajah sedikit keriput, mengenakan baju hitam dipadu kain hitam yang diikat di kepala, masuk ke dalam Tola Naijuf (Rumah adat) untuk mengambil Pedang Bermata Tujuh. Keluar dari dalam Tola Naijuf seperti pahlawan memegang pedang yang sudah dibungkusi kain hitam. Masyarakat setempat dilarang keras bersuara, apalagi berdiri dan melakukan aktivitas. Mereka duduk diam dan tunduk tak berbicara.
Ande Ta'kua sebagai suku yang dimandatkan membawa Pedang Bermata Tujuh, sudah siap di atas kuda punggung hitam. Dia merapatkan barisan diikuti Tobe dari Suku Sife, yakni Kamilus Sife membawa perlengkapan ritual adat. Urutan kuda ketiga, yakni Suku Sife atau Ta'nik yang dipercayakan membawa ayam jantan merah. "Ayam jantan itu berkokok hanya siang dan malam," tutur Usif Yohanes Sanak.
Pukul 12.31 Wita hari itu pelepasan Non Pah dimulai. Lianenu, bifelon tok. "Duduk diam-diam sudah hoe," teriak seseorang di luar Sonaf Bikomi Maslete. Empat belas orang Meo yang ikut mengawal Tobe Takua, Sife dan Ta'nik seperti Klemens Malafu, Yohanes Takua, Vinsen Sabuin, Jefri Sonbay, Aldo Sonbay, Bonivasius Sonbay, David Hala, Nikolas Bana, Anus Hala, Blasius Nino, Mikhael Oeleu, David Obe, Benyamin Abi, dan Nikolas Lake. Giring-giring menjadi warna langkah kaki kuda keluar dari Sonaf Bikomi Maslete.
Wisatawan coba menunggang kuda |
Pos Kupang dibimbing seorang tua adat mengenakan kendaraan bermotor melalui jalur umum menuju lokasi pintu keluar ke Bikomi, di Naen, Kelurahan Tubuhue, sekitar tujuh kilometer dari Sonaf Bikomi Maslete.
Seorang ibu pulang dari kebun membawa karung, hampir berpapasan dengan pasukan Non Pah. Dia lari terbirit-birit seperti ketakutan ada perang. Ibu itu nyaris masuk ke dalam semak belukar. Pukul 13. 09 Wita giring-giring berbunyi dari dalam hutan. Masyarakat yang menunggu di etape pertama menunduk. Tak bersuara. Di sana mereka melakukan ritual adat Usapi Maknau untuk menerima rombongan sekaligus membuka jalan bagi pasukan berkuda untuk mengelilingi wilayah Bikomi.
Di sana sudah ada Tobe Nihala. Ada pula Suku Tahoni, Suku Paineon, Metboki, Insan Tuan yang juga melakukan ritual adat Tualel (Nipe Naik, Koto Nain) atau makan diam-diam, minum diam-diam.
Sejumlah menu makanan dan minuman lokal seperti kelapa muda, tebu, ubi, pisang masak, sopi, pepaya, ubi rebus, kacang tanah goreng, lauk tobe yang sudah disiapkan dari pagi pukul 08.00 Wita. Berbagai jenis makanan itu dibagikan kepada pasukan berkuda. Ibu-ibu sibuk mengupas kulit pepaya, dan memotong kelapa. Sementara laki-laki menyuguhkan minuman arak dan makan khas lokal. Kebersamaan dan kekeluargaan cukup kental.
Dua jam lebih diwarnai pembantaian ternak dan makan adat bersama. Sebelum makan siang dengan menu nasi putih dan beberapa potong daging babi yang dihidangkan, dua orang pria paruh baya membawa hidangan tersebut untuk dipersembahkan dengan tutur adat di tempat penyimpanan benda adat. Pukul 15. 22 Wita rombongan berkuda melanjutkan perjalanan ke Matbes, Desa Tublopo.
Tobe Nihala kepada Pos Kupang, mengatakan, beberapa lokasi persinggahan selanjutnya, yaitu Maurisu Utara, Faotbana, Maurisu Selatan, Naiola, Desa Oelami dan Desa Inbate akan dilakukan ritual adat yang sama.
Mereka ditunggu para Amaf Bikomi atau tua adat dengan berbagai makanan lokal. Ada perbincangan dan informasi keluhan yang akan diterima dari para Tobe dan Meo untuk disampaikan ke Sonaf, sesuai wilayah kekuasaan masing-masing Amaf.
"Pintu ini disambut dengan aman, damai, tertib dan lancar. Setelah pasukan berkuda jalan, sore ini juga kita akan antar ternak yang sudah dibantai dengan alas kaki (babi) ke Sonaf sebagai bentuk bukti informasi bahwa pasukan berkuda siap melanjutkan perjalanan dan akan disambut para Amaf wilayah Pah Bikomi,"jelas Tobe Nihala.
Pda Sabtu (21/1/2017) pukul 14. 20 Wita, pasukan berkuda tiba di Sonaf Bikomi Maslete. Mobil operasional Sat Lantas Polres TTU duluan memakai toa memberikan informasi agar jangan ada yang berdiri dan melakukan aktivitas di tengah jalan.
Mereka datang tidak bersamaan. Sebagiannya memakai kuda dan sebagian lagi berjalan kaki memasuki Sonaf. Mereka membawa pinang dan bambu. Turut disaksikan dua orang turis dari Australia bernama Luke Hunter, dan Hanna Ling, memakai sarung Bikomi.
"Pak (Polisi) tolong duduk," kata seorang warga yang duduk di bawah pohon.
Pukul 14. 40 Wita dua orang Meo tiba. Seperti lainya membawa pinang dan bambu berisikan air yang diambil dari tujuh lokasi sumber mata air keramat di Oeleu-Suspin, Oelnitep, Tailneon, Naisleu (Belakang Masjid Kodim), Nisani (Benpasi), Tasi (Maumolo), dan Son Oel -Inbate. Air itu akan dimasukkan ke dalam periuk tanah di Tola Feotnaij (rumah adat).
"Saat curah hujan tak menentu, dengan air itu akan dilakukan upacara adat untuk turunkan hujan dan sebagai bahan percikan air berkat untuk para pembawa Maus (Para masyarakat yang membawa padi dan jagung)," jelas Yohanes Sanak.
Bambu dan pinang langsung ditaruh pada sebatang kayu bercabang tiga yang ditancapkan dalam tanah di depan Sonaf. Bagian bawah kayu yang disebut Haumonef itu dikelilingi tumpukan batu yang diatur rapi mengelilingi tiang pohon. Cabang kayu yang di tengah ukurannya lebih tinggi daripada dua cabang lainnya. Posisinya di bagian timur menghadap ke arat barat. Di antara ketiga cabang, diletakkan sebuah batu berbentuk lempeng sebagai tempat persembahan darah hewan kurban.
Upacara Tama Maus
Sesepuh Sonaf Bikomi Maslete, Baltasar Sanak, didampingi penerjemah Bahasa Dawan, Yohanes Sanak mengatakan, setelah satu minggu perjalanan para Tobe dan Meo mengelilingi wilayah Kerajaan Bikomi dan kembali ke Sonaf Bikomi Maslete akan dilanjutkan upacara Tama Maus.
Upacara tersebut, jelas Sanak, dilaksanakan setiap tahun sebagai ungkapan syukur dan terima kasih masyarakat kepada Uis Neno atas hasil panen yang diperoleh. Upacara ini juga untuk memohon berkat-Nya agar musim tanam berikutnya memberikan hasil berlimpah. "Nanti harta yang dipersembahkan masyarakat berupa jagung sebanyak tujuh bulir per kepala keluarga atau padi sebanyak tujuh tanasak. Hanya tujuh, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang," katta Baltasar, dibenarkan Yohanes Sanak.
Disaksikan Pos Kupang, Sabtu (21/1/2017) malam, seluruh warga Pah Bikomi sudah membawa padi dan jagung ke Sonaf. Sebelum memasuki Sonaf, perwakilan keluarga jalan berderetan membawa persembahan. Sebelum masuk Sonaf, diperciki air berkat dan disuguhi makanan yang telah didoakan (tekes) agar panen berikutnya berlimpah.
"Upacara Tama Maus, biasanya didahului dengan upacara rehab rumah adat Tola yang biasanya dilaksanakan pada November," ujar Sanak.
Menjelang upacara Tama Maus, jelas Baltasar, ada satu tahapan lagi yang mendahuluinya, yaitu upacara pengambilan Luma atau upacara pengambilan air berkat yang diambil dari tujuh sumber air keramat. Dalam berbagai upacara adat, termasuk Tama Maus, terdapat dominasi angka tujuh. Contoh lainnya, jelas Baltasar, sebelum hewan kurban persembahan didoakan lalu disembelih, terlebih dahulu pemimpin ritual adat akan mengangkat tangan yang memegang sebuah kasui atau piring tradisional yang terbuat dari daun lontar ke atas sebanyak tujuh kali. (abe)
Sang Pengatur Matahari
PEMERHATI budaya di Kabupaten TTU, Yohanes Sanak, mengatakan, salah satu ritus yang masih hidup dan dipertahankan komunitas adat Bikomi adalah upacara Non Pah yang dilakukan setiap tujuh tahun sekali.
Dalam upacara ini pasukan berkuda berjumlah puluhan orang mengelilingi wilayah Kerajaan Bikomi selama sepekan dengan membawa Pedang Bermata Tujuh (Tap Mese Nes Hitu) yang memiliki kekuatan magis.
Menurut Sanak yang merupakan seorang Usif di Sonaf Bikomi Maslete, pembawa pedang mendapat bisikan atau wahyu untuk mendirikan haumonef sebagai altar penyembahan kepada Apinat-Aklaat, Amo'et -Apakaet yaitu Tuhan. Apinat = Yang Menyala, Aklaat = Yang Membara, Amo'et = Yang Menciptakan, Apakaet = Pengukir atau Pemahat yang membuat alam semesta menjadi indah.
Dikatakannya, haumonef perdana didirikan di Koba Tamnau Lasi (Desa Maurisu Utara), diperkirakan pada tahun 1600-an. Hingga kini fisik bangunannya masih ada meski telah mengalami kerusakan pada beberapa bagian. Secara fisik, kata Sanak, haumonef terbangun dari sebatang kayu bercabang tiga yang ditancapkan dalam tanah. Bagian bawahnya dikelilingi tumpukan batu yang diatur rapi mengelilingi pohon tiang.
Cabang kayu yang di tengah, ukurannya lebih tinggi daripada kedua cabang lainnya. Posisinya di bagian timur menghadap ke arat barat. Cabang yang tertinggi, melambangkan Apinat -Aklaat, Amo'et -Apakaet sang pengatur matahari terbit dan terbenam, lahir dan mati.
Sementara dua cabang lainnya berada di sisi utara dan selatan, melambangkan aina ama (leluhur). Di antara ketiga cabang, diletakkan sebuah batu berbentuk lempeng atau plat sebagai tempat mempersembahkan darah hewan kurban. Makna filosofisnya bahwa manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhan melalui perantaraan arwah nenek moyang atau leluhur.
Sanak mengatakan, pedang magis tersebut dibungkus dengan kain hitam. Demikian pula penunggangnya mengenakan baju berwarna hitam, warna yang melambangkan kesakralan. Di dalam warna hitam (gelap) manusia tak dapat melihat sesuatu, tetapi Apinat -Aklaat, Amo'et -Apakaet dapat melihat dan mengetahui semua ciptaan-Nya.
Pada zaman dahulu, upacara Non Pah dilakukan dengan mengelilingi seluruh wilayah Kerajaan Bikomi yang terbentang dari Bijaele Su'in (batas dengan TTS, Belu dan Insana) di Desa Maurisu Selatan hingga Bijaele Sunan di Desa Manusasi (Batas dengan Naktimun dan Ambeno -Republik Demokratik Timor Leste).
Rute ini kemudian mengalami perubahan ketika Kerajaan Bikomi dibagi menjadi dua, yakni kevetoran pada zaman pemerintahan Belanda yaitu Kevetoran Bikomi dan Kevetoran Nilulat. Upacara ritual adat lainnya yang dilaksanakan secara rutin oleh masyarakat Bikomi adalah upacara Tama Maus.
Upacara ini dilaksanakan setiap tahun sebagai ungkapan syukur dan terima kasih masyarakat kepada Apinat -Aklaat, Amo'et -Apakaet (atau yang sekarang dikenal dengan sebutan Uis Neno) atas hasil panen yang diperoleh sekaligus untuk memohon berkat-Nya untuk musim tanam berikutnya agar memberikan hasil yang berlimpah.
Secara harafiah, jelas Sanak, Tama Maus berasal dari Bahasa Uab Meto, Tama berarti memasukkan dan Maus berarti harta. Jadi, Tama Maus berarti membawa persembahan berupa harta. "Harta yang dipersembahkan masyarakat berupa jagung sebanyak tujuh puler per kepala keluarga atau padi sebanyak tujuh tanasak. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang," ujar lulusan S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut.
Upacara Tama Maus, biasanya didahului dengan upacara rehab rumah adat Tola yang biasanya dilaksanakan pada bulan November. Menjelang upacara Tama Maus, ada satu tahapan lagi yang mendahuluinya yaitu upacara pengambilan Luma atau upacara pengambilan air berkat yang diambil dari tujuh sumber air keramat. Sanak berharap, ritual adat ini tetap dipertahankan oleh masyarakat setempat sebagai khasanah budaya dan warisan bagi anak cucu kelak. (abe)
Bupati TTU Minta Jaga Keasliannya
BUPATI Timor Tengah Utara (TTU), Raymundus Sau Fernandes mengatakan upacara Non Pah merupakan ritus yang unik dan patut dipertahankan sebagai aset wisata budaya di Bumi Biinmaffo.
"Saya sudah omong ini sejak lima tahun yang lalu untuk memproteksi aset budaya yang kita miliki. Yang perlu diperhatikan adalah tetap menjaga keasliannya karena yang namanya peninggalan budaya nilai tambahnya ada pada keasliannya. Jangan diubah-ubah. Harus tetap dijaga agar tetap awet dan terpelihara," tegas Raymundus.
Ia mengatakan, terkait kalender kegiatan pariwisata budaya khusus untuk tradisi Non Pah mulai dari ritual adat sampai selesai harus ditetapkan agar menjadi rujukan pasti bagi wisatawan."Harus ada kepastian waktu sehingga orang luar atau turis mau datang saksikan itu jadwalnya jelas. Tanggal sekian-sekian acara di mana saja. Tidak boleh sesuka hati," tandasnya.
Raymundus mengatakan, tradisi Non Pah dilakukan tujuh tahun sekali. Untuk itu, yang perlu diperhatikan adalah waktu penetapan dan jadwal kegiatan ritual. Para pemangku adat harus menetapkan kalender yang jelas.
"Para pemangku adat harus duduk bersama dan bersepakat untuk menentukan jadwal ritual yang baik. Ini menarik, banyak wisatawan yang akan datang berkunjung," ujarnya.
Terkait penataan Sonaf Bikomi Maslete, demikian Raymundus, sudah berulang kali ditekankan agar tetap mempertahankan keaslian fisik dan non fisik. "Kalau mau mempetahankan keaslian, jangan pakai bahan-bahan bangunan modern. Jangan pakai seng, jangan membawa hal-hal yang berhubungan dengan modernisasi. Karena tidak akan bisa mempertahankan nilai keaslian," imbau Raymundus.
Ia berharap masyarakat TTU bersama-sama menjaga keaslian yang sudah ada di Sonaf Bikomi Maslete. "Kalau mau komitmen, komitmen yang benar. Jangan kita bicaranya baik tetapi tingkah laku berbeda. Saya sangat mendukung," demikian Raymundus. (abe)
Sumber: Pos Kupang 29 Januari 2017 hal 1