Kutu loncat

Kutu Loncat
LUAR BIASA serbuan makhluk yang satu ini. Bayangkan, hanya dalam tempo 2-3 bulan saja, sedikitnya lima juta hektar kawasan lamtoro gung di 23 propinsi se-Nusantara, ludes. Pohon berdaun lebat, rindang, selalu hijau dan gantungan petani-peternak bagi penyubur tanah, pencegah erosi dan bahan pakan ternak sapi unggulan ini, hanya sekejap berubah menjadi tegakan ranting kering. Manfaatnya yang serba guna itu, menjadi hampir tidak berarti. Hanya menjadi kayu bakar.

    Ini gara-gara "kutu loncat", hama yang luar biasa, menyerang dengan sangat eksplosif, luas dan cepat. Di NTT, tercatat sedikitnya 200.000 hektar atau sekitar 80 juta tanaman lamtoro gung punah. Yang tersisa hanyalah kenangan pahit menyakitkan. Seolah-olah kawasan itu tidak pernah ada lamtoro gung. Ada macam-macam bayangan menakutkan seperti kekeringan panjang dan banjir bandang akibat rusaknya terasering lamtoro. Namun,yang paling terpuruk adalah peternak yang sangat mengandalkan daun hijau lamtoro sebagai pakan sapi.

    Di Kecamatan Amarasi misalnya, ribuan ekor sapi paron terpaksa mengunyah ranting kering lamtoro sehingga segera saja sapi-sapi siap jual berharga tinggi itu kehilangan berat badan 50-60 persen, jatuh harga dan memerosotkan ekonomi peternak kecil termasuk tukang jagal. Pemda NTT dan Kabupaten se-NTT pun kena bias berupa merosotnya perolehan Retribusi Ternak. Juga KUD-KUD yang bertahun menikmati rejeki mudah, "fee" ternak dan berkurangnya kunjungan kapal pengangkut ternak ke NTT.

    Jadi, kata Gubernur Ben Mboi saat itu, "perang" melawan kutu-loncat merupakan taruhan "hidup matinya NTT". Di Kabupaten Kupang, "perang pertama" dipusatkan di Kecamatan Amarasi yang warganya sudah sangat lamtoroist, menggunakan pesawat udara dari Brigade Penyemprotan Departemen Pertanian.

    Tetapi "perang" terhadap kutu-loncat rupanya tidak mudah. Karena baru pada hari pertama, muncul "korban". Tersiar kabar bahwa 30 penduduk mati keracunan sehingga 5.000 warga lima desa Kecamatan Amarasi pontang-panting mengungsi ke Kupang, menjubeli kompleks Pasar Inpres Naikoten semalaman.

    Maka keesokan harinya, Danrem 161 Wira Sakti/Komandan "perang lawan kutu loncat", melalui Operasi Flobamora II, tergugup-gagap kena hardikan Panglima ABRI melalui telepon sementara wajah sejumlah staf "itam-blau" kena caci maki Gubernur Ben Mboi. Di Kecamatan Amarasi, Kakanwil Deppen NTT Andi Sipasulta dan Kasdim Kupang Kapten Aribolang pontang panting masuk desa meyakinkan warga desa agar tidak ikut mengungsi ke Kupang.

    Peristiwa di atas hanyalah secuil ilustrasi dari korban peringai dan perilaku "kutu loncat", hanya yang tiba-tiba menyerang secara frontal, menyebar luas dan serentak serta merusak dan menghancurkan lamtoro gung, dambaan dan harapan banyak orang. Serangan eksplosif hama kutu loncat di atas memang sudah berlalu 13 tahun lalu. Namun watak, peringai dan perilaku "kutu-loncat" sesungguhnya masih ada.

    Simak saja rangkaian ribut-gaduhnya Pemilu 1999 yang dikatakan sebagai Pemiu Reformasi. Pergeseran, gontok-gontokkan dan saling jotos di kalangan kontestan Pemilu 1999, nampak sekali mirip perangai "kutu-loncat". Sebagai misal, di dunia politik. Setelah mengenyam enaknya ber-Golkar 23 tahun, tiba-tiba si A sudah menjadi kader partai lain dan menjadi yang paling depan mencaci maki Golkar. Ada yang karena korup dan bodoh lalu tidak dipakai, eh tiba-tiba jadi tokoh partai politik dan tidak tanggun-tanggung menggunakan senjata perusak: isu suku, agama, ras, asal-usul, tidak peduli apapun akibatnya. Segala cara dipakai untuk menggapai semua bidang usaha meski keuangan negara bobol, misalnya. Kasus Bank Bali bisa menjadi contoh. Yang sama di kalangan pers. Watak dan peringai "kutu-loncat", meloncat kesana-kemari sembari bikin "berita-desas-desus", isu dan gosip kumpul envelop, juga tidak bebas. "Jelas toh!!!" (damyan godho)

Sumber: SKH Pos Kupang, Senin 30 Agustus 1999 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes