SEMBARI mencium seorang ibu yang tak dikenalnya, Megawati Soekarnoputri diam-diam menyerahkan sesuatu dari genggamannya. Tak disangka kalau yang diserahkan Megawati itu adalah seutas rosario berwarna putih. Sang ibu yang kemudian diketahui bernama ... Lu Karmo (55) itu adalah salah seorang di antara sekian ratus pengungsi asal Dili, Timor Timur. Si ibu yang tak mengira akan mendapat oleh-oleh itu langsung meneteskan air mata haru sambil melepas kepergian Mbak Mega untuk menemui pengungsi lainnya.
"Drama" singkat yang berlangsung cepat itu disaksikan hanya oleh sedikit pasang mata. 'Aksi' Megawati itu terjadi di tengah kerumunan pengungsi asal Timor Timur di lokasi penampungan pengungsi di Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang pekan lalu.
Bagi umat Katolik Roma, rosario identik dengan penghormatan kepada Bunda Maria, Bunda Yesus, Isa Almasih. Dan, kunjungan Megawati itu terjadi pada tanggal 9 September. Atau sehari setelah tanggal 8 September yang menurut almanak Gereja Katolik, tanggal itu dalam tahun, adalah tanggal bagi Bunda Maria. Umat Katolik Roma sedunia memperingati hari itu sebagai Hari Kelahiran Bunda Mari. Dan, bulan Oktober dalam tahun oleh Gereja Katolik Roma dijadikan bulan khusus sebagai Bulan Maria. Ini ditandai dengan kebaktian khusus sebagai Bulan Maria. Ini ditandai dengan kebaktian khsusus kepada Bunda Maria melalui doa rosario yang dilakukan tiap hari dalam bulan tersebut. Dan, hari terakhir dalam bulan itu, tanggal 31 Oktober, oleh Gereja Katolik Roma dibaptis lagi sebagai hari Bunda Maria yaitu untuk memperingati Bunda Maria sebagai Ratu Semesta Alam, salah satu dari sekian banyak gelar yang diberikan Gereja Katolik Roma kepada Bunda Maria.
Bagi umat Katolik Timtim, Bunda Maria mendapat tempat sangat khusus. Devosi mereka kepada Bunda Maria sangat tinggi. Kalau Anda pernah datang ke Timtim sebelum jajak pendapat lalu, Anda bisa saksikan adanya patung atau gua Maria di rumah atau sekitar rumah sebagian penduduk.
Saya teringat, apa yang dilakukan Megawati mirip dengan apa yang dilakukan pastor-pastor misionaris dari Belanda dulu. Saya teringat, sewaktu kecil, pastor misionaris itu suka membagi-bagikan skapulir (semacam asesori dari logam atau kain bergambar para kudus dengan gantungan bulat kecil untuk dikalungkan di leher) atau juga rosario. Skapulir umumnya diberikankeapda anak-anak sedangkan rosario kepada orang dewasa. Karena adanya kebiasaan seperti itu, maka biasanya pula anak-anak kalau datang kepada pastor suka minta bernika (skapulir).
Mereka tidak minta barang-barang lain. Tapi kebiasaan anak-anak minta bernika tadi beralih kepada minta bolo. Tapi minta bolo ini hanya berlaku di daerah Sikka, sekitar Ledalero-Ritapiret di Flores.
Selain membagi-bagi bernika, sebelum berangkat menuju tanah misi pastor-pastor misionaris itu terlebih dahulu mempelajari budaya, bahasa, tradisi dan adat istiadat masyarakat yang bakal didatangi. Cara itu membuat mereka mudah beradaptasi dan cepat diterima masyarakat.
Apa yang dilakukan pastor-pastor tadi tentu punya nuansa lain dengan apa yang dilakukan Megawati. Kendati demikian, esensinya sama, pendekatan budaya. Dengan menyerahkan seutas rosario bertasbih putih, itu menunjukkan betapa Megawati memahami betul budaya, tradisi keimanan yang melekat kuat pada orang Timtim. Dia datang ke tengah para pengungsi tidak membawa dan membagi-bagikan uang atau materi jasmani langsung kepada mereka seperti yang pernah dilakukan orang-orang tertentu menjelang kampanye Pemilu lalu di NTT. Meski demikian, Megawati juga tahu betul kebutuhan jasmani para pengungsi (pada hari yang sama, sebelum menemui para pengungsi, Megawati menyerahkan bantuan untuk para pengungsi berupa uang tunai senilai Rp 100 juta, dll lewat Pemda NTT)
Ya, kalau Anda ingin kedamaian, ingin persahabatan sejati, ingin 'menaklukkan' orang lain Anda hendaknya tidak membawa pedang, tidak pula dengan menunjukkan rasa superior sebagaimana orang Romawi dulu kala berkata: Si vis pacem, para bellum! tetapi datang dengan membawa 'hati' pendekatan budaya, Ya Megawati 'merebut hati' dengan hati dan empati.
Mengenal dan menghargai budaya setempat itu sering didenggung-denggungkan dan diharapkan banyak orang ketika kita pertama kali mengingak kaki dan menerima saudara-saudara kita di Timor Timur seperempat abad lalu. Tetapi ketika itu kenyatannya lain. Lalu apa jadinya? (marcel weter gobang)
Sumber: SKH Pos Kupang, Senin 13 September 1999 hal 1