Bisakah kita tahu diri?

Damyan Godho
SUATU hari di bulan Agustus 1969 di Ende-Flores, di ruangan kerja Bupati Ende kala itu, HA Aroeboesman (alm). Seperti juga di kabupaten se-Nusa Tenggara Timur, tema pembicaraan yang sedikit hangat diselingi diskusi adalah berkaitan dengan tekad Pemda NTT untuk berswasembada Pangan Tahun 1972. Maklum, tekad Swa Sembada Pangan itu baru dicanangkan bulan April 1969.

Jadi pantaslah jika hal itu menjadi topik pembicaraan luas yang tidak jarang menjadi diskusi yang lalu disertai bermacam nada penilaian. Yang optimis, umumnya ialah mereka yang merasa paling punya andil dalam pencanangan tekad ketika berdebat panjang lebar dalam Rapat Kerja para Bupati NTT April 1969. Mereka berdalih bahwa potensi pertanian di NTT sesungguhnya sangat besar. Betapa besar sih kebutuhan pangan untuk orang NTT, jika daerah pertanian di Manggarai, Ngada dan sumba Barat dapat dijadikan daerah persawahan?

    Tetapi sebaliknya yang pesimis dan ragu-ragu, tidak segan-segan mencap pencanangan tekad itu sebagai kerja orang gila yang rencana bunuh diri. Kata mereka, NTT mempunyai lahan pertanian yang luas, tentu saja betul. Tetapi apakah dalam tempo tiga tahun semua lahan yang ada bisa jadi daerah pertanian produktif? Apakah ada 'lampu aladin' yang bisa menyulap padang savana menjadi sawah? Apakah semua orang NTT mau jadi petani? Apakah cukup tersedia air? Dan macam-macam lagi penilaian, baik yang halus kasar serta membinggungkan.

Di Ende, tidak sedikit warganya yang berpendapat bahwa Ende, kabupaten penghasil kopra bertahun-tahun di NTT ini, juga bisa jadi penghasil pangan. Andalannya, daratan Mautenda dengan areal (calon sawah) paling kurang 5.000 hektar dan air Sungai Mautenda yang sangat besar. Artinya, jika sekiranya dataran Mautenda bisa segera menjadi daerah persawahan

    Maka Bupati Aroeboesman yang sangat memahami kondisi daerahnya, angkat bicara. Dalam pertemuan dengan sejumlah anggota DPRD II Ende dan Tim Peninjau DPRD I NTT, Agustus 1969 di atas, mantan 'Raja Ende" yang mengenal betul wilayah kerajaannya menegaskan perbedaan visinya dengan mereka yang optimis tentang pelaksanaan tekad Swa Sembada Pangan di Kabupaten Ende. Singkat dan sederhana,kata sang "Mantan Raja" ini. "Kita warga Kabupaten Ende, harus tahu diri. Wilayah Kabupaten Ende ini, lebih banyak bukit dan jurangnya. Membikin Mautenda menjadi sawah, diperlukan kerja besar, uang banyak untuk bangun irigasi. Juga waktu membangun irigasi yang harus sangat teknis".

Jadi, lanjut bupati, biarlah Manggarai dan Ngada dijadikan daerah pertanian pangan. Sedangkan Ende, hiduplan dari kelapa sambil menanam tanaman keras perkebunan seperti kakao dan kemiri. Juga mengembangkan  ikan, nelayan dan kelautan, yang dibakati tidak sedikit warga kabupaten Ende bagian selatan serta mendukung upaya membangun transportasi darat/laut yang memadai untuk seluruh Flores.

    Tampak bahwa sikap dan pandangan Bupati Aroeboesman ini sederhana. Dia memang menjadi bupati yang berbeda dengan bupati se-NTT lainnya menggebu-gebu mengejar Tekad Swa Sembada Pangan NTT 1972. Bupati Aroeboesman sebenarnya sangat 'tahu diri'. Bahwa di saat masih susah dana pembangUnan dan kondisi sumber daya manusia yang sangat minim serta berbagai kendala pembangunan lain (maklum, kondisi di awal Pelita 1 Orde Baru 1969 itu), orang haruslah mengukur kemampuan dirinya bagi sesuatu yang sangat sederhana sekalipun. Apalagi, jika menyangkut hal besar, seperti yang berkaitan dengan urusan mati-hidupnya bangsa dan negara.

    Dalam konteks politik hari-hari ini, hal tahu diri ini mencuat kala pimpinan partai politik yang tergabung dalam kelompok Poros Tengah meminta Presiden BJ Habibie untuk mempertimbangkan kembali niatnya untuk menjadi calon Presiden bulan Oktober ini. Para pimpinan Poros Tengah yang antara lain Amien Rais sudah pasti menilai bahwa urusan Negara dan Bangsa Indonesia ke depan nanti terlalu besar dan berat bagi Habibie. Maka sebaiknya Habibie tahu diri dan karenanya tidak usah memaksa diri.

    Dalam kehidupan sehari-hari, dengan ataupun tanpa disadari kita pun sering mengenyampingkan hal tahu diri ini. Yang dilansir banyak orang tentang "politik pakai uang" dalam pemilihan Bupati, anggota DPR/DPRD misalnya, dapat menjadi contoh. Jika ada kesadaran dan tahu diri tentang kepantasan dan kelayakan menjadi tokoh, maka seseorang pasti menjadi tokoh tanpa pakai uang. Sebaliknya, jika ada kesadaran dan tahu diri, orang tidak bakal menerima bayaran dalam menentukan pilihan. Memang menjadi salah satu soal besar di kalangan bangsa kita saat ini. Di tengah ketimpangan yang sangat tajam antara kaya-miskin, iri hati dan culas, nilai persahabatan dan kesetiakawanan serta kejujuran yang rendah, arogansi dan egoisme kelompok dan golongan serta godaan uang dan materi, masih bisakah ditemukan mereka yang tahu diri??? (damyan godho)

Sumber: SKH Pos Kupang edisi Senin 4 Oktober 1999 hal 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes