Tarian Kabasaran di pembukaan Festival Klabat 2013 |
Tema pidato beragam mulai dari objek wisata, cerita adat hingga masalah anak muda. Para siswa terlihat antusias. Ada yang berpidato dengan berapi-api, ada pula yang tampil tenang.
Neta, seorang peserta membawakan pidato dengan dialek Tonsea yang khas yakni suara ditarik-tarik hingga satu kata terdengar panjang. Hal itu membuat penonton tertawa, meski isi pidato Neta sama sekali tidak lucu. Peserta lainnya membawakan pidato tentang objek wisata di Minahasa Utara (Minut) yang butuh pembenahan. Mendengar itu, para penonton yang mengerti bahasa Tonsea tersenyum tipis.
Suasana di Kaki Dian tersebut, kontras dengan yang terjadi di luar sana, banyak anak muda Minut yang sudah tidak paham bahasa Tonsea. Pemerhati budaya Minut Wellem Tangkudung mengatakan, bahasa Tonsea kini hanya digunakan di wilayah Minawerot serta Kecamatan Dimembe. "Itu pun hanya yang berusia di atas 40 tahun, sebagian di antaranya hanya mengerti tapi tidak bisa berbicara," kata Wellem.
Di Airmadidi yang merupakan ibu kota Minut, tidak banyak lagi orang yang bisa berbahasa Tonsea, apalagi Kalawat yang berada dekat Manado. "Ini memprihatinkan," katanya. Menurut Wellem, hal itu disebabkan orangtua enggan mengajarkan anaknya bahasa Tonsea. Di sisi lain, anak pun sudah tidak mau mempelajari bahasa ibunya dengan alasan ketinggalan zaman. Hal itu diperparah dengan tiadanya kurikulum budaya dalam institusi pendidikan. "Padahal, bahasa Tonsea itu penting," tandasnya.
Wellem yang pernah berkelana di luar negeri serta seluruh penjuru Nusantara memiliki banyak pengalaman berbahasa Tonsea di tanah orang. Ceritanya, pernah ia bekerja di suatu tempat di Jakarta. Sebagai penghubung, ia harus berkomunikasi dengan seseorang di tempat lain. Situasi politik kala itu membuat pesan tak bisa disampaikan secara gamblang. Kebetulan, yang akan ia sampaikan pesan adalah orang Tonsea. "Jadilah saya menyampaikan sandi dengan bahasa Tonsea," katanya.
Menurut Wellem, di negara Paman Sam (Amerika Serikat), warga asli Airmadidi di sana tak ragu berbahasa Tonsea. Tak hanya dalam percakapan pribadi, bahasa Tonsea muncul dalam acara resmi atau di perkumpulan. "Itu jadi semacam penanda identitas kita warga Kawanua," kata dia. Wellem mengatakan, kuatnya identitas budaya warga Kawanua di luar negeri membuat mereka dihormati di sana. "Itu karena mereka tak pernah malu dengan budaya mereka sendiri, bahkan banyak warga luar negeri yang tertarik dengan budaya kita," katanya.
Jika bahasa Tonsea banyak digunakan di luar negeri, menjadi ironis ketika bahasa tersebut menjadi tamu di tanah sendiri. "Harus ada gerakan kebudayaan untuk memasyarakatkan bahasa Tonsea. Sasarannya kaum muda, salah satunya lewat pembuatan kurikulum lokal," tuturnya.
Arswendo, sastrawan terkenal negeri ini ketika berada Minut beberapa waktu lalu menyatakan, bahasa Tonsea merupakan bahasa tutur hingga versi lisannya sangat kurang. "Perlu ada pembuatan buku khusus bahasa Tonsea atau kamus bahasa, jika pun jadi mulok, maka perlu lebih banyak pelajaran menulis ketimbang bertutur," katanya.
Adrin Lumangkun, Guru SMP Adven Unklab menyatakan, bahasa Tonsea pernah diajarkan kepada siswa dalam bentuk mulok. "Hanya saja terhenti ketika guru tersebut sakit," katanya. Ia sulit mencari guru bahasa Tonsea.
Bupati Minut Sompie Singal termasuk seorang yang fanatik dengan bahasa Tonsea.
Ia sering memakai bahasa Tonsea dalam sambutannya. Bahkan, pernah ia memakai bahasa Tonsea melulu saat melantik hukum tua (kepala desa). Sompie juga pernah membuat buku kamus bahasa Tonsea.
Ingin mengembangkan bahasa Tonsea di kalangan generasi muda, Sompie mengaku kesulitan mencari guru yang paham bahasa Tonsea. Pada hari lansia beberapa bulan lalu, Sompie berencana menjadikan lansia sebagai guru. "Bisa saja, akan kita coba," ujarnya. (arthur rompis)
Sumber: Tribun Manado 14 November 2013 hal 1