Patung El Tari |
Di bawah terik matahari ditepi Sungai Waesele itu, Sales dengan suara menggelegar dan gaya kerasnya yang khas, spontan menimpati El Tari. "Untuk mereka, untuk NTt, Bung El", kata Sales yang rupa-rupanya paham bahwa "semprotan" El Tari itu bukanlah amarah tetapi kekaguman dan seolah tidak sedang berbicara dengan atasannya yang Gubernur.
El Tari ke Manggarai kala itu dalam rangka mengispeksi wujud pelaksanaan Tekad Swa Sembada Pangan NTT 1972. Tekad "ambisius" yang keberhasilan dan/atau dipertaruhkan dengan jabatan Gubernur hingga Bupati se-NTT ini, mencanangkan Manggarai sebagai salah satu gudang pangan NTT. Maka, logisnya jika tanggung-jawab sang Bupati Manggarai, tidaklah ringan. Mewujudkan tekad Swa Sembada Pangan tanpa uang memadai, tanpa dukungan infrastruktur, tanpa Sumber Daya Manusia, siapa yang bisa? Tetapi Sales yang baru dua tahun menjabat Bupati, seolah ringan-ringan saja.
Seperti juga Bupati lainnya di NTT, Sales yang tidak pernah bermimpi jadi bupati, berpikir sederhana. Untuk bisa jadi gudang pangan, Manggarai pasti bisa. Tanahnya yang luas dan subur seperti dataran Lembor, harus jadi penghasil pangan, padi dan tanaman lainnya. Persoalan itulah yang ada dibenak Sales dan rupa-rupanya membuat El Tari sedih hati ketika berada di tepi Sungai Waesele.
Bayangkan! Tanpa biaya, ribuan warga Manggarai mengempang kedalaman Sungai Waesele sekitar 30 meter dan lebar hampir 40 meter menjadi bendungan. Tanpa alat pengaman, rakyat bergelantungan di ketinggian 10-20 meter memahat batu cadas untuk saluran beberapa kilometer dengan alat sederhana.
Menyaksikan rakyat bergelantungan di ketinggian tepi sungai sambil memahat cadas, sementara ribuan lainnya berkeringat lusuh menimbun batu pengempang Sungai Waesele itulah yang membuat El Tari 'seolah' marah dan menyemproti Sales. Tetapi Bendungan Waesele, bukanlah satu-satunya kerja gila. Karena Sales pun mengerahkan pembanguann lapangan terbang agar Manggarai dekat dengan dunia lain. Maka Satartacik, kemudian Labuan Bajo, jadi Lapangan Terbang. Sales, Bupati Manggarai 1967-1977 ini, dulunya hanyalah Guru Sekolah Guru Olah Raga di Kupang, kemudian antara lain anggota DPRD-GR NTT. Bersama sejawat-politiknya ER Herewila (alm), L. Kape (alm), A. Toelle, GE (alm), yang berlatar belakang pendidikan hanya setingkat SMA masa kini, mereka memperjuangkan berdirinya Propinsi NTT di tahun 1958.
Kini dihari-hari usai Pemilu 1999, banyak kalangan mempersoalkan kemampuan sebagian besar caleg berdasarkan latar belakang pendidikan formalnya. Frans Sales Lega dan sejawatnya membuktikan bahwa untuk menjadi pemimpIn dan tokoh, latar-belakang pendidikan bukanlah syarat utama. Jika ada cita-cita dan semangat mengabdi serta keberanian mengambil risiko untuk orang banyak, siapapun bisa/layak jadi tokoh. El Tari (alm) dan juga tidak sedikit tokoh-tokoh legislatif NTT masa lampau, kiranya menjadi contoh sekaligus panutan bagi calon pemimpin baru hasil Pemilu 1999. Berpikir dan berbuat sederhana sambil berani membuka mata dan hatinya lebar-lebar bagi hari depan masyarakat banyak. (damyan godho)
Sumber: SKH Pos Kupang, Senin 2 Agustus 1999 hal 1