Babe Palar, Diplomat Terbaik yang Pernah Ada

Putri Babe Palar (tengah) di Istana Negara Jakarta 8-11-2013 (ist)
PEMERINTAH pusat melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menetapkan pemberian gelar pahlawan nasional kepada  Lambertus Nicodemus Palar dari Sulawesi Utara sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2013.

Siapakah tokoh ini? Berikut  profil sang pahlawan seperti dituturkan Judie Turambi, Sekretaris Panitia Pengusul yang dihubungi Tribun Manado di Tomohon, Kamis (7/11/2013).

Di luar negeri, sosok Lambertus Nicodemus Palar lebih dikenal dengan panggilan Nic atau Nico. Sedangkan bagi orang Manado lebih akrab disapa Babe Palar. Ayahnya Gerrit Johanes Palar asal Matani Tomohon, dan ibunya Maria Jacoba Lumanauw asal Tondano Kabupaten Minahasa. Babe Palar memiliki dua  orang adik; Nony dan Boy (meninggal sewaktu PD  II). Istri Babe Palar adalah Johanna Petronella `Joke' Vollmers, anak seorang manajer bank dan wartawati Kantor Berita Reuters asal Belanda yang lahir 20 Juli 1912 di Amsterdam.

Palar dan Joke menikah pada 28 Juni 1935 di Amsterdam dan dikarunia tiga  orang anak, yakni Maria Elizabeth Palar (lahir, 29 Oktober 1936 di Belanda), kawin dengan pria India lalu bernama Maria Elizabeth Singh dan menetap di India, dan meninggal 3 Oktober 2013. Anak kedua bernama Maesi Palar, (lahir 17 Juli 1949 di New York) lalu kawin dengan Martowardojo dan kini tinggal di Cibubur Jawa Barat, dan ketiga adalah Bintoar Palar, (lahir 15 Februari 1951 di New York) kini menetap di New York, Amerika Serikat.
Babe Palar

Semasa hidup Babe Palar,  menurut Judie  Turambi,  pernah menjalankan pekerjaan penting, yakni mulai dari menjadi wartawan pada Persdients voor Indonesie, anggota Tweede Kamer  (20 November 1945 - 22 Juli 1947), menjadi  Diplomat/Duta Besar RI pertama di PBB dan menjabat hingga dua   kali serta Dubes di lima negara, yakni di India, Uni Soviet, Jerman Barat, Kanada dan Amerika Serikat.

Sebelum  bekerja, pada tahun tahun 1908-1913 Babe Palar menjadi murid Christelijk HIS (Hollandsch Inlandsche School) `Meisjesschool' (sekolah nona setingkat SD) di Tomohon. Tahun 1913-1919, menjadi siswa Hoofdenchool (sekolah raja/setara SMP) lalu dilanjutkan di MULO (Meet Uitgebreid Lager Ondewijs/setara SMP) di Tondano.  Tahun 1919-1922 masuk `AMS' (Algemeene Middelbare School /setara SMA) afdeling B/jurusan ilmu pasti dan Fisika di Djogjakarta (kini Jogjakarta). Sewaktu sekolah di Djogjakarta, Palar tinggal di rumah Dr Sam Ratulangi yang waktu itu mengajar di AMS  Djogjakarta.

Tahun 1923, Babe  Palar kuliah di Technische Hoogeschool  School te Bandoeng (THS/kini ITB Bandung). Di Bandung, Palar tinggal lagi di rumah Dr Sam Ratulangi dan kuliah jurusan Teknik Sipil satu kelas dengan Soekarno (kelak jadi Presiden RI). Semasa kuliah di THS, Palar yang punya naluri politik bersama Soekarno teman akrabnya, sering menghadiri pertemuan-pertemuan 'Studiegroepen' (kelompok studi) dimana Dr Sam Ratulangi dan Dr Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi) waktu itu guru di Bandung sering menjadi pembicara, mendiskusikan serta menerangkan berbagai persoalan nasionalisme, kolonialisme dan gerakan-gerakan kemerdekaan termasuk mengkritik pemerintahan Hindia Belanda.

Babe Palar yang kemudian memperkenalkan Soekarno kepada Dr Sam Ratulangi, karena Soekarno kagum dan tertarik akan `Algemeen Levensverzekering Maatschappij Indonesia' sebuah perusahaan asuransi milik Dr Sam Ratulangi yang memakai kata `Indonesia'. Namun baru sekitar empat bulan kuliah di `THS' Bandung, Palar jatuh sakit dan berhenti kuliah lalu pindah ke Batavia (kini Jakarta). Tahun 1924, sambil
Maesi Palar Martowardjojo, putri kedua Palar
kerja di `KPM' (Koninklijke Paketvaart Maatschappij /perusahaan pelayaran, kini PT Pelni), sakit Palar kambuh dan cukup lama. Tahun 1925, atas saran dokter, Palar pulang Tomohon. Akhir tahun 1926, setelah sembuh Palar balik lagi ke Batavia, lalu kuliah di `Rechts Hoogeschool' te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum/embrio Fakultas Hukum UI Jakarta).

Di Batavia, Palar mulai aktif berorganisasi dan bersama mahasiswa kedokteran kelahiran Tataaran Tondano Rudolf CL Senduk, keduanya tergabung dalam `SVM' (Studeren Vereeniging Minahasa) yang diberi nama `Jong Minahasa' (lalu Jong Celebes). Pada 30 April - 2 Mei 1926, Palar bersama Stien Adam, Paul Pinontoan, RCL Senduk mengikuti Kongres Pemuda Indonesia I di Gedung Katolieke Yongelingen Bond,  kini di belakang Gereja Katedral Jakarta.




Jadi Buruh di Amsterdam

Menurut catatan yang dikumpul Judie Turambi, Sekretaris Panitia Pengusul Palar sebagai pahlawan nasional, pada pertengahan tahun 1928, Lambertus Nicodemus   Palar ke Belanda (orang tuanya inginkan kuliah Teknik Elektro di Swiss) dan kuliah ekonomi atau sosiologi di Vrije Universiteit te Amsterdam (VU). Tahun 1930, sambil kuliah, Palar masuk Partai Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) yang saat itu sangat progresif menentang kolonialisme dan memperjuangkan Indonesia merdeka di negeri Belanda.

Dia pun aktif sebagai wartawan. Oktober 1933, Palar diangkat menjadi Sekretaris Coloniale Comissie (Komisi Penjajahan), sebuah komisi kerjasama bentukan Partai SDAP dan NVV (Nederlandsch Verbond van Vakverenigingen=Federasi Serikat Buruh Belanda) sekaligus Kepala Persdients voor Indonesie (Dinas Pers untuk Indonesia atau Persindo). Prestasi sebagai anggota partai dan aktivis pergerakan, menghantar Palar dikenal luas di kalangan politisi Belanda sampai dicalonkan (namanya urutan teratas) menjadi Majelis/Dewan Tinggi (Eerste Kamer)  Belanda pada 1937, namun belum terpilih.

Sejak aktif di Partai SDAP, Palar berkenalan dan akrab dengan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir yang berhaluan sosialis demokrat. November 1938, Palar ditugaskan Partai-nya SDAP ke Hindia Belanda (kini Indonesia) untuk perjalanan jurnalistik, mempelajari perkembangan politik dan gerakan buruh di Indonesia serta menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh nasionalis seperti Thamrin, Moh Yamin, Sjariffudin, Sukiman dan organisasi pribumi lainnya. Bersama istri dan anak pertamanya, Palar tiba di Hindia Belanda untuk pertama kalinya setelah 10 tahun hidup di Belanda. Hampir setahun berada di Hindia Belanda, Palar tinggal di Batavia dan Sukabumi di rumahnya dr. RCL Senduk yang masih keluarganya.
Maesi Palar Martowardjojo (kanan)
Pada 10 Mei 1940, sekitar setahun setelah kembali dari Hindia Belanda, tentara NAZI Jerman menduduki Belanda. Akibatnya, pada 13 Mei 1940 Pemerintahan Ratu Wihelmina tinggalkan Belanda pindah ke London Inggris membentuk pemerintahan di pengasingan. Palar dan orang Indonesia lainnya ikut terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah bersama rakyat dan politisi Belanda melawan ekspansi NAZI Jerman.

Keikutsertaannya dalam gerakan bawah tanah Belanda, membuat rakyat Belanda menghormati Palar. Setelah Jerman kalah perang, Palar aktif  lagi di partai-nya namun menemui kesulitan ekonomi untuk menghidupi keluarganya di Belanda. Palar bekerja di laboratorium Van der Waals, menjadi guru bahasa Melayu, buruh pelabuhan di Amsterdam dan pemain juke di grup keroncong.

Selanjutnya 20 November 1945, Palar terpilih menjadi anggota Tweede Kamer (Parlemen Belanda) utusan dari Partai PvdA (Party van de Arbeid/Partai Buruh, sebelumnya bernama Partai SDAP). Saat menjadi anggota parlemen, Palar dibantu istrinya sering propaganda mengenai nasionalisme Indonesia di kalangan rakyat Belanda dan menyebarkan pamplet kemerdekaan Indonesia. Maret 1947, sebagai anggota parlemen, Palar kembali berkunjung ke Indonesia yang kedua kalinya dan selama seminggu bertugas, menjadi tamu Presiden Ir  Soekarno. Kepada Soekarno, Palar mengungkapkan kesetiaan dan konsistensinya memperjuangkan pengakuan Indonesia di Belanda. Tanggal 10-11 Juli 1947, di Tweede Kamer  terjadi perdebatan seru untuk tentukan sikap terhadap Indonesia.

Palar menentang keras penggunaan senjata terhadap RI, berpidato panjang dan menjadi pidato terakhir di DPR Belanda. Pada 21 Juli 1947, terjadi Agresi Militer Belanda I di Indonesia. Sehari setelah aksi militer itu,  putra Tomohon ini meletakkan jabatan partai dan mundur dari anggota Tweede Kamer sebagai protes terhadap sikap Belanda. Palar membawa keluarganya pulang ke Indonesia.

Sumitro Djojohadikusumo sahabat Palar sewaktu di Belanda mengusulkan kepada PM Amir Sjarifuddin, Sutan Sjahrir dan H Agus Salim agar Palar, karena pengalaman politiknya melawan Belanda diangkat wakili Indonesia dalam sidang-sidang di DK PBB.  Bulan Agustus 1947, atas tawaran Sutan Sjahrir (saat itu menjabat Ambassador at Large), Palar diangkat  sebagai Kepala Urusan Indonesia. Setelah itu, Palar ke New York AS dan bergabung dengan wakil-wakil Indonesia di PBB; Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Charles Tambu, Soedjatmoko dan menjadi juru bicara' untuk melanjutkan perjuangan yang telah dirintis Sutan Sjahrir yaitu, pengakuan terhadap RI melalui diplomasi internasional.
Maesi Palar Martowardjojo bersama Gubernur Sarundajang
Delegasi RI saat itu masih status "peninjau" karena belum menjadi anggota PBB. Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda ke II, Ir Soekarno dan Moh Hatta ditangkap Belanda, aksi ini mendapat kecaman DK PBB dan berbagai negara. Mengingat situasi pemerintahan tidak menentu, Palar, Dr Soedarsono, Mr Alexander Andries Maramis ketika itu berada di New Delhi India, lewat telegram dikuasakan Wakil Presiden Moh Hatta dan Menlu H Agus Salim untuk mendirikan Pemerintah Indonesia Dalam Pelarian (Government in Exile), jika usaha Mr Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi tidak berhasil.

Di forum PBB, sebagai politisi dan diplomat, LN  Palar unggul dalam berargumen dengan pihak Belanda setiap terjadi perdebatan. Karena kepiawaiannya berdiplomasi, Palar mampu "menaklukkan" Andrej J Vyshinsky,  Menlu Uni Soviet pada jamuan makan 5 Mei 1950 di Moscow. Saat itu Vyshinsky memberi isyarat akan mem-veto Indonesia jika masuk PBB. Palar berargumen, Vyshinsky akhirnya berjanji kalau Soviet tidak akan veto Indonesia. Misi Palar ke Uni Soviet berhasil. Palar mahir membangun jaringan lalu menjadi teman akrab George C Marshall,  Menlu AS.

Teladan Diplomat


Lambertus Nicodemus Palar alias Babe Palar adalah  tokoh menonjol yang memperjuangkan  dan memerdekakan  Indonesia di forum PBB  di Lake Success New York Amerika Serikat, sehingga pada 28 September 1950, Republik Indonesia diterima secara de jure dan de facto menjadi anggota ke- 60 PBB.

Palar lalu ditunjuk Mohammad Natsir menjadi Kepala Perwakilan Tetap pertama RI di PBB. Pada 29 September 1950, di Markas General Assembly di New York AS, Palar tunjukkan nasionalisme dengan menggerek dan mengibarkan bendera Merah Putih untuk pertama kali dan berkibar di samping 59 bendera negara lain di dunia. Judie Turambi mengungkapkan sampai saat ini, Palar satu-satunya diplomat
Indonesia yang menjadi Duta Besar sebanyak tujuh  kali.

Dia menjadi Wakil Tetap RI pertama di PBB pangkat Dubes/berkuasa penuh (September 1950-1953), Dubes RI di India (Tahun 1953-April 1955), Dubes RI di Uni Soviet rangkap Jerman Barat (1956-1957). :Lalu  Dubes RI di Kanada (Tahun 1957-1962), kembali Wakil Tetap RI di PBB (Tahun 1962-31 Desember 1964) dan Dubes RI di Amerika Serikat (Tahun 1965-1967).
Nama Jalan di Kota Manado

Prestasinya di dunia diplomasi internasional, menjadikan LN  Palar tokoh nasional yang dikenal dan disegani pemimpin dunia seperti John F Kennedy, Lyndon B Johnson (Presiden AS), KE Vorosyilov, Presiden Uni Soviet, Juliana  (Ratu Belanda), Jawaharlal Nehru dan Indira Gandhi (keduanya PM India), Josef Broz Tito, /Presiden Jugoslavia, Carlos P Romulo, Presiden Filipina, U Thant, Sekjen PBB dari  Myanmar,  Andrej J Vyshinsky, Menlu Uni Soviet, Clement R Attlee,  PM Inggris dan para pemimpin Prancis. Di negara-negara Arab, Palar dikenal berjasa memperjuangkan negara-negara tersebut di PBB. Sewaktu Dubes di India, pada Mei 1955 Palar mendampingi PM Ali Sastroamidjojo berkunjung ke Peking RRC dan waktu itu Arnold Mononutu Dubes Indonesia di RRC.

Di dalam negeri, tahun 1950 di Glodok Jakarta, Palar berceramah mendukung perjuangan `Batalyon Worang' (Mayor HV Worang, Kapt DJ Somba, Kapt Rory, Kapt Dolf Runturambi, Lettu. Wim Tenges, Lettu Uttu Lalu, Lettu Wowiling dll). Ketika Dubes di Kanada, Palar ditugaskan PM Juanda selesaikan persoalan Permesta.

Bersama Gustaf A Maengkom (Menteri Kehakiman), Ir. Fred J Inkiriwang (Menteri Perindustrian)  dan Arnold Mononutu (Anggota Konstituante), pada 17 Juli - 5 Agustus 1957 menjalankan misi damai dan temui Letkol Ventje HN Sumual (pemimpin Permesta) di Desa Kinilow Tomohon. Misi damai itu, pada  23 Juli 1957 hasilkan "Persetujuan Kinilow". Kompleks peristirahatan Thermo Mandi (kini Indraloka) Kinilow, jadi tempat perundingan karena markas dari Permesta.

Pada 15 Juli 1964, sewaktu Dubes RI di PBB, Palar menyambut kedatangan KRI Dewa Ruci yang akan mengikuti World Trade Fair di New York dan bertemu dengan kru KRI Dewa Ruci dan ada yang berasal dari Minahasa; Cornelis Kowaas, E.P Runtuwene, Johny Umboh dan Ngantung Jacob Punuh. Pada 7 Januari 1965, Presiden Soekarno pidato di Istora Senayan Jakarta menarik Indonesia keluar dari PBB sebagai protes diterimanya Malaysia menjadi anggota tidak tetap PBB yang saat itu sedang konfrontasi dengan Indonesia.

Untuk 20 Januari 1965, Indonesia resmi keluar dari PBB. Namun, ketika kepemimpinan Soeharto, pada 19 September 1966 Indonesia mengajukan permohonan kembali masuk anggota PBB dan terhitung mulai 28 September 1966, atas peran diplomasi Palar pesan disampaikan langsung kepada U Thant (Sekjen PBB), tanpa menemui kendala dan sangat singkat, Majelis Umum PBB menerima kembali Indonesia dan tetap anggota ke-60.

 Palar pada 10 Januari 1967 di Jakarta, melalui Keppres No. 1/BTK/TH 1967, menerima Tanda Kehormatan Bintang RI Utama dari pemerintah. Tahun 1970, Palar yang menjadi Dubes selama 20 tahun, pensiun sebagai diplomat, pejabat tinggi negara namun masih dipercaya menjadi penasehat senior tetap RI di PBB. Saat Dubes dan pasca pensiun, Palar sering diundang berceramah dan kuliah umum di berbagai universitas di AS dan Kanada seperti; Washington University, Yale University, Harvard University, Glenville State College, Mc Gill University Canada sampai ia dijuluki visiting profesor.

Palar yang berjuang di negeri penjajah Belanda selama 19 tahun adalah sosok pejuang yang tidak pernah surut pergerakan kemerdekaannya melalui konsep diplomasi yang maju. Usahanya mencari dukungan dan pengakuan terhadap Indonesia telah menghasilkan karya besar bagi perjalanan sejarah bangsa dan negara RI yakni berhasil memperkokoh eksistensi Indonesia sebuah negara berdaulat melalui politik diplomasi di forum internasional PBB.

 Palar yang mendedikasikan hampir seluruh hidupnya tanpa henti memperjuangkan kedaulatan dan kehormatan bangsa Indonesia, meninggal pada 13 Februari 1981 (Pukul 02.49 WIB) di RSP AD Gatot Soebroto Jakarta dalam usia 80 tahun 8 bulan. Sesuai keinginannya, diplomat sederhana ini dikubur di Tanah Kusir padahal Presiden Soeharto menghendaki dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Presiden Soeharto, Wakil Presiden Adam Malik dan ibu, hadir melayat di kediamannya di Menteng Jakarta. Sarwo Edhi Wibowo, Radius Prawiro, Mr. Sunaryo (pejuang) hadir ketika jenasah disemayamkan di ruangan Pancasila Deplu RI. Prof Dr Mochtar Kusumaatmaja, Menlu saat itu, bertindak sebagai inspektur upacara pada pemakaman kenegaraan Palar di Tanah Kusir.

Babe Palar,  kata Judie Turambi, sangat dikagumi, misalnya oleh Adam Malik dinilai sebagai Pancasilais sejati. Sedangkan oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal MA, Guru Besar Ilmu Hukum dan Hubungan Internasional Unpad, dianggap sebagai nasionalis tulen, pejuang dan patriot Indonesia yang Pancasilais, diplomat yang jujur. Palar adalah tokoh Teladan Diplomat Indonesia! (warsef abisada)

Sumber: Tribun Manado cetak. Tulisan ini dipublikasikan secara serial tanggal 8-10 November 2013 di halaman 1 Tribun Manado.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes