Lopo (istimewa) |
Pangan yang disimpan dalam lumbung itu merupakan stok terakhir pada puncak musim kemarau bagi warga Dusun Nuut, Desa Nusa, Kecamatan Amanuban Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Musyawarah adat di lopo menjadi proses awal dari semua kegiatan di desa itu. Lopo juga bermakna lumbung karena dalam tata hidup orang Timor, setiap jenis pangan disimpan di lopo.
Lopo dibedakan dari ume kbubu, yang berarti rumah bulat tanpa jendela berbentuk kerucut sebagai tempat tinggal dengan atap sampai di tanah. Untuk memasuki ume kbubu, orang harus menunduk. Hal ini bermakna hormat dan sopan kepada pemilik rumah.
Ketua Adat Dusun Nuut Napoleon Faot memimpin musyawarah adat itu. Ia mulai berbicara, diawali dengan sapaan adat ”Uis Neno” yang berarti Tuhan yang Maha Kuasa.
Tuhan diajak hadir merestui pertemuan itu agar menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan berlangsung dalam suasana aman. Pembicaraan berlangsung dalam suasana penuh persaudaraan, kerukunan, keterbukaan, dan kejujuran.
Apa pun yang diputuskan dalam musyawarah adat harus ditaati warga. Jika ada warga yang melanggar, ia harus menanggung risiko, yang diyakini bisa berupa sakit, gagal panen, atau kutukan adat lainnya.
Istri Faot, Ny Belina Faot, menyodorkan sirih pinang kepada peserta musyawarah. Sirih pinang diedarkan berkeliling. Setiap peserta mengambil bagian mengunyah sirih pinang sebagai tanda kehadiran dengan hati terbuka dan pikiran yang cerdas.
”Tahun ini hasil panen jagung, padi, kacang, dan umbi-umbian kurang memuaskan. Bahkan, ada keluarga yang gagal panen. Jadi, kami putuskan beberapa jenis pangan disimpan, dan juga jumlahnya, bagi tiap keluarga,” kata Faot.
Setelah mengunyah sirih pinang, musyawarah dilanjutkan dengan meneguk minuman khas daerah itu. Setiap peserta musyawarah, termasuk kaum perempuan, mengambil bagian dari ritual ini. Puncak kekeringan
Moses Baun, warga yang ikut musyawarah dan juga anggota Badan Musyawarah Adat Dusun Nuut, menyatakan, ”Hanya makanan tahan lama yang disimpan di lopo. Stok makanan itu diprioritaskan untuk jangka waktu yang relatif lama, yaitu 5-6 bulan ke depan.”
Makanan itu diprioritaskan untuk masa puncak kemarau. Tidak boleh diambil sebelum waktu itu tiba. Sebab, tanaman dan sumber air selalu mengalami kekeringan pada puncak kemarau. Kehidupan terancam.
Baun meminta, melalui peserta musyawarah, agar 145 keluarga di dusun itu menyimpan jagung saja. Setiap keluarga wajib menyimpan 500 bulir jagung. Namun, dimungkinkan pula jika ada keluarga yang menyimpan jenis makanan lain, seperti kelapa kering dan umbi-umbian.
Usulan Baun disetujui 15 peserta yang hadir. Mereka adalah anggota badan musyawarah adat di dusun itu.
Faot pun meyakinkan peserta musyawarah bahwa segala jenis makanan yang masuk ke lopo akan bertahan sampai batas waktu yang diharapkan. Leluhur akan menambahkan jika jumlahnya terbatas dan membuat makanan itu awet, bertahan sampai musim paceklik tiba.
Mince Naitboho, anggota musyawarah adat yang mewakili perempuan di dusun itu, mendukung Moses Baun. Makanan yang disimpan di dalam lumbung tidak boleh diambil. Pintu masuk keluar lumbung tetap dikunci dan orang yang ditunjuk mengambil makanan itu harus mendapat restu dari semua warga dusun.
Mince meminta istri ketua adat, Belina Faot, sebagai penjaga pintu lopo. Permintaan itu disetujui peserta musyawarah. ”Kami minta Mama Belina menjaga pintu karena letak lopo persis di depan rumah ketua adat. Pengawasan terhadap makanan ini lebih terjamin dan makanan ini bisa dimanfaatkan sesuai tujuan,” ujar Mince.
Peserta bertepuk tangan. Pembicaraan semakin seru. Dialog berlangsung dalam bahasa adat ”dawan”, santai, dan akrab. Angkat jagung
Hari itu juga, seusai musyawarah adat, warga beramai-ramai memikul jagung dari rumahnya, dikumpulkan di rumah ketua adat dan diantar masuk ke dalam lopo. Jagung dan makanan lain yang disimpan di lopo haruslah diambil dari hasil terbaik.
Setiap keluarga melaporkan jumlah jagung atau makanan lain yang dibawa ke lopo kepada ketua adat. Anggota badan musyawarah adat menghitung dan mencatat dalam buku dusun.
Jumlah makanan yang diambil setiap keluarga saat puncak musim kemarau disesuaikan dengan jumlah yang disimpan. Jika ada kerusakan, itu pun menjadi milik keluarga yang menyimpan. Jika sebagian jagung tersebut hilang, hal itu menjadi tanggung jawab siapa pun penjaga pintu lopo.
Pangan yang disimpan di lopo tak hanya dikonsumsi, tetapi juga sebagai bibit pada musim tanam berikut. Selain jagung, bibit sorgum pun disimpan di lopo. Sorgum adalah pangan lokal yang sedang dikembangkan di Timor Tengah Selatan setelah lama ditinggalkan.
Praktik menyimpan makanan di lumbung pangan itu berkembang tahun 1970-an. Waktu itu, setiap keluarga memiliki lumbung. Tak hanya untuk menyimpan pangan, lopo juga membangun dialog, kejujuran, dan kebersamaan di antara warga dusun.
Ketua Yayasan Animasi Timor Martinus Krivo, yang mendampingi warga Dusun Nuut, mengatakan, sejak pengadaan kembali lumbung pangan, tidak ada lagi kasus kelaparan di kawasan itu. Warga selalu siaga menghadapi paceklik dengan pangan lokal. (Kornelis Kewa Ama)
Sumber: Kompas.Com