Thomas Bata (2000) |
2. Konon, ayahku lahir di pondok kebun orangtuanya Yosef Dede Dosi dan Maria Badhe Wangge. Sejatinya pasangan Dede dan Badhe tinggal di Wolonio, kampung kecil yang jaraknya belasan km di selatan Ratenggoji.
3. Ayahku Thomas Bata adalah putra bungsu dari istri kedua Dede Dosi. Dia anak kembar. Semuanya pria. Kembarannya lebih dulu dipanggil Sang Pencipta saat usia remaja. Total anak Dede Dosi 18 orang dari dua istri. Istri pertama namanya Polu Sawa.
4. Thomas adalah satu-satunya putra Dede Dosi yang sempat mengenyam pendidikan dasar di zaman kolonial Belanda dan Jepang. Salut buat kakek dan nenekku yang masih buta huruf itu. Mereka sempat sekolahkan ayahku.
5. Sekolah membuka cakrawala ayahku. Dia kemudian berjuang keras agar terus sekolah sampai level tertinggi yang bisa diraih pada masanya.
6. Ayahku rela menjadi pencuci piring dan kakus di rumah pengusaha Tionghoa di Ende agar dia bisa terus sekolah. Dia bahkan mau menjadi pembantu rumah tangga di rumah Yan Sali di Boawae demi menikmati pendidikan Sekolah Guru Bawa (SGB).
7. Tamat SGB Boawae, ayahku masih bernafsu untuk studi lanjut. Sambil mengajar SD di Kota Ende,dia lanjut sekolah di SGA (Sekolah Guru Atas) di Ndona dan tamat tepat waktu. Tak puas sampai di situ, Thomas kuliah di Universitas Nusa Cendana (Undana) Cabang Ende. Tekadnya waktu itu meraih gelar sarjana hukum. Apa daya belum tuntas kuliah dia sebagai guru PNS dimutasikan ke kampung yang jauh dari Ende. Kuliah putus di. tengah jalan.
8. Mutasi ayahku ke kampung di Lio Timur pada awal tahun 1970-an, konon karena penguasa waktu itu merasa terganggu dengan kiprah Thomas Bata sebagai guru muda (aktivis buruh) yang vokal bicara di forum-forum umum. Apalagi dia aktif dalam organisasi buruh. Ayahku pun pengagum Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno.
9. Bekerja tanpa neko-neko. Taat asas, lurus, sesuai rule of the game. Itulah prinsip hidup ayahku Thomas Bapa. Saking taatnya pada nilai tersebut, Guru Toma atau Guru Bata, demikian dia biasa disapa, kerap dicap sebagai orang yang kaku. Bahkan super kaku.
10. Dia bahkan dianggap orang yang pelit karena tidak sembarangan mengeluarkan uang. Thomas Bata dengan penghasilan sebagai guru yang minim amat, mengeluarkan uang dengan cermat. Uang hanya untuk kebutuhan, bukan keinginan. Itupun pakai skala prioritas.
Di Watuneso awal tahun 1980-an |
11. Fokus Thomas Bata investasi pendidikan. Kami enam bersaudara menikmati pendidikan terbaik pada masa kami. Empat anaknya bergelar sarjana, dua orang lulusan pendidikan selevel SMA. Luar biasa sukses bila dibandingkan dengan guru SD seangkatannya atau lebih senior atau yunior daripada dia. Setidaknya di wilayah Watuneso (Lio Timur) orang tahu kesuksesan Guru Thomas Bata menginvestasikan pendidikan bagi anak-anaknya. Sukses bukan dalam artian kaya materi!
12. Dalam hal mengelola keuangan, ayahku mencatat dengan rapi pendapatan dan pengeluaran. Hukum akutansi dia terapkan dengan disiplin. "Saya catat semua supaya pengeluaran terkontrol dengan baik," kata ayahku saat saya iseng bertanya padanya mengapa semua hal dicatat. Nah, gen ini rupanya menurun pula pada anaknya. Si bungsu dan sulung itu mewarisi bakatnya.
Ayah dan Ibuku |
13. Mencatat segala hal. Begitulah ciri khas Thomas Bata. Dia mengoleksi buku tulis besar beberapa buah. Ada yang khusus soal keuangan, catatan tentang tanah dan sejarahnya, soal adat-istiadat, ada yang berisi masalah pendidikan, gereja, dll. Ayahku rajin mencatat. Hampir tiap hari dia menulis. Tulisan tangannya rapi dan mudah dibaca. Jadi titisannya itu menurun pada diriku ini yang memilih jalan hidup sebagai wartawan dan penulis. Hahahaha....
14. Waktu saya meniti karier sebagai wartawan sejak masih di semester 3 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Nusa Cendana (Kupang), ayahku bilang begini: "Kau yakin? Bapa lebih senang Dion jadi pegawai negeri." Saya jawab sekenanya saja waktu itu. "Bapa, biar saya coba lakoni dulu profesi ini. Siapa tahu nanti lebih terkenal dari Bapa sebagai guru. Toh Bapa juga ikut bangga to?" Ayahku ngakak.