 |
Dion DB Putra, cucu Rasi Leu |
Oleh Dion Dosi Bata Putra
WODA Rasi adalah putra bungsu Rasi Leu, generasi keempat sejak
kedatangan dari Malaka. Rasi Leu memiliki enam orang anak yaitu Pati,
Mboti, Mali,Ngeo. Bao dan Woda. Jika kelima saudaranya yang lain menetap
di Wolowaru Wawo (rumah adatnya masih tegak berdiri sampai sekarang),
Woda Rasi lebih suka bertualang ke arah utara dan timur.
Masa hidupnya lebih lama di hutan rimba, baik untuk berkebun, mengiris
tuak atau berburu. Karena jarang pulang ke rumah, termasuk bila ada
acara besar keluarga, Woda Rasi selalu mendapat bagian bupa `muku sa
wunu, au salaru."
Woda Rasi pada masa itu dikenal sebagai pemberani dan berkali-kali
menaklukkan suku lainnya di Lio Timur, Kabupaten Ende sekarang ini.
Salah satu kisah kepahlawan Woda Rasi adalah saat dia "wika"" (merebut
atau mendapatkan tanah Waru Jeja). Lokasi tanah itu kini di wilayah Desa
Detupera dan sekitarnya.
Kisahnya demikian. Pada suatu hari ketika Woda Rasi sedang berburu di
kawasan hutan Nonu Bua dan Nenda - di sebelah utara Kampung Wololele A
sekarang, Woda menemukan sebatang pohon enau yang anak aneh. Pohon enau
itu memiliki tiga mayang yang bentuknya sangat bagus untuk diiris
menjadi tuak, aren (moke).
Lazimnya enau mengeluarkan satu atau dua mayang, itupun bentuknya
kecil-kecil. Tapi enau yang ditemukan Woda memiliki mayang yang besar
dan berbulir padat. Karena sifatnya yang berani dan suka tantangan, Woda
memutuskan mengiris moke tersebut. Ketiga-tiganya diiris semuanya.
Selang tiga hari kemudian, irisannya mengeluarkn aren yang manis dalam
jumlah berlimpah.
Beberapa hari berselang ketika dia datang pagi hari untuk mengambil aren
yang ia tamping dengan seruas bambu, bambunya tak ada isi sama sekali.
Ia hanya menemukan tetesan aren yang tumpah di pangkal pohon enau. Woda
bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan yang mengambil aren
milikku ini? Kejadian serupa terus berulang hingga tiga hari kemudian.
"Aku harus menunggui pohon enau ini, aku harus tahu siapakah
sesungguhnya yang mencuri," Woda bergumam dalam hati.
Pada malam itu juga dia tidur di sekitar pohon enau tersebut. Dia tidak
kembali ke pondoknya yang berjarak sekitar 2 km dari pohon enau
tersebut. Keesokan harinya saat matahari terbit di ufuk timur, Woda Rasi
bangun dan bersembunyi di balik pohon ara besar dekat pohon enau. Tidak
lama kemudian Woda melihat ada bayangan yang mendekati bambu yang dia
gantung di pohon enau. Bayangan itu berwarna pelangi yang sekilas
terlihat seperti tiga ujud. Tetapi tidak dalam bentuk atau rupa manusia
biasa. Dengan mata telanjang, Woda Rasi melihat ketiga bayangan pelangi
itu meminum aren dengan lahapnya.
"Oo. sekarang saya sudah tahu. Jadi kaulah yang minum arenku sampai
habis. Saya yang iris, kau yang minum hasilnya. Kau harus saya bunuh,"
teriak Woda dengan suara lantang sambil keluar dari tempat
persembunyiannya. Woda pun menghunus pedang dan menyiapkan anak panahnya
untuk ditembakkan ke arah bayangan pelangi tersebut.
"Memang benar kamilah yang selama ini minum kau punya moke (aren). Dan
kami melakukan ini dengan sengaja agar kami bisa bertemu dengan dirimu.
Ada sesuatu yang akan kami berikan kepadamu," kata bayangan pelangi.
Mendengar kata-kata tersebut, Woda Rasi mengurungkan niatnya melepaskan
anak panah.
Bayangan pelangi selanjutnya berpesan kepada Woda Rasi supaya pergi ke
Nusa Toe di Pantai Lia Tola tujuh hari berikutnya. "Di sanalah kami akan
memberikan sesuatu untukmu," kata bayangan pelangi.
"Tapi apa tandanya bagi saya bahwa kalian tidak berbohong," kata Woda.
Bayangan pelangi minta Woda Rasi memotong kayu bercabang dua. Kayu
bercabang dua itu dimasukkan ke dalam gua yang disebut Ola Ngai. "Inilah
tandanya bagimu. Jika kau sampai di Pantai Lia Tola dan menemukan kayu
bercabang dua, maka kami ada di sana," kata bayangan pelangi. Woda
mengikuti saran itu dan secara tiba-tiba bayangan pelangi menghilang
entah ke mana. Woda Rasi pulang ke pondoknya.
Tujuh hari kemudian pergilah Woda ke Pantai Lia Tola yang jaraknya
sekitar 12 km dari pondoknya. Dalam perjalanan itu, Woda tetap membawa
perlengkapan senjata seperti parang, busur dan anak panah. Woda Rasi
meninggalkan pondoknya dengan modal obor sebelum fajar menyingsing atau
kira-kira jam empat subuh. Dia turun dari lereng Nonu Bua melewati
Kampung Wolobheto, Wololele Loo, terus menyusur pinggir sungai Lowo Ria
lewat Detupera, Aemalu, Puujita, Watuneso, Kolijana hingga tiba di
Pantai Lia Tola kira-kira jam 09.00 pagi.
Sesampai di sana dia langsung mencari kayu bercabang dua yang menjadi
tanda kehadiran bayangan pelangi. Dia tidak membutuhkan waktu lama.
Setelah menemukan kayu bercabang dua itu, Woda berteriak, "Sekarang saya
sudah datang, di manakah kalian? Tunjukkan diri kalian kepadaku."
Tiba-tiba Woda mendengar suara nyaring dari arah laut."Kami di sini, di
Nusa Toe. Datanglah ke sini, kami akan memenuhi janji kami kepadamu,"
demikian suara itu yang langsung dikenal Woda. Nusa Toe adalah sebuah
pulau karang kecil yang letaknya persis di depan Pantai Lia Tola. Ajakan
suara pelangi untuk datang ke Nusa Toe dianggap Woda Rasi sebagai cara
memperdayainya. "Kalian jangan mempermainkan saya. Saya orang gunung,
tidak bisa berenang. Bagaimana mungkin saya bisa mencapai Nusa Toe,"
kata Woda Rasi dengan suara tinggi.
"Jangan takut dan cemas. Datanglah ke mari dengan berjalan kaki. Kau
tidak akan tenggelam," jawab bayangan pelangi. Woda merasa gamang dan
ragu-ragu sehingga bayangan pelangi meyakinkan sekali lagi. Woda
berpikir kalau dia mundur, maka perjalanan jauhnya akan sia-sia saja.
Dia pun tertantang dan memberanikan diri masuk laut dan siap menerima
apapun risikonya. Maka berjalanlan dia menuju Nusa Toe, karang atol
dengan puncak mirip kerucut itu. Kecemasan Woda tidak menjadi
kenyataan. Dia sampai di Nusa Toe dengan selamat. Saat Woda berjalan ke
Nusa Toe. Sejumah nelayan yang sedang membersihkan jalanya di pinggir
pantai bergumam, orang ini nekat!!
Sesampainya di Nusa Toe Woda disambut ramah bayangan pelangi yang telah
berubah wujud menjadi manusia normal. Setelah berbasa-basi sejenak dan
minum, bayangan pelangi mengajak Woda Rasi masuk ke dalam laut
bersama-sama. Woda tidak takut lagi. Ketika masuk ke dalam laut, Woda
merasakan perjalanan yang sangat menakjubkan. Woda seolah bermimpi.
Mereka berenang dan menyelam sampai ke dasar laut terdalam.
Di sana bayangan pelangi mengambil kerang mutiara dan memberikan kepada
Woda. Kerang mutiara (wuli dalam bahasa Lio), merupakan biota laut yang
langka. "Dengan wuli ini, kau akan mendapat berkat asalkan digunakan
secara benar, bukan untuk kejahatan terhadap sesama manusia," kata
bayangan pelangi ketika mereka hendak berpisah di Nusa Toe. Woda Rasi
mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.
Setelah mengumpulkan sekeranjang kecil siput di Pantai Lia Tola,
pulanglah Woda Rasi ke kampungnya dengan langkah gagah dan tegap. Woda
Rasi merasa mempunyai kekuatan dan semangat hidup yang baru. Wuli
pemberian bayangan pelangi dikalunginya di leher. Rupanya wuli itulah
yang mengantar Woda mendapatkan tanah Waru Jeja. Dan inilah kisah
lanjutannya.
Dalam perjalanan pulang ke pondoknya dari Lia Tola, Woda Rasi melintasi
perkampungan sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Lowo Ria mulai dari
Kolijana, Watuneso, Kopo Watu, Puu Jita,Aemalu dan Waru Jeja.
Sesampainya di kampung Waru Jeja yang sedang berlangsung acara adat
sehingga banyak orang berkumpul, Woda Rasi menghadapi cobaan berat.
Saat dia melintasi kampung itu, pandangan orang-orang tertuju kepadanya.
Mereka melihat penampilan Woda Rasi dengan pakaian kebesarannya
dilengkapi senjata parang dan panah. "Sombong betul orang itu. Dia
seperti jagoan sehingga jalan di kampung orang juga masih bergaya," kata
mosalaki kampung itu. Matanya terus tertuju ke Woda yang berjalan
pulang ke pondoknya. Saat Woda Rasi hampir mencapai ujung Kampung Waru
Jeja, mosalaki itu bergegas menyusulnya. Mosalaki ini hendak mencobai
Woda Rasi.
"He eja. pulang dari mana dan mau ke mana?" sapa mosalaki itu ketika ia
mendekati Woda. "Saya pulang mencari siput di Pantai Lia Tola," jawab
Woda sambil terus melangkah. "Sabar dulu eja, istirahatlah sebentar di
sini," kata mosalaki. "Maaf eja, hari sudah beranjak senja, saya harus
melanjutkan perjalanan karena kampung masih jauh di gunung," kata Woda.
Walaupun tawarannya ditolak, mosalaki it uterus berusaha menahan Woda
Rasi. Lantaran Woda tidak peduli dengan ajakannya, mosalaki yang sejak
tadi menahan geram karena menilai Woda bersikap sombong, mulai
mengeluarkan jurus cobannya.
"Saya sudah tahu bahwa eja memang orang hebat dan jagoan. Eja punya ilmu
tinggi sehingga eja selalu bersikap sombong dan angkuh. Tapi kalau eja
benar-benar hebat, coba tunjukkan kepada kami di kampung ini," kata
mosalaki. Hati Woda tergelitik juga dengan pernyataan yang memancing
ini. Woda tetap berusaha tenang. "Mungkin eja salah dengar, saya hanya
orang biasa. Saya ke Lia Tola semata-mata untuk cari siput dan masak air
laut untuk garam,"kata Woda. Namun, mosalaki it uterus memanas-manasi
Woda dengan tantangannya yang lebih serius.
"Kalau kau benar-benar seorang lelaki, harus terima tawaran saya ini.
Jangan jadi pengecut eja. Kalau kau berani lompat `musu mase' kami itu,
kau berhak atas kampung ini dan seluruh lahan tanah yang kami miliki.
(musu mase= menhir, tiang batu lonjong yang dipancang di tengah
kampong). Kalau eja tolak, berarti eja harus kami habisi," kata mosalaki
sambil bercakak pinggang. Tantangan si mosalaki didengar orang seluruh
kampung yang sejak tadi mengerumuni kedua orang ini.
Karena tawaran itu sudah ketiga kalinya, Woda pun memutuskan untuk
menerima. "Baiklah, saya coba akan melompat musu mase itu," kata Woda
Rasi sambil berjalan ke musu mase yang berada di tengah kampung. Tinggi
musu mase itu kurang lebih 7 meter. Mata orang-orang di Kampung Waru
Jeja tertuju kea rah Woda Rasi. Mereka bertanya-tanya adalam hati apakah
pria ini sanggup melompat melewati musu mase yang berdiri menjulang di
tengah kampung.
Sampai sekitar dua meter dari musu mase, tanpa aba-aba Woda langsung
melompat melewati puncak musu mase.Woda Rasi melompat bolak-balik
sebanyak tiga kali tanpa melepas parang dan busurnya. Orang-orang di
kampung itu melihat Woda seperti terbang melewati musu mase dan badannya
ringan seperti burung. Mereka terheran-heran dan membelalakkan maata
seolah tak percaya dengan apa yang barusan mereka lihat.
"Orang ini benar-benar punya ilmu tinggi," kata orang Waru Jeja. Mereka
tidak tahu kalau ilmu itu berupa wuli yang baru saja Woda terima dari
bayangan pelangi di Nusa Toe. Setelah sukses melompat musu mase, Woda
meninggalkan kampung itu tanpa berkata sepatah katapun. Dengan gayanya
yang cuek berat, Woda melanjutkan perjalanannya kembali ke pondok di
gunung. Sang mosalaki yang tadinya banyak berceloteh diam seribu bahasa.
Ia hanya sanggup melihat kepergian Woda dengan langkah tegap dan gagah
hingga menghilang di ujung Kampung Waru Jeja.
Sepeninggal kepergian Woda, sejumlah orang di kampung itu dilanda
ketakutan terutama kaum wanita dan anak-anak. Mereka menyadari bahwa
Woda menjawab tantangan mosalaki sehingga kampung itu harus dikosongkan
karena sudah menjadi milik Woda Rasi. Namun, sang mosalaki mengatakan
warga sukunya tetap tenang karena tidak akan terjadi apa-apa. Menurut
mosalaki, dia dan semua kaum lelaki di kampung itu siap menghadapi Woda
yang ia tahu tidak punya banyak saudara.
Woda sendiri berjalan sampai di Kampung Wololele Loo kemudian
beristirahat di tempat itu. Wololele Loo berjarak sekitar 2,5 km dari
Kampong Waru Jeja dan berada di daerah perbukitan. Dari kampong ini Waru
Jeja yang berada di lembah, di pinggir kali Lowo Ria terlihat jelas
demikian pula sebaliknya dari kampung Waru Jeja bisa melihat sayup-sayup
ke Wololele Loo.
Saat beristirahat di tempat itu Woda Rasi menghisap tembakau dan
bersandar pada sebatang pohon. Ia mulai menyusun strategi. Ia berpikir
bahwa pengosongan Kampong Waru Jeja harus segera direalisasikan sesuai
janji si mosalaki. Kalau menunda selama beberapa waktu artinya member
kesempatan kepada mosalaki Waru Jeja menyusun kekuatan guna
mempertahankan tanahnya. "Hari ini juga mereka harus meninggalkan
kampong itu dan seluruh lahan pertanian mereka," gumam Woda membatin.
Woda membuat petasan bambu yang dari jauh akan terdengar seperti bunyi
tembakan. Pada masa itu buah damar sudah dipakai sebagai bahan untuk
obor dan api. Buah damar kering tidak sulit diperoleh di sekitar kawasan
Wololele Loo. Dengan buah damar, ia membuat petasan bambu.
Ia membunyikan petasan sebanayak tujuh kalidan terdengar jelas
orang-orang di sekitar Kampung Wololele Loo. Pada masa itu bila
mendengar bunyi seperti itu berarti ada peperangan. Woda sengaja
membunyikan itu sebagai tanda ada perang. Beberapa saat kemudian tibalah
di sana enam orang dari daerah sekitar. Mereka itu merupakan
teman-teman Woda yang yakin bahwa pada subuh tadi hanya Woda yang keluar
dari kampong. Setibanya di Wololele Loo, dugaan enam orang itu terbukti
benar.
Saat kenam pria itu datang, Woda menceritakan apa yang baru dialaminya
dan menjelaskan strateginya untuk membalas tindakan mosalaki Waru Jeja.
"Saya punya cara yang membuat orang-orang Waru Jeja itu meninggalkan
kampungnya. Sekarang saya minta tolong kalian buatkan bambu untuk obor
sebanyak 14 buah," kata Woda. Mereka segera memenuhi permintaan Woda.
Mereka bertanya-tanya dalam hati apa gerangan yang hendak Woda lakukan
dengan obor sebanyak 14 buah itu? Ketika hari menjelang malam kira-kira
pukul 19.00, Woda
meminta mereka menyalakan 14 obor itu dengan olesan minyak buah damar.
"Kita masing-masing pegang dua obor. Kita masing-masing pegang dua obor
di tangan kiri dan kanan, obor diangkat setinggi mungkin. Kita turun
bersama-sama dari bukit Wololele Loo ini sampai di lembah itu yang
jaraknya sekitar 200 meter. Sampai di lembah itu, kita berhenti dan
matikan obor lalu naik lagi ke bukit sini.Obor kita nyalakan lagi dan
turun lagi ke lembah. Kita lakukan ini bolak-balik sebanyak tujuh kali.
Percayalah, dengan cara ini orang Waru Jeja akan melihat ratusan orang
turun dari sini menuju kampung mereka," kata Woda Rasi. Keenam
sahabatnya mengangguk-anggukkan kepala. Sekarang mereka baru mengerti
strategi yang dimainkan Woda Rasi.
Di Kampung Waru Jeja, orang-orang di sana melihat jelas nyala obor di
bukit Wololele Loo. Si mosalaki pun serius memperhatikannya. Mula-mula
ia merasa biasa saja karena jumlah obor hanya 14 artinya hanya 14 orang
yang turun dari bukit itu. Boleh jadi orang-orang itu hendak ke kampung
terdekat seperti Wolo Mage dan Detu Rau. Tapi lama kelamaan ia mulai
merasa cemas karena jumlah obor yang turun dari bukit itu
sambung-menyambung dalam jumlah banyak (7x14 = 98). Mosalaki mulai
berpikir bahwa orang-orang Woda Rasi sudah mengepung kampung mereka dari
berbagai penjuru.
Ketika hitungan mereka jumlah obor yang turun dari bukit itu sudah
melewati angka 70, sebagian warga Waru Jeja mulai lari meninggalkan
kampung dengan membawa barang seadanya. Suasana kampung yang berada di
tanah datar di pinggir Sungai Lowo Ria itu panik dan mencekam. Kaum
perempuan dan anak-anak menangis histeris.
Tak ada pilihan lain bagi si mosalaki untuk memerintahkan warganya
segera meninggalkan kampung. Mereka menyalakan obor dan lari ke arah
timur dan selatan. Mengungsi adalah pilihan terbaik saat itu. Dari
ketinggian bukit Wololele Loo, Woda dan keenam rekannya melihat suasana
huru-hara itu.
Pengungsian warga Waru Jeja akhirnya sampai ke daerah sekitar Paga dan
Maulolo (wilayah Kabupaten Sikka sekarang). Di sanalah mereka menetap
dan berkembang biak. Untuk mengenang kampung asalnya, di daerah baru itu
nama kampong mereka diabadikan, misalnya Kampung Mase Bewa, Puu Bheto,
Wolofeo dan lain-lain.
Sementara itu ketika menyaksikan orang Waru Jeja meninggalkan kampung,
Woda dan keenam rekannya menyaksikan dengan perasaan bangga, lucu
bercampur haru. Woda tersenyum tapi hatinya merasa iba karena
kesombongan mosalaki justru mengorbankan warga kampungnya. "Itulah kalau
orang angkuh. Saya tidak bermaksud mengusir mereka. Itu karena
kesalahan pemimpin mereka sendiri. Cara yang saya pakai ini merupakan
keputusan hati saya yang tidak menginginkan terjadi pertumpahan darah,"
kata Woda kepada enam saudaranya. Woda mengisap tembakaunya dalam-dalam.
Sejak pengungsian warga Waru Jeja itu, lokasi kampung dan tanah
pertanian milik mereka selanjutnya menjadi milik Woda Rasi yang dia
wariskan kepada anak cucunya sampai sekarang. Di bekas kampung itu masih
berdiri musu mase, cuma sudah terpotong separuhnya. Mungkin karena
termakan usia. *
Di
sini kutulis tentang asal-usulku. Juga kucatat penggalan-penggalan
kisah leluhur. Aku bagian dari darah daging mereka yang ada dan mengalir
adanya hingga anak cucu Lise mendatang.
Dion Dosi Bata Putra
Embu
Woda, Ana Mbete, Wewa Tani Woda, Mamo Ngaba Tani, Benge Dede Dosi,
Putra Bata. Gelombang yang tiada henti bergelora dalam arus zaman.