Tampilkan postingan dengan label Dion DB Putra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dion DB Putra. Tampilkan semua postingan

Drama Uang Sekolah



Mirip drama dengan klimaks yang mudah ditebak. Lepas isu panas sekadar tes ombak. Kalau bergolak riuh bos turun tangan. Bila adem ayem ya jalan terus.

Begitulah penggalan cerita tentang kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri. 

Hampir sebulan uang sekolah menjadi buah bibir masyarakat dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote karena angka kenaikannya dipandang tidak wajar. Mencekik leher.

Betapa tidak. Di tengah gejolak ekonomi bangsa ini  yang tak kunjung membaik sejak dihajar pandemi Covid-19, perguruan tinggi negeri ramai-ramai meminta persetujuan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim untuk menaikkan UKT.

Angka kenaikan UKT yang diusulkan bervariasi. Tetapi secara umum mengalami peningkatan signifikan. Setiap perguruan tinggi negeri menyampaikan alasan mereka masing-masing. 

Riuh rendah suara protes di berbagai penjuru negeri. Ada pula yang turun beraksi lewat demo meskipun berskala sedang.

Cukup lama pemerintah diam seribu bahasa. Tak merespons gejolak UKT. Akhir cerita terjadi di hari Senin 27 Mei 2024. Setelah memenuhi panggilan Presiden RI Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Nadiem Makarim mengumumkan kenaikan UKT batal.

"Kami telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT di tahun ini dan kami akan merevaluasi semua permintaan kenaikan UKT dari perguruan tinggi negeri," kata Nadiem.

Nadiem mengatakan keputusan membatalkan kenaikan UKT diambil setelah pihaknya mendengar aspirasi masyarakat, mahasiswa, dan keluarga. Menurut Nadiem, kenaikan UKT harus mempertimbangkan asas keadilan. 

"Sekali lagi terima kasih kepada seluruh unsur masyarakat, mahasiswa, para rektor dan lainnya yang memberikan kita berbagai macam masukan," ujarnya.

Kita mengapresiasi keputusan pemerintah meski disertai pertanyaan mengapa sangat lama baru memutuskan? Kuat kesan pemerintah melempar wacana tersebut untuk mengecek reaksi masyarakat. 

Kalau mereka diam-diam saja berarti jalan terus. Padahal pemerintah pun  tahu kondisi ekonomi saat ini. Tega nian.

Setelah Nadiem ketok palu, masyarakat dan para wakil rakyat di Senayan hendaknya tidak tinggal diam. Kawal terus agar tidak muncul drama berikutnya. 

Jangan-jangan hanya soal waktu. Kenaikan UKT akan terjadi juga. Mungkin dalam waktu dekat. Tak ada yang tahu pasti.

Tuan dan puan juga beta prinsipnya tidak menolak kenaikan uang kuliah di perguruan tinggi negeri. Silakan naik asal wajar dan mempertimbangkan asas  keadilan dan kondisi sosial ekomi masyarakat seperti dikatakan Mendikbudristek sendiri. 

Kecemasan terbesar kita adalah komersialisasi pendidikan itu nyata, bung! Bahkan makin menyala di banyak tempat di persada Nusantara.  (dion db putra)

Sumber: Pos Kupang

Ibu yang Malang


Dion dan Bukunya
Inggris adalah tanah air sepak bola, ibu yang melahirkan cabang olahraga terpopuler di Bumi. 

Seluruh dunia tahu tentang hal itu secara baik. Sejarah bola mencatatnya dengan tinta emas dan segala orang menerima tanpa prasangka. 

Tetapi Inggris adalah ibu yang malang, dan tidak bahagia. Ibu yang kesepian karena sang anak pergi sangat lama, bertualangan terlampau jauh hingga ke mana-mana. 

Begitu mesra mengasihi dan dikasihi oleh segala bangsa, sehingga ia lupa pulang ke pangkuan  ibu kandung yang melahirkannya.

Memang, pada suatu penggalan masa yang sudah lama sekali, anak bandel itu sempat pulang ke pangkuan ibunda. Tahun 1966, Britania yang menjadi tuan rumah World Cup menyanyikan tembang football coming home. 

Koor itu sungguh terbukti ketika Geoff Hurst dkk menumbangkan Jerman Barat 4-2 pada final tanggal 30 Juli 1966. Jules Rimet, trofi resmi Piala Dunia 1966 direbut Inggris. 

Sri Ratu Elizabeth II  yang hadir di  Stadion Wembley mengucapkan selamat, seluruh rakyat Inggris larut dalam pesta. Pelatih Alf Ramsey dipuja laksana dewa.

Namun, pesta itu hanya berlangsung sekali dan begitu cepat berakhir. Hari berganti, musim berlalu, bulan dan tahun terus bergulir, tapi prestasi Inggris tak lagi mencapai langit. 

Sebagai ibu kandung, segala cara sudah ditempuh agar sang anak betah di rumah sendiri. Ironisnya anak itu lebih memilih pergi jauh. 

Dengan entengnya ia berjalan-jalan menikmati indahnya pantai Copacabama Brasilia, bercengkerama dengan gadis-gadis latin bermata coklat.

Dia mengembara ke bumi Andalusia, ikut berjingkrak bersama para matador. 

Di lain waktu  melanglang buana ke negeri musikal Jerman, menikmati anggur oranye Belanda, bergoyang Tango bersama bocah Argentina atau tenggelam ria dalam pesta dansa di negeri mode Prancis dan Italia.

Setelah 1966, tim nasional sepak bola Inggris memang selalu gagal di event dunia, baik Piala Eropa maupun Piala Dunia. 

Ketika Piala Eropa 1996 berlangsung di tanah Britania,  tersembul harapan baru akan datangnya gelar terbaik. 

Sayang sekali, kenangan manis 1966 tak terulang. Inggris kalah 5-6 di semifinal melawan Jerman yang akhirnya menjuarai Euro 1996 setelah mematuk Ceko 2-1 di final. (Dion DB Putra dalam Bola Itu Telanjang, 2010, halaman 159).

  ***

Malam ini 7 Juli 2021, dua puluh lima tahun setelah kepedihan 1996, si anak bola pulang ke rumahnya, Wembley. Inggris sudah berada di babak semifinal Euro 2020 menghadapi Denmark. 

Italia  menanti di grandfinal 11 Juli 2021 setelah kemarin mengalahkan musuh klasiknya Spanyol 4-2 lewat adu penalti (1-1).

 Perjalanan Inggris begitu apik di Euro 2020 yang bergulir di tengah jerit tangis pandemi Covid-19. 

Gawang Jordan Pickford masih steril. Lima pertandingan tanpa kebobolan. Satu-satunya dari 24 tim peserta.

Inggris berjaya sejak fase grup D. Tekuk Kroasia 1-0, imbang 0-0 melawan Skotlandia, dan menang 1-0 atas Republik Ceko. Sesudahnya, skuat Gareth Southgate mempermalukan Jerman 2-0, dan menggilas Ukraina 4-0 di perempat final.

Harry Kane dan Raheem Sterling menjadi penymbang gol terbanyak, masing-masing tiga gol. The Three Lions sedang on fire, berada pada level terbaik kinerjanya. 

Langkah Denmark tertatih berliku. Terjal. Lolos untung-untungan ke babak 16 besar. Kalah dalam dua laga grup, nasib baik masih memihak mereka. 

Di fase gugur sumbu Dinamit meledak. Pasukan Kasper Hjulmand memukul Wales 4-0, dan menaklukkan Republik Ceko 2-1 di perempat final.

Suasana batin Denmark seolah kembali ke tahun 1992 ketika mereka pertama kali meraih trofi Piala Eropa. Veni, vidi, vici. 

Sempat terpukul pascainsiden kolapsnya Christian Eriksen pada laga pertama, Simon Kjaer Cc kini sudah menginjakkan kaki di empat besar. Selangkah lagi Denmark di partai puncak.

Rekor head to head Inggris lebih sakti. Dari 21 pertemuan, Inggris menang 12 kali, kalah 4 kali dan 5 laga berakhir imbang.

Dalam lima pertemuan kedua tim sejak 2005 skornya sama. Inggris menang 2 kali, kalah 2 dan sekali seri. Artinya Denmark bukanlah lawan mudah bagi Harry Kane dkk.

Sebelum Euro 2020, Inggris dan Denmark terakhir kali bertemu di ajang UEFA Nations League pada Oktober 2020 di Stadion Wembley, London 

Kala itu Inggris kehilangan Harry Maguire yang mendapatkan kartu kuning kedua, dan Denmark menang 1-0 lewat penalti Christian Eriksen.

Malam ini di Wembley yang pasti riuh penonton merupakan pertemuan mereka ke-22 sepanjang sejarah untuk merebut tiket final Euro 2000. 

Tiket emas yang belum pernah dicicipi Inggris sejak turnamen ini bergulir 60 tahun silam. 

Malam ini 7 Juli 2021, dunia menyaksikan si anak bola pulang ke rumahnya ibunya, Wembley. 

Setelah 90 atau 120 menit di sana apakah dia tetap tinggal di tanah airnya atau malah bertualang lagi, entah ke Kopenhagen atau kota abadi Roma.

Bagaimana menurut tuan dan puan? 

Selamat menonton!


* Ditulis menjelang laga Inggris vs Denmark di babak semifinal Euro 2020 tanggal 7 Juli 2021. Inggris  menang 2-1 dalam laga selama 120 menit dan lolos ke final bertemu Italia yang di semifinal mengalahkan Spanyol 4-2 (1-1) lewat adu penalti.

10 Bulan yang Mengesankan

 


Hansi Flick

Petualangan Les Parisiens di Liga Champions musim 2019-2020 berakhir sudah.

Trio MNM, Maria, Neymar, Mbappe belum membantu Paris Saint-Germain (PSG) menggenggam trofi Liga Champions Eropa pertama.

Mereka baru sampai di babak final perdana.

Neymar menangis dalam pelukan David Alaba. Mata Mbbape dan Di Maria sembap.

Pelatih Thomas Tuchel yang kakinya bertopang tongkat berusaha tabah dan menghibur tim asuhannya.

Singgasana terhormat milik Bayern Muenchen.

Die Rotten menang tipis 1-0 berkat gol tandukan anak Prancis yang dibiarkan pergi oleh PSG ke Juventus 2014 lalu berlabuh di Allianz Arena Munich 2017, Kingsley Coman.

Penampilan PSG sesungguhnya luar biasa. Bertarung spartan selama 90 menit. Selama 45 menit pertama membuat Munich kedodoran.

Bahkan pada masa injury time hampir saja menyamakan kedudukan lewat aksi Neymar.

Lalu apa rahasia sukses Bayern di Stadion da Luz, Lisbon, Portugal, Minggu 23 Agustus 2020?

Resepnya simpel. Tim asuhan Hansi Flick mampu menghentikan aksi impresif trio MNM.

Angel Di Maria, Neymar dan Kylian Mbappe adalah trio maut yang sukses besar dalam 10 laga PSG sebelummya.

Tapi malam itu di Lisbon mereka gagal memanfaatkan celah di lini belakang FC Hollywood.

Lini belakang Bayern sempat kalang kabut membendung pergerakan Mbappe, Neymar dan Di Maria.

Malah kian mencemaskan ketika Jerome Boateng yang kurang fit harus tinggalkan lapangan diganti Niklas Sule pada paruh babak pertama.

Beruntung ketika bahaya datang, Flick punya pilar terakhir bernama Manuel Neuer yang malam itu trengginas di bawah mistar.

Ketenangan dan reaksi apiknya menggagalkan percobaan pembunuhan dari Mbappe, Neymar dan Di Maria.

Neuer menghadang peluang Neymar di awal laga, menghentikan tembakan Mbappe jelang turun minum serta menghalau penyelesaian Marquinhos dari kesempatan yang diciptakan sayap kreatif Argentina, Angel Di Maria.

Serangan bergelombang PSG memaksa penyerang Bayern, Robert Lewandowski berkali-kali tinggalkan posnya untuk membantu rekannya menggalang pertahanan demi membendung serangan bertubi PSG.

Kerja kolektif itu mengantarkan Bayern meraih trofi Liga Champions keenam sekaligus kali kedua mengoleksi trigelar setelah 2013.

Musim ini Die Bavaria sudah menjuarai Bundesliga Jerman dan Piala DFB Pokal.

Resep mujarab Flick lainnya adalah keputusannya memainkan Kingsley Coman sejak menit pertama.

Padahal Coman biasanya duduk manis dulu di bangku cadangan. Perannya selama ini adalah pemain pengganti.

Semenjak kompetisi bergulir lagi di tengah kepungan pandemi Covid-19, Flick lebih banyak menurunkan Ivan Perisic sebagai pilihan utama mengisi sektor sayap kiri serangan Bayeran, termasuk dalam tiga laga menuju final di Lisbon.

Namun, Flick melihat fisik Perisic sungguh letih setelah melakoni pertandingan padat sejak babak perempatfinal.

Lirikannya menuju Coman. Keputusan tersebut terbukti mujarab.

Berkali-kali Coman merangsek lincah dari sayap kiri mengancam jantung pertahanan PSG.

Aksi tanpa bebannya bikin Thilo Kehrer, Thiago Silva, Presnel Kimpembe, Juan Bernat dan Ander Herrera harus kerja keras menghalau bola.

Coman pula yang menanduk umpan lambung terukur kiriman Joshua Kimmich ke gawang Keylor Navas demi membawa Bayern memimpin menit ke-59 dan mempertahankan keunggulan hingga peluit panjang wasit berdering.

Menciptakan Perubahan

Hans-Dieter Flick atau karib disapa Hansi Flick kini dikenang sebagai manajer sepak bola profesional Jerman yang luar biasa.

Dia menciptakan perubahan dashyat di tubuh Bayern Munich yang terpaksa memecat Pelatih Niko Kovac di tengah musim 2019-2020 karena prestasi melorot.

Asisten pelatih timnas Jerman di bawah Joachim Loew (2006-2014) ini memberikan tiga trofi bergengsi bagi Die Rotten.

Ayah dua anak kelahiran Heidelberg, Jerman 24 Februari 1965 tersebut, hanya dalam waktu 10 bulan, sejak November 2019, berubah dari pelatih sementara menjadi pelatih yang memimpin Bayern menjuarai Bundesliga, Piala Jerman dan mengangkat trofi Liga Champions.

Bayern sungguh terpuruk pada awal musim di bawah kepelatihan Niko Kovac.

Kiprahnya di Liga Champions musim lalu pun memilukan.

Bayern terhenti di babak 16 besar setelah kalah 1-3 melawan Liverpool di hadapan pendukungnya sendiri, Stadion Allianz Arena Munich.

Setelah kepergiaan Kovac, Hansi Flick bekerja cepat dan piawai membangun semangat tim. Hasilnya mencengangkan.

Robert Lewandowski dkk meraih 21 kemenangan beruntun di semua kompetisi, termasuk menyapu bersih 11 kemenangan di ajang Liga Champions sejak fase penyisihan grup.

Bayern Muenchen melaju ke final di Lisbon setelah mencetak 42 gol dari 10 pertandingan, termasuk menista Barcelona 8-2 di babak perempat final.

Bayern pun akhirnya meraih trofi Si Kuping Besar keenam, menyamai rekor Liverpool sembari disandingkan dengan gelar Bundesliga Jerman serta trofi DFB Pokal.

Rekor trigelar ini menyamai prestasi Bayern di bawah asuhan pelatih terkemuka Jupp Heynckes tujuh tahun silam.

Tidak berlebihan bila Philipp Lahm, kapten Bayern Muenchen saat merengkuh gelar Eropa terakhir pada 2013, menyebut Hansi Flick setara dengan dua pelatih legendaris Bayern yakni Jupp Heynckes dan Ottmar Hitzfeld.

Lahm adalah kapten Bayern saat mengalahkan Borussia Dortmund 2-1 dalam final Liga Champions 2013 di Wembley.

Lahm juga memimpin Timnas Jerman kala menyabet gelar Piala Dunia 2014 di Brasil.

"Pada saat Anda menyaksikan kembali masa lalu FC Bayern pada diri Ottmar Hitzfeld atau Jupp Heynckes, kekuatan mereka adalah bekerja demi tim. Persis seperti itulah Hansi Flick," kata Lahm kepada stasiun televisi ZDF seperti dikutip AFP.

Heynckes (75) memimpin Bayern menyabet gelar Eropa edisi 2013 di Wembley, sedangkan Hitzfeld (71) berkiprah kala FC Hollywood meraih trofi Liga Champions 2001 dengan mengalahkan Valencia di kota mode Milan.

Keutamaan Hansi Flick adalah menyatukan kembali semangat juang skuat Bayern yang bertabur bintang.

Moral tim tersebut sempar remuk saat diasuh Niko Kovac yang kini menyangani klub Prancis, AS Monaco.

Hansi Flick sukses membangun kembali rasa percaya diri pemain Bayern.

Pemain senior Thomas Mueller, misalnya, berkembang pesat setelah Flick memasukkannya kembali ke starting line-up Bayern.

Mueller bekerja sangat padu dengan para yuniornya sepanjang musim ini. 

Sepuluh bulan bekerja dalam kepungan pandemi Covid-19, 21 kemenangan beruntun, 11 di antaranya di Liga Champions dan tiga trofi juara berjejer di Allianz Arena bukan semata angka mati.

Hasil gemilang ini mencerminkan betapa Hansi Flick telah bekerja sepenuh hati untuk soliditas tim. Dia sungguh yang tahu cara mendayagunakan sumber daya pemain sebaik-baiknya. Salut! (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali

Artikel ini ditulis setelah laga final Liga Champions Eropa musim 2019-2020 tanggal 23 Agustus 2020 yang dimenangkan Bayern Muenchen 1-0 di Stadion Luz, Lisbon Portugal. 

Dion DB Putra: Banyak Hak Nara Sumber Diabaikan

Dion DB Putra (kedua dari kiri)
LABUAN BAJO, PK -Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTT, Dion DB Putra, mengatakan, selama ini di NTT banyak hak nara sumber yang diabaikan sendiri oleh nara sumber tersebut dalam hal pemberitaan di media massa.

"Kalau pemberitaan itu tidak berimbang bisa diadukan ke Dewan Pers. Dewan Pers diakui oleh negara untuk mengadili dalam konteks pekerjaan pers. Dewan Pers bisa memberi teguran bila ada media yang terbukti tidak berimbang dalam pemberitaan," kata Dion saat menjadi nara sumber dalam Rapat Kerja dan Bimbingan Teknis Kehumasan bagi Aparatur Bagian Humas/Protokoler Kabupaten/Kota se-Provinsi NTT  di Hotel Luwansa Labuan Bajo, Selasa (22/6/2016).

Dikatakannya, sesuai Undang-undang Pers, nara sumber juga berhak mengajukan hak jawab atau hak koreksi bila merasa ada yang salah dari pemberitaan. Nara sumber juga berhak diam terhadap pertanyaan wartawan kalau tidak yakin dengan kredibilitas wartawannya. "Selama ini banyak hak nara sumber yang diabaikan," kata Dion.
Sejumlah peserta yang hadir saat sesi tanya jawab mengeluhkan pemberitaan media akhir-akhir ini yang terkesan tidak berimbang dan mengabaikan konfirmasi. Selain itu, banyak wartawan yang hanya mengandalkan kartu persnya.

"Di daerah kami ada wartawan yang setiap hari selalu bersama kami dan meliput kegiatan kami. Tetapi beritanya tidak pernah ada," kata Germanus dari Kabupaten Sikka.

Keluhan senada disampaikan peserta lainnya,   Sipri dari Kabupaten Manggarai, Agus dari Kabupaten Manggarai Timur dan peserta dari Malaka, Kupang dan sejumlah daerah lainnya.

Mereka juga mengeluhkan media massa yang terlalu berorientasi bisnis sehingga sering kali terkesan melindungi orang tertentu yang dianggap sebagai pemberi upeti.
Menanggapi keluhan itu, Dion mengatakan, pada Undang-undang Pers, media juga merupakan institusi bisnis tetapi semuanya dijalankan pada etika yang telah ditentukan.

Sementara Kepala Biro Humas Setda NTT, Semuel D Pakereng, mengatakan, semua aparatur bagian humas/protokoler di tingkat kabupaten/kota se-Provinsi NTT akan difasilitasi Biro Humas Provinsi NTT untuk mendapatkan penjelasan dari Dewan Pers berkaitan dengan jalinan kerja sama antara pemerintah kabupaten/kota dengan media massa tertentu.

Pakereng meminta bagian humas agar berhati-hati dalam menjalin kesepakatan kerja sama dengan media tertentu dalam konteks pemberitaan di daerah bersangkutan.
"Kami akan fasilitasi untuk mendatangkan Dewan Pers berkaitan dengan kerja sama antara pemerintah kabupaten/kota dengan media tertentu. Berkaitan dengan kerja sama dengan media," kata Samuel di hadapan para aparatur bagian humas dari kabupaten/kota.  (ser)

Sumber: Pos Kupang 24 Juni 2016 hal 12

Thomas Bata: Ayahku dan Guru Jurnalistikku

Thomas Bata (2000)
1. Ayahku punya  nama yang simpel,  Thomas Bata. Dia lahir di Ratenggoji pada 6 Januari tahun 1933. Ratenggoji itu so pasti tidak ada dalam peta Pulau Flores. Dia cuma kampung kecil di Kecamatan Kotabaru, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia saat ini.

2. Konon, ayahku lahir di pondok kebun orangtuanya Yosef Dede Dosi dan Maria Badhe Wangge. Sejatinya pasangan Dede dan Badhe tinggal di Wolonio, kampung kecil yang jaraknya belasan km di selatan Ratenggoji.

3. Ayahku Thomas Bata adalah putra bungsu dari istri kedua Dede Dosi. Dia anak kembar. Semuanya pria. Kembarannya lebih dulu dipanggil Sang Pencipta saat usia remaja. Total anak Dede Dosi 18 orang dari dua istri. Istri pertama namanya Polu Sawa.


4. Thomas adalah satu-satunya putra Dede Dosi yang sempat mengenyam pendidikan dasar di zaman kolonial Belanda dan Jepang.  Salut buat kakek dan nenekku yang masih buta huruf itu. Mereka sempat sekolahkan ayahku.

5. Sekolah membuka cakrawala ayahku. Dia kemudian berjuang keras agar terus sekolah sampai level tertinggi yang bisa diraih pada masanya.

6. Ayahku rela menjadi pencuci piring dan kakus di rumah pengusaha Tionghoa di Ende agar dia bisa terus sekolah. Dia bahkan mau menjadi pembantu rumah tangga di rumah Yan Sali di Boawae demi menikmati pendidikan Sekolah Guru Bawa (SGB).

7. Tamat SGB Boawae, ayahku masih bernafsu untuk studi lanjut. Sambil mengajar SD di Kota Ende,dia lanjut sekolah di SGA (Sekolah Guru Atas) di Ndona dan tamat tepat waktu. Tak puas sampai di situ, Thomas  kuliah di Universitas Nusa Cendana (Undana) Cabang Ende. Tekadnya waktu itu meraih gelar sarjana hukum. Apa daya belum tuntas kuliah dia sebagai guru PNS dimutasikan ke kampung yang jauh dari Ende. Kuliah putus di. tengah jalan.

8. Mutasi ayahku ke kampung di Lio Timur  pada awal tahun 1970-an, konon karena penguasa waktu itu merasa terganggu dengan kiprah Thomas Bata sebagai guru muda (aktivis buruh) yang vokal bicara di forum-forum umum. Apalagi dia aktif dalam organisasi buruh. Ayahku pun pengagum Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno.

9.  Bekerja tanpa neko-neko. Taat asas, lurus, sesuai rule of the game. Itulah prinsip hidup ayahku Thomas Bapa. Saking taatnya pada nilai tersebut, Guru Toma atau Guru Bata, demikian dia biasa disapa, kerap dicap sebagai orang yang kaku. Bahkan super kaku.

10. Dia bahkan dianggap orang yang pelit karena tidak sembarangan mengeluarkan uang. Thomas Bata dengan penghasilan sebagai guru yang minim amat, mengeluarkan uang dengan cermat. Uang hanya untuk kebutuhan, bukan keinginan. Itupun pakai skala  prioritas.

Di Watuneso  awal tahun 1980-an
10. Lahir dari keluarga petani miskin, bisa sekolah karena mau bekerja pada orang membentuk karakter Thomas sebagai pengelola uang yang bijaksana. Dia makin ketat kelola uang setelah berkeluarga dan dikaruniai tujuh orang anak. Satu anak (nomor dua) meninggal saat masih balita. Membesarkan enam orang anak bukan perkara enteng, bung!

11. Fokus Thomas Bata investasi pendidikan. Kami enam bersaudara menikmati pendidikan terbaik pada masa kami. Empat anaknya bergelar sarjana, dua orang lulusan pendidikan selevel SMA. Luar biasa sukses bila dibandingkan dengan guru SD seangkatannya atau lebih senior atau  yunior daripada dia.  Setidaknya di wilayah Watuneso (Lio Timur) orang tahu kesuksesan  Guru Thomas Bata menginvestasikan pendidikan bagi  anak-anaknya. Sukses bukan dalam artian kaya materi!

12. Dalam hal mengelola keuangan, ayahku mencatat dengan rapi pendapatan dan pengeluaran. Hukum akutansi dia terapkan dengan disiplin. "Saya catat semua supaya pengeluaran terkontrol dengan baik," kata ayahku saat saya iseng bertanya padanya mengapa semua hal dicatat. Nah, gen ini rupanya menurun pula pada  anaknya. Si bungsu dan sulung itu mewarisi bakatnya.
Ayah dan Ibuku

13. Mencatat segala hal. Begitulah ciri khas Thomas Bata. Dia mengoleksi buku tulis besar beberapa buah. Ada yang khusus soal keuangan, catatan tentang tanah dan sejarahnya, soal adat-istiadat, ada yang berisi masalah pendidikan, gereja, dll. Ayahku rajin mencatat. Hampir tiap hari dia menulis. Tulisan tangannya rapi dan mudah dibaca. Jadi titisannya itu menurun pada diriku ini yang memilih jalan hidup sebagai wartawan dan penulis. Hahahaha....

14. Waktu saya meniti karier sebagai wartawan sejak masih di semester 3 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Nusa Cendana (Kupang), ayahku bilang begini: "Kau yakin? Bapa lebih senang Dion jadi pegawai negeri." Saya jawab sekenanya saja waktu itu. "Bapa, biar saya coba lakoni dulu profesi ini. Siapa tahu nanti lebih terkenal dari Bapa sebagai guru. Toh Bapa juga ikut bangga to?" Ayahku ngakak.

Woda Rasi Wika Tana

Dion DB Putra, cucu Rasi Leu
Oleh Dion Dosi Bata Putra

WODA Rasi adalah putra bungsu Rasi Leu, generasi keempat sejak kedatangan dari Malaka.  Rasi Leu  memiliki enam orang anak yaitu Pati, Mboti, Mali,Ngeo. Bao dan Woda. Jika kelima saudaranya yang lain menetap di Wolowaru Wawo (rumah adatnya masih tegak berdiri sampai sekarang), Woda Rasi lebih suka bertualang ke arah utara dan  timur. 

Masa hidupnya lebih lama di hutan rimba, baik untuk berkebun, mengiris tuak atau berburu. Karena jarang pulang ke rumah,  termasuk bila ada acara besar keluarga, Woda Rasi selalu mendapat bagian bupa `muku sa wunu, au salaru."

Woda Rasi pada masa  itu dikenal sebagai pemberani dan berkali-kali menaklukkan suku lainnya di Lio Timur, Kabupaten Ende  sekarang ini. Salah satu kisah kepahlawan Woda Rasi adalah saat dia "wika"" (merebut atau mendapatkan tanah Waru Jeja). Lokasi tanah itu kini di wilayah Desa Detupera dan sekitarnya.

Kisahnya demikian. Pada suatu hari ketika Woda Rasi sedang berburu di kawasan hutan Nonu Bua dan Nenda - di sebelah utara Kampung Wololele A sekarang, Woda menemukan sebatang pohon enau yang anak aneh. Pohon enau itu memiliki tiga mayang yang bentuknya sangat bagus untuk diiris menjadi tuak, aren (moke).

Lazimnya enau mengeluarkan satu atau dua mayang, itupun bentuknya kecil-kecil. Tapi enau yang ditemukan Woda memiliki mayang yang besar dan berbulir padat. Karena sifatnya yang berani dan suka tantangan, Woda memutuskan mengiris moke tersebut. Ketiga-tiganya diiris semuanya. Selang tiga hari kemudian, irisannya mengeluarkn aren yang manis dalam jumlah berlimpah.

Beberapa hari berselang ketika dia datang pagi hari untuk mengambil aren yang ia tamping dengan seruas bambu, bambunya tak ada isi sama sekali. Ia hanya menemukan tetesan aren yang tumpah di pangkal pohon enau. Woda bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan yang mengambil  aren milikku ini? Kejadian serupa terus berulang hingga tiga hari kemudian. "Aku harus menunggui pohon enau ini, aku harus tahu siapakah sesungguhnya yang mencuri," Woda bergumam dalam hati.

Pada malam itu juga dia tidur di sekitar pohon enau tersebut. Dia tidak kembali ke pondoknya yang berjarak sekitar 2 km dari pohon enau tersebut. Keesokan harinya saat matahari terbit di ufuk timur, Woda Rasi bangun dan bersembunyi di balik pohon ara besar dekat pohon enau. Tidak lama kemudian Woda melihat ada bayangan yang mendekati bambu  yang dia gantung di pohon enau. Bayangan itu berwarna pelangi yang sekilas terlihat seperti tiga ujud. Tetapi tidak dalam bentuk atau rupa manusia biasa. Dengan mata telanjang, Woda Rasi melihat ketiga bayangan pelangi itu meminum aren dengan lahapnya.

"Oo. sekarang saya sudah tahu. Jadi kaulah yang minum arenku sampai habis. Saya yang iris, kau yang minum hasilnya. Kau harus saya bunuh," teriak Woda dengan suara lantang sambil keluar dari tempat persembunyiannya. Woda pun menghunus pedang dan menyiapkan anak panahnya untuk ditembakkan ke arah bayangan pelangi tersebut.


"Memang benar kamilah yang selama ini minum kau punya moke (aren). Dan kami melakukan ini dengan sengaja agar kami bisa bertemu dengan dirimu. Ada sesuatu yang akan kami berikan kepadamu," kata bayangan pelangi. Mendengar kata-kata tersebut, Woda Rasi mengurungkan niatnya melepaskan anak panah.

Bayangan pelangi selanjutnya berpesan kepada Woda Rasi supaya pergi ke Nusa Toe di Pantai Lia Tola tujuh hari berikutnya. "Di sanalah kami akan memberikan sesuatu untukmu," kata bayangan pelangi.

"Tapi apa tandanya bagi saya bahwa kalian tidak berbohong," kata Woda. Bayangan pelangi minta Woda Rasi memotong kayu bercabang dua. Kayu bercabang dua itu dimasukkan ke dalam gua yang disebut Ola Ngai. "Inilah tandanya bagimu. Jika kau sampai di Pantai Lia Tola dan menemukan kayu bercabang dua, maka kami ada di sana," kata bayangan pelangi.  Woda mengikuti saran itu dan secara tiba-tiba bayangan pelangi menghilang entah ke mana. Woda Rasi pulang ke pondoknya.

Tujuh hari kemudian pergilah Woda ke Pantai Lia Tola yang jaraknya sekitar 12 km dari pondoknya. Dalam perjalanan itu, Woda tetap membawa perlengkapan senjata seperti parang, busur dan anak panah. Woda Rasi meninggalkan pondoknya dengan modal obor sebelum fajar menyingsing atau kira-kira jam empat subuh. Dia turun dari lereng Nonu Bua melewati Kampung Wolobheto, Wololele Loo, terus menyusur pinggir sungai Lowo Ria lewat Detupera, Aemalu, Puujita, Watuneso, Kolijana hingga tiba di Pantai Lia Tola kira-kira jam 09.00 pagi.
Sesampai di sana dia langsung mencari kayu bercabang dua yang menjadi tanda kehadiran bayangan pelangi. Dia tidak membutuhkan waktu lama. Setelah menemukan kayu bercabang dua itu, Woda berteriak, "Sekarang saya sudah datang, di manakah kalian? Tunjukkan diri kalian kepadaku."

Tiba-tiba Woda mendengar suara nyaring dari arah laut."Kami di sini, di Nusa Toe. Datanglah ke sini, kami akan memenuhi janji kami kepadamu," demikian suara itu yang langsung dikenal Woda. Nusa Toe adalah sebuah pulau karang kecil yang letaknya persis di depan Pantai Lia Tola. Ajakan suara pelangi untuk datang  ke Nusa Toe dianggap Woda Rasi sebagai cara memperdayainya. "Kalian jangan mempermainkan saya. Saya orang gunung, tidak bisa berenang. Bagaimana mungkin saya bisa mencapai Nusa Toe," kata Woda Rasi dengan suara tinggi.

"Jangan takut dan cemas. Datanglah ke mari dengan berjalan kaki. Kau tidak akan tenggelam," jawab bayangan pelangi. Woda merasa gamang dan ragu-ragu sehingga bayangan pelangi meyakinkan sekali lagi. Woda berpikir kalau dia mundur, maka perjalanan jauhnya akan sia-sia saja.  Dia pun tertantang dan memberanikan diri masuk laut dan siap menerima apapun risikonya. Maka berjalanlan dia menuju Nusa Toe, karang  atol dengan puncak mirip kerucut itu.  Kecemasan Woda tidak menjadi kenyataan. Dia sampai di Nusa Toe dengan selamat. Saat  Woda berjalan ke Nusa Toe. Sejumah nelayan yang sedang membersihkan jalanya di pinggir pantai bergumam, orang ini nekat!!

Sesampainya di Nusa Toe Woda disambut ramah bayangan pelangi yang telah berubah wujud menjadi manusia normal. Setelah berbasa-basi sejenak dan minum, bayangan pelangi mengajak Woda Rasi masuk ke dalam laut bersama-sama. Woda tidak takut lagi. Ketika masuk ke dalam laut, Woda merasakan perjalanan yang sangat menakjubkan. Woda seolah bermimpi. Mereka berenang dan menyelam sampai ke dasar laut terdalam.

Di sana bayangan pelangi mengambil kerang mutiara dan memberikan kepada Woda. Kerang mutiara (wuli dalam bahasa Lio), merupakan biota laut yang langka. "Dengan wuli ini, kau akan mendapat berkat asalkan digunakan secara benar, bukan untuk kejahatan terhadap sesama  manusia," kata bayangan pelangi ketika mereka hendak berpisah di Nusa Toe. Woda Rasi mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

Setelah mengumpulkan sekeranjang kecil siput di Pantai Lia Tola, pulanglah Woda Rasi ke kampungnya dengan langkah gagah dan tegap. Woda Rasi merasa mempunyai kekuatan dan semangat hidup yang baru. Wuli pemberian bayangan pelangi dikalunginya di leher. Rupanya wuli itulah yang mengantar Woda mendapatkan tanah Waru Jeja.  Dan inilah kisah lanjutannya.
Dalam perjalanan pulang ke pondoknya dari Lia Tola, Woda Rasi melintasi perkampungan sepanjang daerah aliran sungai  (DAS) Lowo Ria mulai dari Kolijana, Watuneso, Kopo Watu, Puu Jita,Aemalu dan Waru Jeja. Sesampainya di kampung Waru Jeja yang sedang berlangsung acara adat sehingga banyak orang berkumpul, Woda Rasi menghadapi cobaan  berat.

Saat dia melintasi kampung itu, pandangan orang-orang tertuju kepadanya. Mereka melihat penampilan Woda Rasi dengan pakaian kebesarannya dilengkapi senjata parang dan panah. "Sombong betul orang itu. Dia seperti jagoan sehingga jalan di kampung orang juga masih bergaya," kata mosalaki kampung itu. Matanya terus tertuju ke Woda yang berjalan  pulang ke pondoknya. Saat Woda Rasi hampir mencapai ujung Kampung Waru Jeja, mosalaki itu bergegas menyusulnya. Mosalaki ini hendak mencobai Woda Rasi.

"He eja. pulang dari mana dan mau ke mana?" sapa mosalaki itu ketika ia mendekati Woda. "Saya pulang mencari siput di Pantai Lia Tola," jawab Woda sambil terus melangkah. "Sabar dulu eja, istirahatlah sebentar di sini," kata mosalaki. "Maaf eja, hari sudah beranjak senja, saya harus melanjutkan perjalanan karena kampung masih jauh di gunung," kata Woda.
Walaupun tawarannya ditolak, mosalaki it uterus berusaha menahan Woda Rasi. Lantaran Woda tidak peduli dengan ajakannya, mosalaki yang sejak tadi menahan geram karena menilai Woda bersikap sombong, mulai mengeluarkan jurus cobannya.

"Saya sudah tahu bahwa eja memang orang hebat dan jagoan. Eja punya ilmu tinggi sehingga eja selalu bersikap sombong dan angkuh. Tapi kalau eja benar-benar hebat, coba tunjukkan kepada kami di kampung ini," kata mosalaki. Hati Woda tergelitik juga dengan pernyataan yang memancing ini. Woda tetap berusaha tenang. "Mungkin eja salah dengar, saya hanya orang biasa. Saya ke Lia Tola semata-mata untuk cari siput dan masak air laut untuk garam,"kata Woda. Namun, mosalaki it uterus memanas-manasi Woda dengan tantangannya yang lebih serius.

"Kalau  kau benar-benar seorang lelaki, harus terima tawaran saya ini. Jangan jadi pengecut eja. Kalau kau berani lompat `musu mase' kami itu, kau berhak atas kampung ini dan seluruh lahan tanah yang kami miliki. (musu mase= menhir, tiang batu lonjong yang dipancang di tengah kampong). Kalau eja tolak, berarti eja harus kami habisi," kata mosalaki sambil bercakak pinggang. Tantangan si mosalaki didengar orang seluruh kampung yang sejak tadi mengerumuni kedua orang ini.

Karena tawaran itu sudah ketiga kalinya, Woda pun memutuskan untuk menerima. "Baiklah, saya coba akan melompat musu mase itu," kata Woda Rasi sambil berjalan ke musu mase yang berada di tengah kampung. Tinggi musu mase itu kurang lebih 7 meter. Mata orang-orang di Kampung Waru Jeja tertuju kea rah Woda Rasi. Mereka bertanya-tanya adalam hati apakah pria ini sanggup melompat melewati musu mase yang berdiri menjulang di tengah kampung.

Sampai sekitar dua meter dari musu mase, tanpa aba-aba Woda langsung melompat melewati puncak musu mase.Woda Rasi melompat bolak-balik sebanyak tiga kali tanpa melepas parang dan busurnya. Orang-orang di kampung itu melihat Woda seperti terbang melewati musu mase dan badannya ringan seperti burung. Mereka terheran-heran dan membelalakkan maata seolah tak percaya dengan apa yang barusan mereka lihat.

"Orang ini benar-benar punya ilmu tinggi," kata orang Waru Jeja. Mereka tidak tahu kalau ilmu itu berupa wuli yang baru saja Woda terima dari bayangan pelangi di Nusa Toe. Setelah sukses melompat musu mase, Woda meninggalkan kampung itu tanpa berkata sepatah katapun. Dengan gayanya yang cuek berat, Woda melanjutkan perjalanannya kembali ke pondok di gunung. Sang mosalaki yang tadinya banyak berceloteh diam seribu bahasa. Ia hanya sanggup melihat kepergian Woda dengan langkah tegap dan gagah hingga menghilang di ujung Kampung Waru Jeja.

Sepeninggal kepergian Woda, sejumlah orang di kampung itu dilanda ketakutan terutama kaum wanita dan anak-anak.  Mereka menyadari bahwa Woda menjawab tantangan mosalaki sehingga kampung itu harus dikosongkan karena sudah menjadi milik Woda Rasi. Namun, sang mosalaki mengatakan warga sukunya tetap tenang karena tidak akan terjadi apa-apa. Menurut mosalaki, dia dan semua kaum lelaki di kampung itu siap menghadapi  Woda yang ia tahu tidak punya banyak saudara.

Woda sendiri berjalan sampai di Kampung Wololele Loo kemudian beristirahat di tempat itu. Wololele Loo berjarak sekitar 2,5 km dari Kampong Waru Jeja dan berada di daerah perbukitan. Dari kampong ini Waru Jeja yang berada di lembah, di pinggir kali Lowo Ria terlihat jelas demikian pula sebaliknya dari kampung Waru Jeja bisa melihat sayup-sayup ke Wololele Loo.

Saat beristirahat di tempat itu Woda Rasi menghisap tembakau dan bersandar pada sebatang pohon. Ia mulai menyusun strategi. Ia berpikir bahwa pengosongan Kampong Waru Jeja harus segera direalisasikan sesuai janji si mosalaki. Kalau menunda selama beberapa waktu artinya member kesempatan kepada mosalaki Waru Jeja menyusun kekuatan guna mempertahankan tanahnya. "Hari ini juga mereka harus meninggalkan kampong itu dan seluruh lahan pertanian mereka," gumam Woda membatin.

Woda membuat petasan bambu yang dari jauh akan terdengar seperti bunyi tembakan. Pada masa itu buah damar sudah dipakai sebagai bahan untuk obor dan api. Buah damar kering tidak sulit diperoleh di sekitar kawasan Wololele Loo. Dengan buah damar, ia membuat petasan bambu.

Ia membunyikan petasan sebanayak tujuh kalidan terdengar jelas orang-orang di sekitar Kampung Wololele Loo.  Pada masa itu bila mendengar  bunyi seperti itu berarti ada peperangan. Woda sengaja membunyikan itu sebagai tanda ada perang. Beberapa saat kemudian tibalah di sana enam orang dari daerah sekitar. Mereka itu merupakan teman-teman Woda yang yakin bahwa pada subuh tadi hanya Woda yang keluar dari kampong. Setibanya di Wololele Loo, dugaan enam orang itu terbukti benar.

Saat kenam pria itu datang, Woda menceritakan apa yang baru dialaminya dan menjelaskan strateginya untuk membalas tindakan mosalaki Waru Jeja. "Saya punya cara yang membuat orang-orang Waru Jeja itu meninggalkan kampungnya. Sekarang saya minta tolong kalian buatkan bambu  untuk obor sebanyak 14 buah," kata Woda.  Mereka segera memenuhi permintaan Woda. Mereka bertanya-tanya dalam hati apa gerangan yang hendak Woda lakukan dengan obor sebanyak 14 buah itu? Ketika hari menjelang malam kira-kira pukul 19.00, Woda
meminta mereka menyalakan 14 obor itu dengan olesan minyak buah damar.

"Kita masing-masing pegang dua obor. Kita masing-masing pegang dua obor di tangan kiri dan kanan, obor diangkat setinggi mungkin. Kita turun bersama-sama dari bukit Wololele Loo ini sampai di lembah itu yang jaraknya sekitar 200 meter. Sampai di lembah itu, kita berhenti dan matikan obor lalu naik lagi ke bukit sini.Obor kita nyalakan lagi dan turun lagi ke lembah. Kita lakukan ini bolak-balik sebanyak tujuh kali. Percayalah, dengan cara ini orang Waru Jeja akan melihat ratusan orang turun dari sini menuju kampung mereka," kata Woda Rasi. Keenam sahabatnya mengangguk-anggukkan kepala. Sekarang mereka baru mengerti strategi yang dimainkan Woda Rasi.

Di Kampung Waru Jeja, orang-orang di sana melihat jelas nyala obor di bukit Wololele Loo. Si mosalaki pun serius memperhatikannya. Mula-mula ia merasa biasa saja karena jumlah obor hanya 14 artinya hanya 14 orang yang turun dari bukit itu.  Boleh jadi orang-orang itu hendak ke kampung terdekat seperti Wolo Mage dan Detu Rau. Tapi lama kelamaan ia mulai merasa cemas karena jumlah obor yang turun dari bukit itu sambung-menyambung dalam jumlah banyak (7x14 = 98). Mosalaki mulai berpikir bahwa orang-orang Woda Rasi sudah mengepung kampung mereka dari berbagai penjuru.

Ketika hitungan mereka jumlah obor yang turun dari bukit itu sudah melewati angka  70, sebagian warga Waru Jeja mulai lari meninggalkan kampung dengan membawa barang seadanya. Suasana kampung yang berada di tanah datar di pinggir Sungai Lowo Ria itu panik dan mencekam. Kaum perempuan dan anak-anak menangis histeris.

Tak ada pilihan lain bagi si mosalaki untuk memerintahkan warganya segera meninggalkan kampung. Mereka menyalakan obor dan lari ke arah timur dan selatan. Mengungsi adalah pilihan terbaik saat itu. Dari ketinggian bukit Wololele Loo, Woda dan keenam rekannya melihat suasana huru-hara itu.

Pengungsian warga Waru Jeja akhirnya sampai ke daerah sekitar Paga dan Maulolo (wilayah Kabupaten Sikka sekarang). Di sanalah mereka menetap dan berkembang biak. Untuk mengenang kampung asalnya, di daerah baru itu nama kampong mereka diabadikan, misalnya Kampung Mase Bewa, Puu Bheto, Wolofeo dan lain-lain.

Sementara itu ketika menyaksikan orang Waru Jeja meninggalkan kampung, Woda dan keenam rekannya menyaksikan dengan perasaan bangga, lucu bercampur haru. Woda tersenyum tapi hatinya merasa iba karena kesombongan mosalaki justru mengorbankan warga kampungnya. "Itulah kalau orang angkuh. Saya tidak bermaksud mengusir mereka. Itu karena kesalahan pemimpin mereka sendiri. Cara yang saya pakai ini merupakan keputusan hati saya yang tidak menginginkan terjadi pertumpahan darah," kata Woda kepada enam saudaranya. Woda mengisap tembakaunya dalam-dalam.

Sejak pengungsian warga Waru Jeja itu, lokasi kampung dan tanah pertanian milik mereka selanjutnya menjadi milik Woda Rasi yang dia wariskan kepada anak cucunya sampai sekarang. Di bekas kampung itu masih berdiri musu mase, cuma sudah terpotong separuhnya. Mungkin karena termakan usia. *

Di sini kutulis tentang asal-usulku. Juga kucatat penggalan-penggalan kisah leluhur. Aku bagian dari darah daging mereka yang ada dan mengalir adanya hingga anak cucu Lise mendatang.

Dion Dosi Bata Putra
Embu Woda, Ana Mbete, Wewa Tani Woda, Mamo Ngaba Tani, Benge Dede Dosi, Putra Bata. Gelombang yang tiada henti bergelora dalam arus zaman.
 

Mbete Woda Jatuh Cinta

Dion Dosi Bata Putra
Oleh Dion Dosi Bata Putra

MBETE Woda adalah anak dari Woda Rasi. Dari tokoh inilah kemudian beranak-pihak warga suku Lise Nggonderia dan Lise Kurulande. Mbete Woda dikenal sebagai pemuda tampan dan suka bertualang seperti ayahnya Woda Rasi. Kisah cinta unik dengan seorang gadis asal daerah Bu (sekitar Desa Bu Utara, Kecamatan Paga Kabupaten Sikka sekarang).

Gadis itu berlesung pipi, rambut hitam panjang lurus bak mayang terurai. Matanya lentik, kulit kuning langsat, hidung mancung, betis laksana padi yang hamil. Pembawaannya ramah. Sambe boleh dikata merupakan kembang di kampungnya dan menjadi incaran banyak perjaka. Kecantikan Sambe suah terkenal luas di kampong sekitar.

Syahdan, menurut cerita turun-temurun, Mbete Woda yang suka bertualang itu pada suatu hati tiba di kampung Nona Sambe. Kebetulan saat itu ada pesta syukuran di kampung itu. Mbete rupanya sudah mendengar cerita tentang kecantikan Sambe bahkan diam-diam dia pun sudah melihat kecantikan gadis itu. Makanya saat ke kampong gadis ini,  Mbete membawa serta wea ngawu (perhiasan dari emas) yang diisi dalam periuk tanah.

Ketika tiba di kampung Bu, Mbete Woda melihat gadis incarannya sedang menumbuk padi  sendirian di samping rumah orangtuanya. Sebagaimana lazimnya orang-orang pada masa itu, Sambe hanya mengenakan busana yang menutup dada ke bawah. Keduanya belum pernah bertemu muka sebelumnya.

Dengan tenang  Mbete menghampiri Sambe dan serta-merta memberikan periuk emas kepada sang dara ayu dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut. "Weta e.aku rina weta deo ngawu neku ina. Saya harus pergi buru-buru karena ada urusan yang penting sekali." Artinya, "nona saya minta tolong nona simpan perhiasan emasku ini. Saya h" Mbete Woda hanya mengucapkan kata-kata itu lalu bergegas pergi begitu saja. Sambe yang pangling dan bingung, bahkan tak sempat mengeluarkan sepatah kata pun karena pemuda itu sudah pergi entah ke mana.

Sambe yang bingung mengharu-biru perasaannya karena pertemuan dengan sang pemuda begitu mendadak dan cepat. Sambe heran, mengapa pemuda yang belum dikenalnya itu berani menitipkan perhiasan emas kepadanya. Sambe kemudian melaporkan insiden itu kepada ayah dan ibunya.  Ayahnya sangat terkejut bahkan sempat memarahi Sambe mengapa mau menerima begitu saja titipan itu?

Sambe Cuma bisa meyakinkan ayahnya bahwa ia masih mengingat dengan baik wajah pemuda tampan itu. Kebetulan pada malam harinya  saat pesta syukuran di kampong itu Mbete Woda menampakkan dirinya dengan ikut gawi (tarian missal tanda syukur, kegembiraan dan kebahagiaan dalam tradisi Lio). Sambe kemudian memberi tahu ayahnya bahwa itulah pemuda yang pada siang tadi menitipkan perhiasan emas kepadanya.

Sang ayah mengamati dengan teliti wajah pemuda itu yang sedang menari bersama-sama orang. Dia menunggu waktu sang pemuda istirahat dan akan langsung menemuinya. Entah  Mbete sudah tahu diamati seseorang, dia pun mencari waktu yang tepat dengan tiba-tiba keluar dari lingkaran tarian gawi dan menghilang dalam kegelapan malam. Menurut pengakuan Woda Mbete di kemudian hari, setelah ia melihat Sambe pada malam itu, dia langsung meninggalkan tari gawi dan kembali ke kampong halamannya di Nua Tu, Desa Lise Lowobora Kecamatan Wolowaru (sekarang). Jarak dari kampong Bu puluhan kilometer harus naik gunung dan turun ke lembah. Pada masa itu antarkampung terisolir dan kawasan masih lebat dengan hutan rimba.
Ulah Mbete Woda tentu saja membuat Sambe dan ayahnya gundah.

 Ayah Sambe berembuk dengan keluarganya dan mereka berkesimpulan bahwa pemuda itu pasti punya maksud dan bisa ditebak dia naksir Sambe sejak lama. Perhiasan emas dalam tradisi Lio adalah pemberian istimewa sebagai belis saat seseorang dipinang.  Mereka coba mengumpulkan informasi tentang siapa sesungguhnya pemuda itu. Cuma dapat informasi yang minim kalau pemuda itu berasal dari daerah barat, dari kampong di sebelah gunung. Juga disebut-sebut mungkin dia putra Woda Rasi yang namanya sudah tersohor.

Sambe sendiri pun tak bisa tidur pulas sejak kejadian itu. Dia terus dibayangi wajah sang pemuda yang dengan senyum ramah dan sedikit cuek memberikan wea ngawunya kepada Sambe. Seminggu setelah pertemuan itu akhirnya Sambe memilih jalan ini meskipun sempat ditentang keras orangtuanya. Ditemani sepupunya, seorang peremuan yang lebih tua dan seorang pria paruh baya, Sambe meninggalkan kampung Bu menuju arah barat mencari tahu keberadaan sang pemuda misterius. Mereka membawa bekal secukupnya mengingat tempat tujuan tdak diketahui secara pasti.

Sambe berkali-kali menangis sepanjang perjalanan mencari pemuda itu. Makin ke barat setelah melewati kampong demi kampong, Sambe dan kedua sepupu yang menemaninya makin dapat informasi yang lebih jelas tentang pemuda itu. Sambe meninggalkan kampungnya dan melewati  Kampung Nuanula, Wolowuwu, Wolonia, Detuweru, Watuwisa, Wolobheto, Tebo Laka. Di Tebo Laka Sambe tahu nama pemuda itu  Mbete Woda dan kampungnya di Nua Tu. Sambe pun terus berjalan melewati kampung Ae Tunggu, Wololele A, Wololele B dan akhirnya sampai di Nua Tu.

Di kampung ini Sambe dan kedua sepupunya diantar langsung ke rumah orangtua  Mbete Woda.  Woda Rasi dan istrinya menerima gadis itu dengan baik dan mengertilah mereka bahwa inilah gadis pilihan Mbete. Sudah lama  Woda Rasi meminta putranya segera menikah namun baru kali  ini datang seorang gadis ke rumah itu.

Dua hari kemudian dua sepupu Sambe pulang ke Kampung Bu, sedangkan Sambe tetap tinggal di rumah Mbete Woda. Dalam istilah orang Lise, Sambe paru haki atau paru dheko ata haki (lari ikut laki-laki atau kawin lari) sehingga dia tidak mungkin kembali lagi ke orangtuanya. Tabu bagi seorang gadis yang masuk rumah laki-laki untuk kembali.

Berselang beberapa hari kemudian berangkatlah utusan keluarga  Mbete Woda menemui ayah dan ibu Sambe di Kampung Bu. Sesuai tradisi mereka menyatakan bahwa Sambe sudah "paru haki" sama Mbete Woda. Ditentukan waktu dan hari untuk antaran belis dan kedua sejoli akhirnya resmi menjadi suami istri. Acara pernikahan mereka berlangsung meriah.

Dari hasil perkawinan Woda Mbete dan Sambe inilah lahir anak-anaknya yaitu Ndopo Mbete, Laka Mbete, Tani Mbete (ada dua orang yaitu Tani Loo dan Tani Dua), Woda Mbete dan Wangge Mbete. Woda Mbete kemudian memperanakkan Dosi, Mbete, Tani, Senda, Kewa dan Kemba. Keturunan Mbete Woda itulah di kemudian hari menjadi mosalaki Puu Lise Tana Telu serta Riabewa di Wololele A dan Mulawatu.

Perkawinan Sambe dengan Mbete Woda menunjukkan bahwa sejak berabad-abad yang lalu sudah ada ikatan genealogis yang rapat antara orang Lise dengan orang Bu. Pertalian darah itu bahkan masih bertahan sampai sekarang. Kedua etnis kawin-mawin. Dalam banyak sisi kehidupan maupun tradisi, orang Bu, Paga, Mauloo, Lekebai dengan Lise umumnya sama saja. Hanya ada beberapa perbedaan yang tidak prinsipil. Karena itulah masyarakat Kecamatan Paga, Mego dan Bu selalu dengan bangga menyebut dirinya orang Lio atau Ata Lio, bukan orang Sikka.

Kedekatan geografis dan kultur sebenarnya soal lazim bagi masyarakat Pulau Flores secara keseluruhan. Apabila ditelusuri ke masa silam, ada persamaan-persamaan  yang tetap ada sampai sekarang ini. Kalau ada perbedaan, itu bisa dimengerti mengingat kondisi lingkungan setempat serta perpaduan dengan berbagai unsur budaya. *

"Kembali" ke Kupang


bildad11.jpg


IKAN BAKAR — Menikmati ikan bakar di pantai Kupang (1997) bersama Bildad (paling kiri), Paul Bolla dan pasangannya, kemudian Ana Jukana, Peter A Rohi, dan Hans Christian Louk. Ikan termasuk murah di Kupang, terutama kalau kita mau beli langsung dari nelayan pas mereka naik dari laut. Ikan segar itu langsung dibersihkan dengan air laut, dibakar, disantap. Gurih sekali.

Buku Kiriman Dion

KAKA.. Ini be kirim buku 15 Tahun Pos Kupang. Baca sudah! Tapi jang bilang-bilang orang laen. Be cuma bawa beberapa sa untuk ketong pung teman yang perna di Kupang, na!”

ITULAH yang dibisikkan Dion Dosi Bata Putra, Pemimpin Redaksi Pos Kupang di sela-sela Rapat Kerja pimpinan koran-koran daerah Persda di Ciater, Subang, Jawa Barat, 5 Desember 2007. Ia merogoh ransel, mengeluarkan buku bersampul biru.

Saat membacanya kemudian, saya tersedot kembali ke Kupang. Kembali ke masa-masa belajar dari para guru, mulai dari Bildad sampai Pius Rengka. Dari pendeta Paul Bolla, sampai Pater Jan Menjang (alm). Dari Daniel Rattu sampai guru besar Damyan Godho, dan masih banyak nama lagi yang harus saya sebut dengan rasa hormat karena telah begitu bermurah hati membagikan ilmu mereka.

Saya teringat kembali ketika untuk pertama kali menjejakkan kaki di Pulau Karang itu pertengahan tahun 1995. Apa yang disaksikan lewat jendela pesawat, tanah tandus kecoklatan dengan tonjolan-tonjolan karang, jadi lebih nyata beberapa saat setalah mendarat di bandara El Tari.

Sepanjang perjalanan menuju kantor, Domu Warandoy dan Evi H Pello yang menjemput saya, menunjukkan tempat-tempat di kiri kanan jalan yang kami lalui. Aduh! Tak terbayangkan bagaimana sulitnya mengembangkan koran di tempat seperti ini. Tempat di mana beli dan baca koran entah jadi prioritas keberapa dalam kehidupan sehari-hari warganya.

Pertama terbit 1 Desember 1992, sampai saat itu (1995) Pos Kupang terbit teratur sebagai koran harian berformat tabloid delapan halaman. Ya, tabloid. Ya, cuma 8 halaman. Atau setara dengan selembar koran broadsheet! Dicetak hitam-putih, dengan logo POS KUPANG di kiri atas. Jadi, meskipun “setebal” delapan halaman, koran ini jadi tipis jika selesai dibaca langsung kita lipat-lipat, masuk saku.

Sekarang, setelah berusia 15 tahun, tentu saja Pos Kupang tidak seperti dulu lagi. Ia terbit dalam bentuk broadsheet 16 halaman, dengan empat halaman warna. Ia pun sudah melakukan cetak jarak jauh di Ende dan di Maumere (Flores) di seberang laut. Nah, buku kiriman Dion itu antara lain berkisah tentang jejak langkah perjalanan Pos Kupang.

Ada testimoni dari pada pelaku, maupun mantan pelaku (banyak yang sudah berhasil di berbagai bidang, baik di NTT maupun di ibu kota dan di daerah lain), dan lebih banyak lagi berisi telaah mengenai peran Pos Kupang pada berbagai sisi kehidupan masyarakat di provinsi itu. Tokoh masyarakat, ilmuwan, kaum rohaniwan, kalangan birokrat, mantan pejabat dan lain sebagainya menuliskan pandangan kritis mereka terhada surat kabar ini.

Dus, meski buku ini diterbitkan menandai 15 tahun surat kabar itu, ia terhindar dari kesan sebagai kecap dapur yang biasanya lebih banyak berisi puji-pujian atas diri sendiri. Ia sekaligus jadi referensi yang cukup bernas mengenai perkembangan pers dan perannya di dalam kehidupan masyarakat setempat.

Tapi, bagi saya, buku itu seakan membawa saya kembali ke Kupang. Melalui buku ini, saya “bertemu” lagi dengan para guru yang luar biasa gairahnya membangun koran di negeri kering dan serba minim. Saya “bertemu” lagi dengan Pius Rengka yang kata-katanya luar biasa tajam, kokoh, dan indah.

“Bertemu” lagi dengan Hans Ch Louk yang ramah, suaranya pelan dan seperti tak pernah punya marah, namun tulisan-tulisannya lugas dan menyentak. “Betemu” lagi dengan pak pendeta, Yulius O Lopo yang kini jadi direktur pemberitaan Top TV Papua. Kepada merekalah –tentu pula dengan Dion dan Om Damyan Godho yang jadi tokoh sentral Pos Kupang– saya belajar banyak bagaimana gairah, ruh, spirit, bahu-membahu untuk menjalankan sebuah niat, membangun koran. Dan, mereka berhasil.

di-bandung-nasi-pun-berpayung-kaka.jpg
Santap malam sebelum rapat kerja: “Ai Kaka… di Bandung, nasi pun berpayung ko?
***
SAYA masih ingat betul, bagaimana sulitnya merekrut tenaga wartawan. Ketika itu, Pos Kupang baru saja ditinggal “bedol desa” oleh sejumlah wartawan dan redakturnya yang ikut Valens Goa Doy yang diberi kepercayaan mengelola Berita Yuda versi baru. Belakangan, proyek Berita Yuda itu tak berlanjut.

Rekrutmen pertama, berhasil menghimpun kemudian menyaring calon wartawan. Empat orang! Kami melatihnya secara penuh, kelas dan lapangan. Sampai akhir masa pelatihan, tak ada satu pun yang memadai. Bisa dipaksakan, tapi akan menyiksa mereka sendiri dan mungkin mengganggu sistem. Maka, buka lagi rekrutmen. Hasilnya, nihil lagi.

Toh, akhirnya dapat juga. Itu setelah berlangsung rekrutmen “ronde” ketiga. Dari sejumlah pelamar yang masuk dan lulus testing, kali ini tampak bibit-bibit yang sangat potensial. Dan terbukti, sebagian di antara mereka kini menduduki posisi-posisi penting di Pos Kupang. Satu dua lainnya, juga jadi tokoh jurnalis di luar Pos Kupang.

Itu dari satu sisi, SDM. Sisi lain, infrastruktur, jalur distribusi, persebaran penduduk di puluhan pulau, adalah tantangan lain yang hanya akan bisa diterobos dengan gairah yang dimiliki para awak Pos Kupang. Jika tidak, koran itu mungkin kini tinggal nama, bukan lagi jadi satu pilar yang kokoh dalam kehidupan demokrasi dan bisnis di NTT sebagaimana sosoknya yang tampak hari-hari ini.

Sebelum belajar ke Pos Kupang, saya sudah “sekolah” di Bandung (Bandung Pos, Mingguan Pelajar, Salam, dan kemudian Mandala – saat koran ini digandeng Kelompok Kompas-Gramedia), di Yogya (Bernas), di Palembang (Sriwijaya Post). Sarana, fasilitas dan infrastruktur di koran-koran itu boleh dibilang termasuk sederhana untuk ukuran sebuah industri koran di Jawa dan Sumatera saat itu. Tapi, begitu masuk ke Pos Kupang, saya seperti sedang menyaksikan dan ikut dalam sebuah gegar tekonologi (jika istilah ini ada).

Sampai pada proses pracetak, infrastruktur Pos Kupang tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang digunakan di Bernas. Tapi begitu masuk proses cetak, ya ampun. Saya seperti terlontar ke masa silam. Masa sekitar tahun 70-an, manakala saya sering ngintil paman saya mengantarkan naskah untuk korannya ke percetakan Ganaco NV di Bandung. Itu pun, mesinnya sudah agak lebih “modern” dibanding dengan yang digunakan Pos Kupang.

Sebagai ilustrasi, untuk mencetak 3000-4000 Pos Kupang saat itu, kami membutuhkan waktu antara 6-7 jam! Selain mesin, puluhan orang –tetangga sekitar– juga terlibat dalam penerbitan surat kabar ini. Tiap pagi, mulai pukul 03.00 belasan orang berderet di meja lipat di sisi lain percetakan. Ya, mereka jadi juru lipat dan juru sisip koran tabloid “setebal” delapan halaman itu!

Itu jika mesin tidak ngadat. Namanya mesin sepuh yang “berpengalaman” panjang, tentu pula acapkali macet. Ada saja gangguannya. Sampai-sampai pernah Om Damy meminta khusus pastor memberkati mesin itu. Menyembahyangi, kemudian memercikkan air suci.

Toh, mesin tak jua mau kompromi, sesekali penyakitnya datang lagi. Sampai sekali waktu, Om Damy mendatangkan paranormal untuk –jika ada– mengusir demit penyakit yang ngendon di itu mesin. Upacara pun digelar di lantai pelat baja sisi mesin. Potong ayam dan mengucurkan darahnya di lantai. Lalu ditaruhlah telur di atas genangan kecil darah itu. Beberapa saat kemudian, darah terserap entah ke mana!

Paranormal itu bermeditasi, merapal mantra, lalu bangkit bergerak ke arah mesin. Ia menunjuk sebuah titik hitam di sisi luar dinding mesin itu. Mengorek-ngoreknya sebentar, dan…. seperti ujung rambut, sepotong kawat mencuat. Ditariklah kawat itu, ternyata panjang. Seperti terkait ke suatu mekanisme di dalam mesin.
Dan ternyata, mesin itu tetap saja dengan sifat tuanya. Sesekali masih ngadat dan ogah mencetak. Jika sudah begini, tak ada jalan lain kecuali memindahkan cetakan ke Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) milik Deppen setempat.

Tapi, bagi saya, “pastor” maupun “pawang” mesin itu yang sesungguhnya adalah Ign Setya Mudya Rahartono (kini mengepalai unit cetak Pos Kupang). Putra Yogya inilah yang dengan telaten ngopeni mesin peninggalan zaman “purba” itu hingga mampu mengantar Pos Kupang menuju masa-masa kejayaan.

Tokoh lain yang menurut saya berperan besar adalah Bildad yang berhasil memegang kunci pengelolaan infrastruktur teknologi informatika Pos Kupang. Yang mengagumkan saya dari Bildad, adalah dia belajar secara otodidak mengenai IT. Pada masa itu, di Kupang belum ada lembaga, bahkan sebatas, kursus mengenai komputer/IT. Ilmu yang berhasil dikuasasinya ternyata menjadi tulangpunggung kelancaran proses kerja penerbitan surat kabar di Tanah Timor itu.

Selain  soal mesin dan keterbatasan infrasutrktur pendukung,  kertas juga jadi masalah utama, karena sangat tergantung pada pengriman dari Surabaya. Kapal pengirim, tergantung cuaca. Pernah sekali waktu, proses pracetak sudah rampung, tapi percetakan tak bisa bergerak karena kertas habis. Kiriman belum masuk karena kapal tertahan jauh dari pelabuhan. Belum bisa merapat.

Maka, menjelang tengah malam, Om Damy dan Domu melesat ke seantero pojok kota Kupang, menggedori toko yang menjual kertas ukuran plano. Dapat! Beberapa rim, cukup untuk oplaag hari itu. Mesin cetak pun bergerak. Dan hari itu Pos Kupang terbit warna warni. Kertasnya, yang warna warni! Ada yang warna telur-asin, hijau muda, kuning muda, putih, ada yang gabungan antara kertas putih dan warna lain!
Hebatnya, koran itu tetap laris dibeli orang!

***
borong-abis-na.jpg
ayo-foto-bersama-yang-melirik-nona-sendiri.jpg
Usai rapat kerja, 6 Desmber 2007, singgah ke Tribun Jabar. Ayo foto bersama! ajak Dion. Klik, dan di antara “kebersamaan” itu, cuma satu orang yang melirik ade nona! Hehehehehe…. Atas: Sempat pula pi pesiar sambil borong abis macam-macam barang. Saya diapit Dion dan Daud (Pemimpin Perusahaan Pos Kupang)
***
ITU cuma sekelumit dari gambaran nyata keadaan saat itu. Kini cerita itu tentu tinggal kenangan. Para kerabat kerja Pos Kupang telah mulai mereguk hasil kerja keras mereka yang tiada henti. Koran ini sudah mendarah daging dan jadi bagian hidup warga NTT, menjadi ruh informasi mereka, menjadi penerang, jadi penggerak opini publik, jadi pengontrol yang awas dan dipercaya.

Dion yang kini jadi pemimpin redaksi koran itu selalu bersemangat saat menceritakan, membandingkan dan menggugat, jika kami sedang rapat kerja, setidaknya setahun sekali. Keadaan sekarang, mungkin sudah jauh berubah. Setidaknya, sarana, fasilitas, dan infrastruktur pendukung, mungkin sudah lebih baik dibanding 12-15 tahun silam.

Tapi, tentu segalanya masih jauh tertinggal oleh perkembangan yang terjadi di daerah-daetah lain di luar NTT, terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Toh Dion Cs tetap dalam spiritnya, tetap dalam gairah yang sama dengan saat-saat saya mulai berguru kepada mereka 12 tahun silam. Hebat!
Buku yang dihadiahkannya itu sedikit mengobati kerinduan saya untuk menghirup kembali udara Kupang. Setidaknya, lewat buku itu saya bertemu dan “mendengar ” pembicaraan mereka, tidak saja mengenai Pos Kupang, melaikan mengenai hal-hal lain yang ingin saya ketahui dalam konteks kekinian.

Terimakasih, Dion. Terimakasih Om Damyan Godho. Terimkasih para guru besar saya di Kupang !! **
orang-bandung-makan-daun-ko.jpg
“Orang Bandung cuma makan daun ko, Kaka?”

Menulis Itu Pekerjaan yang Menyenangkan!

Dion DB Putra
Dionisius Dosi Bata Putra atau nama by line di media Dion DB Putra lahir di Pemo, sebuah
kampung kecil di pelataran bukit Desa Wolosoko, Kecamatan Wolowaru Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur  (NTT) pada  13 Juni 1969.

Dia merupakan putra keempat dari tujuh  orang bersaudara anak pasangan Thomas Bata (1933-2002) dan Theresia Masi (1943-2011).  Ayahnya seorang guru  Sekolah Dasar (SD) dan ibunya hanya sempat mengenyam pendidikan di tingkat Sekolah Rakyat (SR).

Pendidikan formal terakhir diselesaikan Dion di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Nusa Cendana Kupang (Undana)  tahun 1995. Pendidikan non formal  pun dikecapinya baik  di dalam  maupun di luar negeri. Terakhir pada bulan Maret 2010, Dion mengikuti pelatihan kepemimpinan di Jerman yang difasilitasi lembaga  Friedrich Naumann Stifung (FNS).

Dion terjun di dunia jurnalistik dalam usia sangat muda yaitu tahun 1989 sebagai koresponden sejumlah mingguan terbitan lokal NTT maupun nasional. Tahun 1992, Dion bergabung dengan Harian Pos Kupang  (Kompas Gramedia Group). Dion menjadi wartawan koran harian pertama di Provinsi NTT sejak awal terbit 1 Desember 1992 hingga menjadi Pemimpin Redaksi (2005-2011).  Dia pernah ditugaskan meliput di Australia (1995, 1996), Timor Leste (1997, 2009) dan lawatan ke Jerman (2010).  Di dalam negeri Dion sudah banyak berkeliling di berbagai pelosok Nusantara terutama dalam lingkup koran jaringan Kompas Gramedia. Sejak tahun 2012 hingga sekarang Dion ditugaskan membantu manajemen Harian Pagi Tribun Manado sebagai Manajer Produksi.

Sejak tahun 1992 itu pula Dion menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia  (PWI).  Tahun 1997-2012 masuk pengurus harian, Ketua Bidang Organisasi PWI Cabang NTT (2002 2007) dan tahun 2008 terpilih secara aklamasi sebagai  Ketua PWI Cabang NTT periode 2008 2012. Dalam Konfercab di Kupang tahun 2012, Dion lagi-lagi dipilih aklamasi untuk menahkodai PWI Provinsi  NTT periode 2012-2017. 

Pelatihan di lingkup PWI yang pernah dijalaninya antara lain Pelatihan Pelatih  PWI Pusat (2001) dan pelatihan  Saksi Ahli Dewan Pers  tahun 2010. Tahun 2011 saat peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Kota Kupang,  Dion mampu membangun tim yang solid hingga peringatan HPN  2011 berjalan lancar dan sukses.  Kala itu Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tiga hari berada di NTT, termasuk bermalam di daerah perbatasan Belu-Timor Leste.

Tuan HPN pada tanggal 7-10 Februari 2011 merupakan pengalaman pertama Propinsi NTT menggelar event berskala nasional yang menghadirkan ribuan anggota delegasi dari seluruh Indonesia termasuk perwakilan dari tujuh negara asing.  Akomodasi hotel di Kupang yang sangat terbatas tidak mengurangi makna peringatan HPN tahun 2011. Sejak sukses menggelar HPN 2011, geliat ekonomi Kota Kupang berubah drastis.

Dion termasuk produktif menulis. Beberapa karyanya, Buku Menjadi Lilin Bagi Sesama,  Mengenang Valens Goa Doy & Julius Siyaranamual, Penerbit Pos Kupang, Juli 2005),  Achtung Afrika, Buku Panduan Piala Dunia 2006, Penerbit Pos Kupang, April 2006),  Buku 15 Tahun Pos Kupang: Suara Nusa Tenggara Timur, editor bersama Tony Kleden dan Maria Matildis Banda,  Penerbit PT Timor Media Grafika, November 2007),  Buku 50 Tahun Ziarah Pangan Nusa Tenggara Timur, editor bersama Tony Kleden dan Jonatan Lassa,  Penerbit PT Timor Media Grafika, Juli 2009),   Buku Bola itu Telanjang, Penerbit Lamalera Yogyakarta,  Juli 2010). Bagi ayah dua orang anak ini menulis adalah pekerjaan yang menyenangkan! *

Dari Buku: Hiruk Pikuk Pilkada dan Kursi Dewan, 2014

Pemimpin Marga Soeharto 20 Kupang

RIBUAN bahkan puluhan ribu orang pernah mengecapi pembinaan di PMKRI Cabang Kupang St Fransiskus Xaverius sejak organisasi ini berdiri pada tahun 1963.

Anak-anak binaan PMKRI suka mengklaim diri sebagai anak marga, marga Kupang yang sekretariatnya di Jalan Jenderal Soeharto No.20 Kupang masih kokoh berdiri sampai hari ini.

Marga tua itu merupakan saksi sejarah perjalanan PMKRI Cabang Kupang membina putra-putri Nusa Tenggara Timur (NTT)  sejak masa pergolakan tahun 1960-an hingga saat ini.

Berikut ini secuil  catatan saya tentang Ketua Presidium dan Sekretaris Jenderal PMKRI Cabang Kupang selama periode tahun 1963 hingga 1995. Catatan ini saya kumpulkan ketika dipercayakan menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PMKRI Cabang Kupang periode 1992-1993.

Jujur memang, banyak notulensi, catatan-catatan historis marga Kupang yang tidak tersusun secara baik sehingga ada data yang tidak ditemukan. Maklumlah mahasiswa dan mahasiswi, gejolak remajanya harus dimaklumi. Ada yang disiplin, ada pula yang wira-wiri sonde jelas.

Ketua Presidium dan Sekjen PMKRI Kupang 1963-1995

Tahun 1993-1964:  Ketua:  Nano Fernandez
                              Sekjen:  D Sanggudoa

Tahun 1964-1965:  Ketua: Domi Ule Ander
                               Sekjen: data tidak ditemukan?

Tahun 1965        :   Ketua :Kanis Pari atau Bung Kanis (sekitar 4 bulan ganyang PKI)
                              Sekjen: data tidak ditemukan?

Tahun 1966-1967:  Ketua: Eman Gadi Djou
                              Sekjen: Domi Ule Ander dan Blasius Manek

Tahun 1967-1968:  Ketua: Piet Nuwa Wea
                              Sekjen: John Letto

Tahun 1968-1970:  Ketua: John Kaunang
                              Sekjen: Silvester Tjung

Tahun 1970-1971:  Ketua: Rofinus Gagalama
                               Sekjen: data tidak ditemukan

Tahun 1971-1972:  Ketua: Wem Kaunang
                               Sekjen: Mansu Mandaru

Tahun 1974-1975:  Ketua: Mansu Mandaru
                              Sekjen: Anton Teti

Tahun 1975-1977:  Ketua: Eman Goring
                               Sekjen: H Boleng

Tahun 1977-1978:  Ketua: Eman Babu Eha
                               Sekjen: Frans Kape

  
Tahun 1978-1979:  Ketua: Frans Kape
                               Sekjen: Blasius Lema


Tahun 1979-1980:  Ketua: Wem Kabosu
                              Sekjen: Yos da Silva


Tahun 1980-1981 :  Ketua: Johny Pari
                               Sekjen: Yuli Lamuri

Tahun 1981-1982:   Ketua: Teng Karwayu
                               Sekjen: Yonas Mita

Tahun 1982-1983:   Ketua: Simon Hayon
                               Sekjen: Kamelus Deno

Tahun 1983-1985:   Ketua: Chris Boro Tokan
                                Sekjen: Flori Mekeng

Tahun 1985-1986:   Ketua:  Flori Mekeng
                               Sekjen: A Balaweling

Tahun 1986         :   Ketua: Lambert Ibi Riti (hanya dua bulan)

Tahun 1986-1988:  Ketua: Servas Lako Nage
                               Sekjen: Theo Maran

Tahun 1988-1989:  Ketua: Fredy Kabobu
                               Sekjen: Egidius Nurak

Tahun 1989-1990:  Ketua: Anton Doni
                              Sekjen: Tiago Hornai


Tahun 1990-1991:  Ketua: Tiago Hornai
                              Sekjen: Marten Darmonsi Dogon

Tahun 1991-1992:  Ketua: Sipri Sabon Nama
                              Sekjen: Janes E Wawa

Tahun 1992-1993:  Ketua: Aloysius Min
                              Sekjen: Dion DB Putra

Tahun 1993-1994:  Ketua: Janes E Wawa
                               Sekjen: Yos Lega Laot

Tahun 1994-1995:   Ketua: Yos Lega Laot
                               Sekjen: Gabriel Ola


Lima Kardus dari Kenari Satu

ilustrasi
HARI itu Senin 4 Juli 2011 kubawa pulang ke pondok sempit sederhana di Kolhua lima kardus berisi buku, kliping koran, foto-foto  dan bahan cetakan yang masih berguna. Sontak tersadar itulah kekayaanku selama 19 tahun di Harian Umum Pos Kupang. Kekayaan tak ternilai dengan uang karena sebagian besar dia telah membentuk sosokku sebagai Dion DB Putra. Dalam keterbatasanku sebagai manusia saya  ikut menyumbang untuk lembaga ini dari titik nol 1 Desember 1992.

Kubawa pulang ke rumah buku-buku, kliping koran, foto dan bahan cetakan itu yang memang milik pribadiku. Di ruang kerjaku yang segera dikosongkan untuk pejabat redaksi yang baru jauh lebih banyak buku, kliping koran, piala, bahan cetakan dan lain-lain. Itu aset Pos Kupang, milik perusahaan. Aku hafal dan tahu persis, mana yang milik pribadi dan mana milik institusi.

Dengan menyewa mobil bak terbuka (pick up)  yang biasa mangkal di depan kawasan Pasar Inpres Naikoten I, kubawa lima kardus itu ke perumahan BTN Kolhua. Biaya sewanya Rp 25 ribu.  Hari yang sama rekanku Tony Kleden pun mengepak buku-buku dan barang pribadinya untuk dibawa pulang ke rumahnya di kawasan Liliba, Kupang.

Dalam beberapa hal saya dan Tony punya hobi yang sama. Suka koleksi buku dan kami berhasil menghadirkan sejumlah judul buku demi menaikkan branding Pos Kupang dalam kurun waktu 2005-2011.  Kami berdua harus kosongkan ruang kerja karena demosi dan mendapat tugas baru di luar Kota  Kupang. Saya ditugaskan hanya  bekerja untuk Harian FloresStar di Maumere, Tony jadi reporter Pos Kupang di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).

Jarum jam di ruang redaksi menunjukkan angka pukul 15.45 Wita tatkala rekan- rekanku Dulah, Fidel, Robert dan Mad membantuku membawa keluar lima kardus itu menuju halaman parkir Pos Kupang.

Ada yang menatapku sedih. Novri, Ira, Metyl  dan Feny kulihat menitikkan air mata. Saya minta mereka tidak usah menangis. Toh saya masih di lingkungan Pos Kupang. Tidak ke mana-mana.  Tapi tak sedikit yang tersenyum melihat momen hari itu , entah apa di dalam benak mereka, kawan-kawanku juga.

Beberapa rekan menawarkanku bawa pulang lima kardus itu dengan mobil dinas Pemimpin Redaksi  Pos Kupang. Kutolak halus. Dion bukan lagi pemimpin redaksi yang berhak menggunakan fasilitas itu. Sejak 1 Juli 2011 Dion wartawan biasa dan Dion tahu diri. Bahkan selama jadi pemimpin redaksi, mobil dinas itu tidak pernah diparkir di depan rumahku. Gara-gara itu saya pernah disebut orang aneh, bahkan disebut orang paling bodoh!

Di dalam satu kardus kusisipkan satu edisi koran Pos Kupang terbitan 1 Juli 2011. Itulah  edisi terakhir koran yang saya hasilkan bersama teman-temanku Redaktur Pelaksana, Dami Ola, Tony Kleden, Hyeron  Modo. Per 1 Juli 2011, saya, Tony dan Dami bukan lagi yang menentukan di newsroom Pos Kupang.  Ruang itu kini ada di tangan teman-teman kami, Benny Dasman, Agus Sape, Marsel Ali dan Hyeron Modo. Edisi terakhir ini akan kusimpan baik-baik dan suatu saat akan kutunjukkan kepada anak-anakku  bahwa ayahmu ini pernah menjadi pemimpin redaksi Pos Kupang sejak 2005-2011. (Hehehe... sombong sedikit di dalam rumah).

 Dalam rentang waktu itu selain Pos Kupang, hadir juga Mingguan Spirit NTT (sejak 8 Mei 2006) dan Harian FloresStarr. Saya tidak tahu nasib Spirit dan FloresStar ke depan. Cuma ada dua kemungkinan, hidup terus atau berhenti.  Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Saya berharap di tangan pemimpin baru Pos Kupang jauh lebih baik, lebih maju dan lebih mensejahterakan karyawan-karyawati PT Timor Media Grafika.

Saya lumayan kenyang belajar tentang teori manajemen dan kepemimpinan di kampusku Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Nusa Cendana, lembaga- lembaga pelatihan nasional dan internasional bahkan sampai di Jerman 2010. Saya kenyang mempraktikkan manajemen dan kepemimpinan itu dalam keseharian. Maka saya memang sempat terkejut ketika didemosi pada 1 Juli 2011 tanpa penjelasan sesuai Key Perfomance Indicators (KPI) yang lembaga Pos Kupang (Kompas Gramedia Group)  anut sejak 2007.  Tapi benakku segera bergumam, ini semua akhirnya akan diuji oleh waktu.

Saya berusaha profesional sajalah. Sejatinya diriku adalah wartawan. Dunia kewartawanan tidak mengenal eselonering seperti di birokrasi. Saya konsekwen dengan apa yang kerap saya katakan di lingkungan Pos Kupang bahwa tak ada orang yang tak tergantikan di suatu lembaga. Siapa pun bisa digantikan jika waktunya sudah tiba.

Terlepas dari cara pergantian ini yang masih bisa diperdebatkan, mungkin memang sekaranglah waktunya buat saya, Tony, Dami dan teman-teman yang lain seperti Ferry, Even dan Etty (ketiga terakhir manajer di divisi bisnis Pos Kupang) untuk meninggalkan pos lama. Kami harus memulai sesuatu yang baru. Sudah waktunya kesempatan ini diberikan kepada rekan yang lain, yang mudah-mudahan membawa "perubahan" sebabagaimana tema sentral yang dikatakan pimpinan Pos Kupang saat melakukan mutasi dan demosi per 1 Juli 2011.

Ketika menulis secuil kenangan ini di Maumere yang terik, di ruang kamar kosku yang sempit dengan nyamuk kadang hilir mudik mencari darah di tubuhku, saya tetap bersyukur. Syukur tiada akhir karena diberi pelajaran penting tentang hidup.

Setelah 19 tahun bergelut dengan jadwal deadline yang ketat sebagai pengelola di Mabes Pos Kupang, setelah 15 tahun berkutat dengan cari angle untuk headline utama dalam kapasitasku mulai dari level wakil redaktus, redaktur desk, sekretaris redaksi,  wakil redaktur pelaksana, redaktur pelaksana, wakil pemimpin redaksi dan pemimpin redaksi Pos Kupang, di Maumere yang panas terpanggang namun ikan segarnya enak luar biasa ini, Dion kembali belajar tentang hal-hal baru di dunia kewartawanan. Kerjaku tidak seberapa berat di Harian FloresStar.

Tidak akan ada lagi momen dimana saya harus peras isi otak bersama teman-teman mencari angle untuk jualan esok hari. Tugasku kini sangat simpel. Menulis berita, bantu edit berita beberapa rekan di biro Maumere  lalu kirim ke ruang redaksi di Kupang. Teman-temanku di sanalah yang menentukan, berita dipublikasikan atau tidak. Saya bukan lagi penentu kebijakan redaksional. Kuingat peribahasa ini setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri!

Malam-malam panjang di Kenari Satu Kupang bagiku untuk sementara sudah berakhir sejak 30 Juni 2011. Sekarang saatnya bagiku untuk retreat. Menarik diri sejenak dari rutinitas meskipun berat nian harus berpisah dengan istri dan anak- anakku yang masih butuh kehadiran sosok ayah di samping mereka.

Tanggal 1 Desember 1992, saya datang ke Jalan Jenderal  Soeharto Nomor 53 Kupang (kantor pertama Pos Kupang) dengan semangat bekerja total. Berusaha memberi yang terbaik dengan tangan dan kakiku yang dibatasi  keterbatasan manusiawi.  Totalitasku tak berubah sampai detik ini. Saya mencintai Pos Kupang, Dion DB Putra masih jatuh cinta pada profesi jurnalis. Entah sampai kapan....

Maumere, 7 Oktober 2011.
Genap tiga bulan di "Kota Tsunami"
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes