Tangkap ikan Paus di Lamalera |
Hal itu disampaikan Yos Bataona, tokoh masyarakat Lamalera, Rabu (16/9/2015) siang. Dikatakannya, meski ada kebun di darat, tapi kebun di laut merupakan yang paling utama. Sebab seluruh hasil dari laut, membawa banyak manfaat bagi hidup masyarakat.
Sejak berabad-abad lamanya, tutur Yos, orang Lamalera menggantungkan hidupnya pada laut. Laut tak hanya untuk menangkap ikan paus, tetapi juga jenis ikan lain, di antaranya ikan pari. Hanya saja, paus merupakan pilihan yang utama.
Untuk menangkap mamalia itu, demikian Yos, harus melewati banyak tahapan, baik ritual adat oleh tetua adat maupun misa pemberkatan leva oleh pastor. Misa setiap tanggal 1 Mei tak hanya momen untuk memberkati laut, tetapi juga memberkati seluruh sarana dan prasarana yang digunakan untuk menangkap ikan paus.
Pemberkatan leva itu juga bermakna amat luas. Artinya, laut yang merupakan kebun bagi orang Lamalera, harus disucikan terlebih dahulu agar dengan penyucian tersebut, laut bisa memberikan hasil melimpah. Hasil melimpah itu berupa banyaknya ikan paus yang dapat ditangkap dan dibawa sampai ke darat.
Bagi orang Lamalera, lanjut Yos, ikan paus merupakan hadiah dari Tuhan. Artinya, Tuhan memberikan hadiah itu kepada orang Lamalera untuk dimanfaatkan sebaik- baiknya bagi hidup. Lantaran merupakan hadiah Tuhan, maka seluruh proses hingga paus ditangkap, senantiasa diwarnai rangkaian seremoni adat dan misa leva. Untuk menangkap ikan paus, jelas Yos, orang Lamalera melakukannya dengan cara tradisional. Sang raja laut itu ditangkap dengan peralatan amat sederhana. Hanya dengan tempuling yang dihujamkan berkali-kali ke tubuhnya, ikan paus itu akhirnya mati akibat kehabisan darah.
Bagaimana caranya agar ikan paus itu dapat dilumpuhkan, Yos mengatakan, itu tergantung pada lamafa. Ketajaman instingnya, keberaniannya, kecepatan, ketepatan dan ketangkasannya, menjadi penentu. Berikutnya, adalah kepekaan asisten lamafa dan kekompakan para awak peledang.
Saat lamafa hendak melompat untuk menghujamkan tempuling pada tubuh paus, tuturnya, asisten lamafa juga harus pandai membaca olah gerak ikan paus, ke mana arah ikan paus itu berenang, bagaimana kondisi laut saat itu, bagaimana kecepatan arus laut, besarnya gelombang dan lainnya. Ini penting agar tali yang diikat pada tempuling dan ujung tali lainnya diikat pada bodi peledang, tidak sampai melilit sang lamafa seusai menghujamkan tempuling pada ikan paus yang oleh orang Lamalera disebut sebagai kotek lema.
Jika salah mengatur tali, maka nasib lamafa bisa menjadi lain. Sang juru tikam itu dapat mengalami kecelakaan yang fatal. Makanya, saat memburu ikan paus, antara lamafa dan asistennya harus terus berkoordinasi. Bila memungkinkan, naluri asisten pun harus sama tajamnya dengan lamafa. Yang juga sama pentingnya, adalah peran seluruh awak peledang. Saat lamafa meloncat menjemput ikan paus, misalnya, para awak peledang juga wajib konsentrasi penuh.
Para awak peledang juga perlu memberi suport kepada lamafa, sehingga kekuatannya diarahkan seluruhnya pada penikaman itu. Suport para awak peledang itu akan ikut menambah keberanian lamafa kala menikam ikan paus. Bila paus sudah tertikam, tuturnya, maka sesuai tradisi orang Lamalera, tidak seorang awak peledang membantu lamafa naik kembali ke atas perahu. Lamafa harus berjuang sampai ke atas perahu.
"Biasanya lamafa sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Jadi tidak mungkin lamafa meminta bantuan, karena saat itu seluruh awak peledang sudah konsentrasi menaklukan paus,” ujarnya.
Para awak peledang juga, harus pandai-pandai mengikuti ke mana arah ikan paus berlari. Mereka juga harus selalu memperhatikan simpul tali yang menghubungkan peledang dengan ikan paus. Jika paus itu tak terlalu besar, maka waktu yang dibutuhkan untuk menaklukannya, tak terlalu lama. Tapi jika sebaliknya, paus itu besar, maka proses penaklukannya pun lama. Adakalanya peledang itu ditarik jauh ke tengah laut sampai ke lautan lepas.
Menangkap paus itu ada risikonya. Ada kalanya paus menarik peledang sehingga sama-sama 'menyelam'. Dalam kondisi demikian, awak peledang sudah tahu apa yang harus diperbuat. Kalau ada peristiwa semacam ini, orang tua di Lamalera sudah tahu. Mereka akan menggelar ritual adat untuk menyelamatkan para awak peledang itu. "Cepat atau lambat orang yang ikut dalam peledang itu akan selamat dari bahaya,” tutur Yos. (frans krowin)
Nanti Paus yang Tunjuk
BERNADUS Batafor menuturkan, penangkapan ikan paus merupakan muara dari sebuah proses panjang, mulai dari pembuatan peledang. Kayu untuk perahu, merupakan kayu pilihan. Namanya kayu merah yang oleh warga setempat disebut knaa.
Untuk mendapatkan jenis kayu ini, jelasnya, pembuat perahu harus ikut mencarinya. Maksudnya, ketika mendapat kayu knaa di hutan, molan (pembuat perahu) bisa memberitahu, apakah kayu tersebut bisa untuk pembuatan peledang atau tidak.
Makanya bersama warga, molan juga harus ikut keluar masuk hutan. Dari Lamalera, mereka mencari knaa sampai wilayah Atadei. Bahkan masuk ke hutan Lodoblolong dan sekitarnya di Kecamatan Lebatukan. Kalau ada breung (teman), maka saat kita cari knaa kita bisa tanya ada tidaknya knaa di wilayah hutan yang hendak kita tuju,” kata Bernadus, ditemui Pos Kupang, Rabu (16/9/2015).
Selepas mendapatkan knaa, lanjutnya, urusan berikutnya membuat perahu. Pembuatannya bisa cepat, bisa lambat, tergantung ketersediaan kayu. Pemasangan papan juga tak boleh menggunakan paku atau unsur besi lainnya. Peran paku digantikan pasak yang oleh masyarakat setempat disebut ketilo.
Penyambungan antarpapan tidak boleh salah. Pemasangan ketilo pun demikian. Pemasangan ketilo harus berselang seling dan tidak boleh bersentuhan satu sama lain. Kalau ada yang salah, maka ikan paus yang akan menunjukkan, di mana letak kesalahan tersebut.
Jadi buat peledang-nya di darat, tapi jika ada kesalahan, nanti paus yang akan menunjukkan kesalahan pada peledang itu. Paus menunjukkannya dengan cara memukul-mukulkan ekornya ke peledang,” ungkap Bernadus.
Kalau dulu, demikian Bernadus, satu peledang berukuran 11x3 meter bisa dikerjakan berbulan-bulan lamanya. Tapi sekarang, setelah ada kemudahan, pembuatan peledang lebih cepat.
Apakah pembuatan perahu ada kaitannya dengan latarbelakang ekonomi keluarga? Ia mengatakan, sejak dulu pembuatan peledang berasaskan kebersamaan. Anak-anak suku saling membantu saat membuat perahu mulai dari awal sampai selesai.
Yang buat perahu juga bukan sembarang orang. Orang tersebut harus terampil dan memiliki kemampuan lain. Biasanya kami sebut sebagai molan atau sering pula disebut laba ketilo. Tukang laba ketilo itu merupakan orang-orang pilihan,” ujarnya.
Jika laba ketilo tak mampu lagi membuat peledang karena faktor usia, misalnya, maka akan ada turunannya yang diyakini pasti mewarisi kemampuan tersebut. Jadi, semuanya seperti sudah digariskan. Dan itu terjadi sampai saat ini.
Kalau pembuatan peledang berjalan mulus sampai selesai, tidak ada kesalahan di sana sini, maka saat peledang itu digunakan untuk mengejar dan memangkap paus, maka pemilik peledang akan mendapat jatah khusus. Pembagiannya sudah jelas dan itu berlaku sampai sekarang,” ujarnya. Yang unik dari pembagian itu, tutur Bernadus, adalah pemilik peledang membagi ikan paus itu dengan cara membuat garis menggunakan parang atau benda tajam lain. Setelah pembagian tersebut, silakan warga memotong sendiri untuk dibawa pulang.
Pembagiannya pun adil, di mana semua warga mendapatkan jatah daging paus. Bahkan sampai saat ini, tidak pernah ada yang mengklaim jatahnya kurang dari warga lainnya. Selama ini tidak pernah ada yang protes, si A dapat jatah lebih besar atau si B dapat bagian lebih banyak. Ini karena pembagiannya adil. Semua warga mendapat jatah dari paus yang ditangkap itu,” ujarnya.
Ibu-ibu yang Penetan
Kisah tentang penangkapan ikan paus, tak bisa diceritakan cuma semalam. Kisahnya teramat panjang, sebab tradisi yang satu ini sudah dilakukan sejak abad 15 silam. Ceritanya pun tak akan bosan didengar, karena di balik penangkapan ikan paus itu, terpendam aneka khasanah budaya yang sungguh menawan.
Kalau daging paus sudah dipotong dan dibawa pulang, maka hari-hari berikutnya adalah ibu-ibu mulai penetan (jual). Mereka jual dari desa ke desa, dari pasar ke pasar. Wulandoni merupakan pasar yang menjadi tempat penetan, kata Markus Sidhu Batafor, saat ditemui di kediamannya, Rabu (16/9/2015) siang.
Dia menuturkan, pada masa lalu, ibu-ibu yang hendak penetan, meninggalkan rumah tatkala hari masih gelap. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 03.00–04.00 dini hari, kata Markus, ibu-ibu mulai meninggalkan rumah untuk penetan daging ikan paus ke desa-desa. Mereka membawa obor di tangan sambil menjunjung daging paus yang hendak dijual.
Ibu-ibu tersebut tak hanya menjualnya untuk dapatkan uang, tapi juga menukarkan dengan barang lain (barter) milik warga pegunungan. Ada yang menukarkan daging paus dengan jagung, kacang, pisang, ubi, asam, kemiri dan lainnya. Saat penetan itu, ibu-ibu membawa jualan yang berat di kepala, pulang juga membawa hasil yang sama pula beratnya. Barang hasil jualan itu tak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi juga untuk membiayai kebutuhan lainnya.
Prinsipnya, daging paus yang dibawa harus habis dibeli atau ditukar dengan barang lain. Hasilnya dibawa pulang untuk kebutuhan keluarga. Makanya, bukan orang Lamalera kalau tidak kerja keras,” tutur purnawirawan TNI berpangkat kolonel ini. Sisi menarik lainnya, adalah penetan itu bukan hanya dilakukan ibu-ibu di Lamalera, tetapi wisatawan mancanegara. Ada profesor dari Inggris yang datang ke Lamalera bersama istri untuk penelitian. Mereka menetap dua tahun.
Selama berada di Lamalera, sang istri membaur bersama ibu-ibu, lalu melakukan penetan bersama ke desa-desa juga ke pasar. (kro)
Yohanes Blikololong: Ada yang Hilang
SAYA mulai gusar melihat Lamalera saat ini. Tradisi penangkapan ikan paus masih terwarisi secara baik. Namun ada hal tertentu yang mulai redup, bahkan hilang dari Lamalera. Kalau dulu, saat orang berteriak baleo..., baleo..., saat itu juga para pria dewasa langsung bergegas menuju pantai dan mendorong peledang masuk laut.
Ketika semua sudah di atas perahu, terdengar nyanyian yang syairnya membangkitkan semangat awak peledang untuk lebih kuat mendayung perahu. Sepanjang peledang didayung, sepanjang itu pula syair-syair adat dinyanyikan bersama-sama.
Syair lagu itu tak hanya terdengar saat peledang memburu paus. Saat mereka pulang dari pengejaran pun, syair-syair adat dinyanyikan lagi. Bahkan dari nyanyian itu, bisa diketahui apakah mereka berhasil mendapat paus ataukah tidak.
Melalui nyanyian pula dapat diketahui apakah paus yang diburu tersebut terlepas saat ditangkap, ataukah paus itu dikejar tapi tak didapat. Semua perjuangan untuk mendapatkan paus bisa diketahui melalui lagu.
Akan tetapi, lagu-lagu tersebut, kini tak terdengar lagi. Bahkan syair lagu pun sepertinya sudah hilang dari ingatan para pria pemburu paus. Ini terjadi, karena proses pengejaran paus sudah berbeda dengan masa lalu.
Kalau dulu, ketika terdengar suara teriakan baleo..., saat itu juga para pria dewasa langsung menuju pantai tempat peledang didaratkan. Sejurus kemudian, mereka mendorong peledang masuk laut dan mereka mulai menerjang gelombang pantai selatan.
Saat-saat itulah terdengar nyanyian untuk membangkitkan spirit mengejar paus. Tapi sekarang, para awak peledang hanya mendorong peledang masuk laut. Setelah itu, jonson (perahu motor yang dilengkapi mesin tempel) langsung mengambil peran, menarik peledang itu sampai ke tengah laut, mendekati paus yang diburu.
Bila sudah mendekati sasaran, maka anak buah kapal (ABK) memisahkan diri dari peledang lalu menunggu sampai drama penangkapan ikan paus itu berakhir. Perahu itu berlabuh tak jauh dari peledang dan menanti sampai adegan penangkapan ikan
paus itu selesai.
Jika ikan paus berhasil ditangkap, maka saat kembali ke darat perahu motor tersebut yang menarik semua peledang bersama ikan paus hasil perburuan. Seperti itu kondisi penangkapan paus saat ini. Ada banyak yang berubah, ada pula yang sudah hilang.
Untuk menyelamatkan keadaan itu, saat ini sedang ada upaya pelestarian kembali. Dalam lagu itu ada tingkatan. Dolo baru ketingkatan berikutnya sole-oha, dan berikutnya oreng. Saat ini sudah dibentuk komunitas kecil untuk mewarisi budaya yang mulai redup itu.
Saya berharap Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lembata untuk bisa mendukung upaya pelestarian budaya Lamalera itu. Karena dukungan pemerintah sangat berarti bagi upaya merawat budaya Lamalera agar tak hilang digusur budaya luar. (kro)
Sumber: Pos Kupang 20 September 2015 halaman 1