ilustrasi |
Medio pekan lalu, Darius sendiri malah yang menjadi korban. Dia pun terkena pungutan liar ketika hendak mengurus perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) C di mobil keliling Polri di Pos Polisi El Tari Kupang, Rabu (26/8/2015) siang.
"Ada dua petugas di sana, satu berpakaian seragam Polri satu berpakaian bebas. Saya tanya berapa biaya perpanjangan SIM. Petugas mengatakan, biayanya Rp 150.000. Saya langsung komplain ke dia dan mengatakan, berdasarkan PP Nomor 50 tahun 2010, biaya perpanjangan SIM C hanya Rp 75.000. Kenapa dia minta Rp 150.000? Berarti ada pungli sebesar Rp 75.000," kata Darius.
Petugas itu tidak menjawab dan malah menyuruh Darius masuk saja ke dalam mobil SIM. "Saya menolak. Sudah jelas bahwa terjadi praktek pungli saat pengurusn SIM di mobil keliling ini," kata Darius. Darius menyesal karena praktek pungli itu memang belum sirna sama sekali.
"Saya sudah tiga kali surati secara resmi ke Kapolda NTT. Terus ke Kapolresta, ke Kasat Lantas pun sudah sering saya telepon beritahu mengenai praktek pungli itu. Mereka mengatakan akan menindaklanjuti dan menghentikannya, namun sampai sekarang ternyata tidak bisa teratasi. Saya menilai praktek pungli itu sepertinya sudah terjadi secara sistemik. Bahkan, saya lapor ke Irswasda Polda pun praktek pungli itu belum juga bisa diatasi," demikian Darius.
Menduga praktek pungli itu sistemik, Darius menganggap pungli itu tidak semata karena kemauan petugas di lapangan. "Karenanya, saya tidak setuju kalau anggota di lapangan diperiksa kode etik dan diberi sanksi oleh Propam Polda," kata Darius.
Dugaan Darius boleh jadi benar. Praktek yang sangat merugikan masyarakat tersebut terorganisir rapi sehingga tidak bijaksana serta merta hanya menyalahkan petugas di lapangan. Memang, bisa jadi juga pungli terjadi karena niat dari petugas itu sendiri bukan atas perintah atau arahan orang lain yang lebih kuat kuasa.
Untuk kasus yang menimpa Darius kita tunggu hasil penelusuran yang obyektif dari otoritas berwenang di daerah ini. Publik NTT menanti dengan penuh harap agar semuanya dibuka terang benderang.
Tentu saja kasus ini dipandang menarik bukan karena yang mengalami langsung pungli itu seorang kepala Ombudsman NTT. Siapa pun warga negara yang diperlakukan secara tidak adil harus dibela dan dilindungi.
Lebih dari itu pungli dalam wujud apapun merupakan sesuatu yang melawan hukum serta merugikan orang banyak. Dengan demikian kita patut memeranginya dengan beragam cara. Kita tidak boleh memberi toleransi atau memaafkan begitu saja. Kita belajar dari pengalaman pahit, betapa negeri tercinta ini mengalami keterpurukan hampir di semua bidang lantaran kita gagal meredam praktek suap, pungli, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kita tahu praktek itu marak terjadi di sekitar kita. Namun, kebanyakan dari kita lebih memilih diam bahkan ikut menikmatinya. Mari melawan pungli! (*)
Sumber: Pos Kupang 31 Agustus 2015 halaman 4