PETERNAKAN SAPI sebagai salah satu potensi unggulan Nusa Tenggara Timur pernah menarik minat investor nasional dan asing untuk membuka usaha ranch atau peternakan sapi di provinsi itu.
Dua di antaranya adalah PT Timor Livestock Company (Timlico) untuk pengembangan sapi potong di kawasan Asasu, Kabupaten Timor Tengah Utara, 1971-1980, dengan padang pendukung seluas 90.000 hektar. Investasi lain adalah proyek pertanian terpadu berbasis peternakan di Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, 1982-1989, yang meliputi areal seluas 4.000 hektar.
Pengembangan usaha sapi potong oleh PT Timlico di Asasu adalah paduan kerja sama investor nasional dari Jakarta dan Australia. Sejumlah warga sekitar lokasi di Maubesi (250 kilometer timur Kota Kupang), akhir September lalu, mengisahkan, di kawasan ranch nan luas itu pernah disebarkan sedikitnya 10.000 sapi.
Karena jumlah sapi ribuan dan kawasan padang begitu luas, penggiringan sapi di Asasu tidak lagi sebagaimana biasanya— penggembala cukup berjalan sambil menggiring sapi-sapi.
”Di peternakan Timlico penggiringan sapi-sapi sudah melibatkan cowboy (penggembala berkuda) hingga menjadi tontonan menarik bagi masyarakat sekitarnya,” tutur Frans Skrera, anggota DPR periode 1987-1997, yang kini menjadi peternak sapi di kampung asalnya di Insana, tidak jauh dari kawasan Asasu.
”Usaha peternakan sapi Timlico di kawasan Asasu sempat berkembang sangat pesat hingga menghasilkan sapi-sapi dengan berat badan hidup di atas 350 kilogram setelah dipelihara 2-2,5 tahun,” papar Lamber Lopo (70), warga Maubesi, yang juga bertetangga dekat dengan Asasu.
Pensiunan guru SD dan SMP itu juga mantan kleder atau pengantar sapi yang diantarpulaukan ke Jawa dan daerah lainnya, bahkan hingga Hongkong dan Singapura, tahun 1960-an.
Usaha ranch Timlico awalnya berlokasi di Oebelo, Kabupaten Kupang, tahun 1971. Karena kondisi lahan dinilai tidak mendukung, lokasi proyek dipindahkan ke Asasu tahun 1972. Di lokasi baru itu, Timlico mengawali usahanya dengan membeli puluhan sapi betina jenis sapi bali yang dikawinkan dengan sejumlah pejantan jenis sapi brahman dari Australia.
Selanjutnya, pada tahun 1975 didatangkan lagi sekitar 350 sapi brahman dari Australia untuk dikembangkan di ranch Asasu. Pada saat yang sama, Timlico membeli sekitar 10.000 sapi bali milik warga sekitar untuk pengembangan usaha di ranch Asasu.
Berselang dua tahun kemudian, atau sejak tahun 1977, PT Timlico dilaporkan sudah mampu mengantarpulaukan sedikitnya 200 sapi standar ekspor per triwulan. Sementara penduduk sekitar yang rata-rata sebagai peternak mulai ikut menikmati rezeki dari kehadiran Timlico, antara lain karena sapi mereka laku dengan harga wajar, sejumlah warga dilibatkan sebagai pekerja atau menggembala di ranch, serta kesempatan kerja lainnya.
”Warga sekitar memang sempat optimistis usaha peternakan di kawasan ini akan berkembang bagus dengan kehadiran Timlico. Namun, fakta ternyata berkisah lain, ranch-nya sendiri kini telah lenyap dan nyaris tanpa bekas. Sapi-sapinya juga telah hilang entah ke mana,” kisah Melkior Naisabu (43), ketua RT di Maubesi, akhir September lalu.
Usaha pengembangan sapi potong PT Timlico kini memang tinggal nama. Kehancurannya terjadi secara perlahan sejak tahun 1980. Bangunan ranch sudah tidak tersisa. Bahkan, sebagian kawasan padang penggembalaan sudah dikapling-kapling dan berubah fungsi menjadi perkampungan atau kebun warga sekitarnya.
Frans Skrera, Lamber Lopo, dan Melkior Naisabu memastikan, kehancuran ranch Asasu terjadi setelah kepemimpinan pengelolaan usaha dialihkan dari orang-orang Australia kepada orang-orang Indonesia.
Sejumlah warga berusia di atas 40 tahun di Biboki atau Insana bahkan masih ingat, ranch Timlico mulai amburadul dan kemudian hancur setelah pengelolaannya diserahkan kepada Anwar Abidin bersama drh Hendro Hendarto.
Sumber kehancurannya antara lain karena disiplin kerja mulai kendur. Selain itu, manajemen perusahaan pun tidak lagi transparan sehingga memancing kecurigaan di kalangan karyawan dan berbagai pihak terkait lainnya. Akibatnya, tugas-tugas tidak lagi dilakukan dengan tanggung jawab penuh sehingga roda proyek pun akhirnya macet dan berhenti total.
Serupa Besipae
Nasib ranch Timlico di Asasu persis sama dengan usaha pengembangan pertanian terpadu berbasis peternakan di kawasan Besipae, Timor Tengah Selatan. Bedanya, proyek Besipae adalah kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Australia.
Proyek Besipae yang kawasannya meliputi empat desa: Mio, Polo, Oe Ekam, dan Linamnutu, memulai kegiatan lapangannya tahun 1981. Kegiatan awalnya adalah membangun 14 embung penampung air hujan. Dasar embung dilapisi sejenis lumpur kedap air atau bobonaro clay.
Oleh karena itu, air tampungan dalam embung yang lazim disebut danau buatan tersebut hanya akan surut karena diambil untuk kebutuhan manusia dan ternak atau penguapan.
Areal embung sendiri yang berukuran 1.500-2.000 meter persegi dilengkapi dengan jaringan pipa khusus mendistribusikan air untuk kebutuhan manusia dan hewan. Dengan demikian, areal embung terbebas dari penyerobotan manusia atau hewan.
Keberhasilan belasan embung sejak tahun 1982 itu langsung menjadi pendukung utama pengembangan ternak, tanaman pakan, serta usaha pertanian dalam kawasan tersebut. Sejak saat itu pula warga dan ternak sekitar tidak lagi harus kembali ke Sungai Noelmina (bukan Noelbaki seperti disebut di Kompas, 30/9)—berjarak sekitar 15 kilometer—seperti sediakala untuk mendapatkan air.
Selain itu, air embung di kawasan Besipae ternyata sekaligus menjadi kolam ikan air tawar. Karyawan proyek dan warga sekitar pun sempat menikmati lauk ikan air tawar dari belasan embung itu.
Seperti kawasan ranch Timlico, kini Besipae pun terabaikan dan terlupakan. Tidak sedikit remaja warga sejumlah kampung dalam kawasan Besipae, tidak tahu kalau kawasan itu dulunya pernah tersohor sebagai kawasan pengembangan pertanian terpadu berbasis peternakan.
Maklum saja, dari 14 embung dalam kawasan Besipae, hampir semuanya telah kering dan musnah tak berbekas. Yang tersisa hanya dua, yakni embung Nunak dan Manufonu, keduanya dalam kawasan Desa Mio. ”Hanya dua embung itu yang masih berfungsi dan tetap menjadi sumber air bagi warga dan ternak di desa kami,” tutur Timothius Nubatonis (56), pengawas embung Nunak.
Meski demikian, kedua embung itu tidak lagi berfungsi normal. Jaringan pipa distribusinya sudah tersumbat sehingga tidak bisa lagi mengalirkan air hingga keran khusus untuk kebutuhan manusia atau ternak. Akibatnya, warga terpaksa mengambil air langsung ke embung. Begitu pula kawanan ternak meminum air langsung di tepi embung.
”Kami selalu mengawasi agar tidak ada warga atau ternak yang menerobos ke dalam embung. Warga juga hanya dibolehkan menangkap ikan dengan alat pancing, tidak boleh pakai pukat atau jala. Kalau ada yang melanggar, akan didenda Rp 25.000,” tutur Timothius.
Kini sebagian besar kawasan Besipae telah gundul akibat penebangan atau perambahan untuk kebun serta permukiman. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan, sejak tahun 2007 memanfaatkan beberapa bagian kawasan sebagai lokasi penghijauan melalui proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), ditanami anakan kayu merah, jati lokal, gamalina, mahoni, dan kemiri.
Sama seperti proyek Timlico, Besipae mulai amburadul ketika pengelolaan proyek diserahkan sepenuhnya dari Australia kepada Pemerintah Indonesia tahun 1987.
Kini proyek itu sudah menjadi kisah masa lalu. Kehancuran ranch Timlico dan Besipae adalah contoh kelam usaha pengembangan ternak sapi di NTT. (Kornelis Kewa Ama/Samuel Oktora)
Sumber: Fokus Kompas, 16 Oktober 2009. Hasil diskusi kerja sama dengan Pos Kupang dan Unwira-Kupang.
Baca juga artikel terkait