Sungguh tak dinyana, peristiwa pahit pemecatan Albert Porsiana (48) sebagai Direktur Hotel Marina Kupang justru menjadi momentum awal kesuksesannya di bidang agroindustri peternakan Nusa Tenggara Timur.
Albert yang telah memimpin roda manajemen Hotel Marina sekitar empat tahun akhirnya harus dipecat pada 1994. Ia dianggap tidak mampu membawa hotel milik keluarga itu mencapai puncak kemajuan.
”Hotel itu merupakan perusahaan keluarga milik orangtua. Karena waktu itu ada konflik keluarga, saya akhirnya harus menerima pemecatan sebagai direktur,” kata Albert.
Anak bungsu dari 8 bersaudara pasangan C Porsiana dan Ny C Chamberlain itu pun harus merintis lagi kariernya dari nol. Beruntung pada masa awal yang amat sulit itu Albert didampingi istri tercinta sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi NTT. Dengan demikian, keuangan rumah tangganya masih dapat tertolong.
Albert tidak putus asa. Dia malah bersyukur atas jiwa kewiraswastaan yang ditanamkan dalam keluarga besarnya sehingga tidak menyurutkan semangatnya untuk mencari terobosan bisnis. Dia lalu melakukan survei di dua bidang usaha yang dinilainya prospektif: bambu untuk pembuatan tusuk gigi dan daging sapi.
Ketika itu, tanaman bambu di NTT tumbuh subur. Akan tetapi, oleh masyarakat—terutama di daratan Pulau Timor—tiap tahun tanaman bambu justru banyak yang dibakar. Hal ini tentu sangat disayangkan.
”Bagi saya, untuk menggeluti satu usaha harus dikuasai dulu ilmunya, baru ia bisa diterapkan. Saya mulai mendalami usaha bambu maupun daging sapi lewat buku-buku. Ternyata untuk bisnis daging sapi modalnya tidak terlalu besar. Dari satu sapi—mulai dari daging, kulit, tulang, lemak, dan isi perutnya—sebagian besar bisa menjadi uang. Akhirnya saya memilih bisnis daging sapi,” kata bapak tiga anak itu.
Albert telah menghitung secara cermat modal awal untuk bisnis daging sapi hingga dia pun berniat meminjam uang di bank. Akan tetapi, ketika dia merintis usaha tersebut, tahun 1995, tidak ada satu bank pun yang bersedia memberikan pinjaman modal.
Beruntung salah seorang temannya memberikan trik, yakni dengan cara meminjam dana bank seolah untuk perbaikan rumah. Albert kemudian mengajukan permohonan ke Bank Tabungan Negara (BTN). Sebagai jaminan, dia menyerahkan sertifikat rumah milik ibunya dan Albert pun berhasil memperoleh modal pinjaman Rp 35 juta.
Pada tahap awal usaha, tiap minggu dia membeli dua sapi yang kemudian diolah dengan produk utama daging se’i, daging sapi hasil panggangan khusus. Ia membeli dalam bentuk karkas, yakni daging dan tulang sapi setelah dipisahkan dari kepala, kulit, kaki bagian bawah, isi perut, dan ekor.
Albert membuka usaha agroindustri peternakan itu dengan bendera CV Aldia. Sebutan Aldia merupakan singkatan dari namanya sendiri, istri, dan anak-anaknya. Sampai kini daging se’i Aldia begitu terkenal dan menjadi oleh-oleh khas dari Kupang. Di luar NTT, daging se’i Aldia paling banyak diminati di kawasan Jawa.
Terus menanjak
Dengan telaten Albert menekuni bisnis barunya itu hingga secara perlahan, tetapi pasti, tahun 1997 usahanya terus menanjak. Sejumlah bank pun mulai menaruh perhatian. Mereka menawarkan pinjaman menggiurkan. Salah satunya Bank Bumi Daya yang mengucurkan kredit Rp 40 juta.
Sejak itu, Albert mulai membeli sapi hidup meski untuk pembelian dilakukan oleh orang lain yang memahami betul seluk-beluk tentang sapi. Baru pada tahun 2000-an ia turun langsung untuk pembelian sapi meski tetap didampingi pemandu. Pemandu itu diberi upah Rp 25.000-Rp 50.000 per sapi.
”Pemandu itu dapat memperkirakan dengan baik berat badan sapi tanpa harus ditimbang. Membeli sapi di pasar hewan memang tidak mudah karena di sana penuh mafia. Ibaratnya, pasar ternak sapi itu sarang penyamun. Jadi, untuk masuk ke sana harus menjadi penyamun juga,” kata Albert.
Perusahaannya, Aldia, saat ini menjual produk sapi dalam dua bentuk: daging olahan dalam kemasan dan daging segar. Di Kupang, produk-produknya dipasarkan di tiga tempat, yakni di Bandar Udara Eltari, Hotel Marina, dan di kawasan Oepura. Omzet di tiap tokonya per hari berkisar Rp 10 juta.
Untuk produksi, tiap bulan Albert membutuhkan sekitar 160 sapi atau per harinya rata-rata 5-7 sapi. Dia menjual daging olahan berupa daging se’i dan untuk bakso. Adapun tulang, lemak, dan daging segar banyak dipesan oleh pengusaha stik, rumah makan padang, restoran, penjual martabak, maupun penjual bakso setempat. Sedangkan kulit sapi dijual ke perajin kulit di Jawa.
Dari kesuksesannya, semua pinjaman bank sudah dapat dilunasi. Bahkan, tanah milik ibunya seluas 3.000 meter persegi di Oesapa yang ia pinjam untuk usaha, pada tahun 2000 akhirnya mampu ia beli seharga Rp 30 juta.
Selain Albert, sebenarnya ada sejumlah pelaku agroindustri peternakan, khususnya sapi, di daratan Timor. Akan tetapi, umumnya mereka tidak bertahan lama, bahkan kemudian gulung tikar.
Mengutamakan dan menjaga mutu serta cepat merespons keluhan konsumen, kunci suksesnya. Albert kini mengantongi sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia NTT untuk rumah potong hewan, pemrosesan daging sapi, dan usaha pemrosesan ikan miliknya.
Dari bisnis yang digeluti Albert, jelas keberadaan sapi sangat vital sebagai bahan baku. Tren populasi maupun kualitas sapi di NTT yang cenderung menurun sejak 1990-an hingga kini membuat galau hatinya.
Dia mengusulkan agar dinas terkait di bidang pertanian, peternakan, dan industri dapat bersinergi. Dengan begitu, sapi-sapi dari NTT tidak hanya dijual antarpulau dalam bentuk sapi hidup, tetapi juga berupa daging olahan dengan nilai jual yang lebih tinggi.
Albert mencontohkan, produksi jagung setempat jangan hanya diproyeksikan untuk ekspor sebagai biji jagung untuk pakan ternak ataupun sektor pangan. Produksi biji jagung perlu diarahkan dalam bentuk produk olahan seperti baby corn, sedangkan batang dan daun jagung yang masih muda menjadi pakan ternak bergizi tinggi.
”Tanaman jagung untuk baby corn umurnya hanya 45 hari, setelah itu batang dan daunnya dapat dijadikan makanan yang sangat bergizi bagi sapi. Selain industri akan berkembang, sektor pertanian dan peternakan pun untung,” katanya.
Ia optimistis usaha agroindustri sapi di NTT sangat prospektif. ”Saya pun tidak ada niat ke depan untuk ekspansi usaha ke bidang lain. Namun, menyangkut sistem pengelolaan dan pengembangan peternakan di NTT perlu dilakukan revolusi atau lompatan besar. Jika langkah strategis tidak dilakukan dari sekarang, dalam kurun waktu 10-15 tahun lagi bukan tidak mungkin ternak di NTT akan habis,” tuturnya. (Samuel Oktora/Kornelis Kewa Ama/ Frans Sarong)
BIODATA
• Nama: Albert C Porsiana • Tempat, tanggal lahir: Ende, 15 September 1961 • Pendidikan terakhir: S-1 Ekonomi Universitas Surabaya tahun 1989 • Jabatan: 1. Direktur Hotel Marina Kupang (1990-1994)2. Pimpinan CV Aldia (1995-sekarang) • Istri: Yovita A Mitak • Anak : 1. Antonio, 2. Diandra, 3. Diony • Bapak: C Porsiana • Ibu: C Chamberlain
Sumber: Kompas 16 Oktober 2009