BARU sekitar lima menit take off dari Bandara Aroeboesman Ende di pagi yang cerah itu, Pilot Agus Maaruf tiba-tiba melihat ada yang aneh dengan mesin sebelah kanan. Rupanya oli bocor. Keputusan cepat dan tepat mesti diambil segera sebab oli bocor dapat menimbulkan kebakaran mesin. Agus mematikan baling-baling kanan lalu putar haluan. Pesawat kembali menukik menuju Aroeboesman dan mendarat dengan selamat.
Puji Tuhan! Namun, aroma panik dan cemas tetap menghiasi wajah 48 penumpang tujuan Kupang saat mereka turun dari tangga pesawat. Memang sulit membayangkan apa yang terjadi seandainya pilot Agus salah bikin keputusan di atas ketinggian 4.000 kaki. Boleh jadi Kamis 22 Oktober 2009 itu akan menjadi hari kelabu di beranda Nusa Tenggara Timur. Bila Agus kurang cermat, mungkin malam kelam menghiasi langit Flobamora yang selama lima tahun terakhir “dimanjakan” TransNusa, maskapai penerbangan yang dioperasikan putra-putri daerah tercinta.
Terima kasih untuk TransNusa yang mengutamakan keselamatan manusia ketimbang uang. Safety First. Itulah prinsip yang mesti dijunjung tinggi maskapai penerbangan. Pesawat onar jangan dipaksa terbang karena taruhannya adalah nyawa anak manusia.
Ya, tuan dan puan agaknya maklum bahwa pada 22 Oktober 2009, manajemen TransNusa mengalami masalah dengan pesawat yang selama ini menjadi jembatan udara Flobamora. Selain pesawat jenis Fokker 50 (F-50) yang mengalami gangguan mesin di Ende, dua pesawat lainnya juga mengalami kondisi tidak enak badan di Kupang dan Denpasar. Praktis sejak itu penerbangan TransNusa ke berbagai kota di NTT lumpuh.
Dalam empat hari terakhir terasa betul NTT kehilangan TransNusa. Pesawat F-50 dan ATR-42 yang biasanya sepanjang hari membawa ribuan manusia yang bepergian ke berbagai kota di NTT dan Nusa Tenggara kini parkir di apron menjalani perbaikan dan perawatan. Begitu banyak orang kehilangan kesempatan bepergian untuk menuntaskan beragam urusan penting dan mendesak. Begitu banyak orang kehilangan nafkah harian. Kerugian ekonomis jelas dan tegas. Dampak psikologis apalagi. Mau bilang apa, sarana transportasi sama dengan urat nadi. Bila urat nadi putus, siapa pun tak berdaya.
Beranda Flobamora sungguh bermuram durja. Betapa tidak. Gangguan yang menimpa tiga pesawat TransNusa Air Services terjadi bersamaan dengan kondisi transportasi laut NTT yang dapat dilukiskan sedang ”cuti besar” untuk tujuan sama yakni perawatan badan. Sudah beberapa pekan sebelumnya, kapal-kapal Pelni tidak beroperasi di NTT. Belum ada kepastian kapan kapal-kapal Pelni kembali beroperasi di sini. Juga belum ada kepastian kapan ketiga pesawat TransNusa selesai diperbaiki dan kembali melayani rute-rute antardaerah di NTT.
Kini, moda transportasi laut di propinsi yang sedang diperjuangkan menjadi propinsi kepulauan tinggal kapal-kapal feri yang dikelola ASDP (Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan). Sedangkan transportasi udara antar-wilayah di NTT nyaris lumpuh. Satu-satunya andalan NTT adalah pesawat Merpati jenis F-100 yang menerbangi rute Kupang-Maumere-Waingapu-Tambolaka.
Kapasitas Merpati jelas tidak sanggup memenuhi permintaan sangat tinggi dari berbagai daerah di NTT. Sontak mendadak Flobamora seolah kembali ke masa lalu. Masa lalu yang kelam ketika dalam jagat penerbangan daerah ini diplesetkan dengan analogi: Masuk Gampang, Susah Keluar. Masuk ke NTT mudah saja, tetapi untuk keluar dari sana susah setengah mati lantaran pesawat terbatas.
***
WAKIL rakyat NTT yang masih segar bugar hasil Pemilu 2009 merespons cepat masalah yang menimpa TransNusa. Tidak main-main, respons itu disuarakan tiga pimpinan fraksi besar di DPRD NTT dalam jumpa pers, Jumat (23/10/2009). Jumpa pers di ruang rapat komisi DPRD NTT dihadiri Ketua Fraksi Partai Golkar, Drs. Hendrik Rawambaku, Ketua Fraksi PDIP, Drs. John Umbu Deta dan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Gabriel Suku Kotan, S.H.
DPRD berkata lantang dan masuk akal. Demi kelancaran transportasi udara di NTT, pemerintah propinsi perlu merealisasikan pengadaan pesawat udara. Bersama pemerintah kabupaten/kota, NTT sesungguhnya mampu beli pesawat udara. Dengan armada penerbangan sendiri, maka tidak akan terjadi monopoli harga tiket seperti selama ini. Jika keuangan daerah belum memungkinkan untuk beli pesawat, pemerintah propinsi perlu Kerja sama Operasional (KSO) dengan maskapai penerbangan untuk mengatasi kendala transportasi udara di NTT.
Sungguh ide bernas meski tidak baru sama sekali mengingat beli pesawat itu sudah lama jadi wacana dan wacana. Satu-satunya titik lemah Flobamora belum berani mengeksekusi. Ketika TransNusa mengoperasikan pesawat milik Riau Airlines dan Trigana Air mestinya mata NTT terbuka. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Pejam makin lama. Soal sharing dana pemerintah propinsi dan kabupaten/kota untuk beli pesawat tergantung tiga huruf, mau! Mau atau tidak?
Kalau tidak mau, ya sudah. Kalau mau, na atur sudah. Mumpung anggota Dewan Yang Terhormat segera bahas RAPBD 2010. Misalnya harga satu unit pesawat F-50 (nol kilometer) Rp 100 miliar, tinggal dibagi merata atau proporsional ke setiap pemerintah kabupaten/kota dan propinsi. Ada 42 pemerintah kabupaten/kota dan propinsi di NTT. Jatah setiap daerah rasanya tidak terlalu besar dibandingkan total gelontoran DAU dan DAK saban tahun. Bahkan bisa diplot dari kue APBD saja. Toh bila dikalkulasi, masih lebih besar nilai uang Silpa di tiap daerah.
Soal pengelolaan, percayakan saja pada ahlinya. Manajemen TransNusa, misalnya, siapa berani meragukan profesionalisme putra-putri NTT sebagai operator penerbangan? Sudah teruji dan terbukti bertahun-tahun TransNusa cakap dan mampu mengoperasikan pesawat milik daerah lain. Mau atau tidak, tinggal itu masalah Flobamora. Cuma tiga huruf, tetapi susahnya bukan main untuk mencairkannya. Egoisme ”raja-raja” kecil di tiap daerah kerapkali menghambat niat maju atau sekurang-kurangnya bisa berdiri sejajar dengan daerah lain.
Serahkan pada ahlinya itu memang penting. Mengapa? Tuan dan puan kiranya belum lupa bahwa dalam hal beli-membeli sarana transportasi, NTT ini sangat piawai dan sarat pengalaman. Kepiawaian tiada duanya di dunia karena beli kapal laut untuk dilabuhkan di pelabuhan. Kapal tak berlayar tidak diapa-apakan. Ribut sehari dua lalu hilang bersama sang waktu berlalu. Yang diduga bersalah bebas hidup merdeka. Tidak apa-apa karena di sini mengenal prinsip, itu kan tanggung jawab bersama. Bersama-sama diam. Tidak penting uang rakyat untuk beli kapal hasilnya tidak bermanfaat bagi rakyat!
Di kampung kita para koruptor tidak perlu lari jauh lalu disebut buronan. Serahkan diri dengan ikhlas ke tangan polisi dan jaksa. Tak perlu ragu, tak mesti cemas. Mengapa?
Ah, tuan dan puan jangan pura-pura tidak tahu. Bukankah tempat paling aman bagi tersangka koruptor di negeri tercinta justru di pengadilan? Kalau tidak aman untuk apa repot-repot bikin KPK yang barusan dinistakan dengan kata-kata angkuh, cecak kok mau lawan buaya? Hahaha... (dionbata@yahoo.com)
Beranda Kita edisi Senin, 26 Oktober 2009 halaman 1