FAJAR belum menyingsing ketika bus antarkota dalam propinsi tujuan Kefamenanu masuk Terminal Noelbaki-Kupang hari itu. Om Pe'u -- sapaan akrab Petrus -- buru-buru meminta izin kepada sopir agar berhenti sejenak di dalam kawasan terminal. Om Pe'u bergegas turun lalu gesit menyelinap di antara pematang sawah kering menuju rimbunan pohon pisang.
Dalam posisi jongkok, Om Pe'u sejenak melirik ke kiri dan kanan. Aman! Tak ada orang yang melihat. Om Pe'u menahan napas sambil pejamkan mata. Dalam hitungan detik terdengar sayup creeett... pisss! Benda lonjong berwarna coklat kekuning-kekuningan mendarat mulus di tanah kering. Perasaannya lega. Om Pe'u berhasil po'e (buang air besar) yang telah mengganggu perutnya sejak dia dijemput sopir bus di rumah koleganya sekitar jam 04.00 Wita.
Tapi urusan Om Pe'u belum selesai di situ. Masih ada sisa yang perlu pembersihan. Air tak ada, Om Pe'u pakai cara kampung, memanfaatkan tisue alam yakni dedaunan kering di dekatnya. Tuntas! Dia pun berlari-lari kecil menuju bus yang siap meninggalkan Terminal Noelbaki menuju Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara, sekitar 270 km timur Kupang.
Sebagai pedagang yang biasa bolak-balik Kefamenanu-Kupang, Om Pe'u tahu kalau di Terminal Noelbaki tersedia tiga kamar WC alias toilet. Tetapi sejak lama toilet di terminal yang segera naik pangkat sebagai terminal antarnegara RI-Timor Leste itu tidak berfungsi. Lahan kosong atau jamban di rumah penduduk sekitar terminal menjadi pilihan penumpang manakala po'e dan kincing (bahasa Kupang = buang air besar dan kecil) ingin menjejak bumi karena sudah tiba deadline atau batas waktu bermukim di dalam usus.
Begitulah tuan dan puan pengalaman nyata Om Pe'u, famili jauhku dari Kefamenanu. Sangat mungkin tuan dan puan pernah mengalami sendiri situasi seperti Om Pe'u ketika berada di fasilitas umum seperti terminal bus, terminal pelabuhan dan pasar. Di beranda Flobamora, tempat umum semacam itu sungguh tidak ramah dan nyaman manakala po'e dan kincing tiba waktunya. WC atau jamban adalah sarana yang terpinggirkan di ruang publik daerah ini. Satu-satunya yang lebih terjamin hanya toilet di terminal bandar udara (bandara).
Tuan dan puan ingin bukti? Tidak perlu jauh-jauh mencari lokasi. Minimnya pengeloaan serius tentang toilet umum ada di Kupang, ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, barometer kemajuan peradaban masyarakat Flobamora. Di sini orang cenderung sonde toe (baca: tidak peduli) dengan toilet di fasilitas umum. Cobalah jalan-jalan ke Terminal Kupang, Terminal bus Oebobo, Pasar Inpres Naikoten, Pasar Oeba, Pasar Oebobo, Kuanino, Pelabuhan Tenau dan Bolok. Lihat dan rasakan sendiri sensasi toilet di sana.
Kita adalah anak-anak zaman milenium ketiga yang kemajuannya melesat pesat dibandingkan satu dua dasawarsa lalu. Tapi cara berpikir soal kakus masih di zaman batu. Toilet urusan buntut. Orang lupa toilet itu ukuran peradaban. Fungsi toilet tak kalah penting dibandingkan ruang tidur, dapur, kamar makan atau ruang tamu.
Kebutuhan akan toilet sama nilainya dengan rasa lapar dan dahaga. Saat dahaga tuan butuh air. Saat lapar puan butuh makanan. Nah, tatkala makanan dan minuman habis masa berlakunya, dia butuh pembuangan yang tidak bisa ditunda-tunda. Po'e dan kincing pun sungguh egaliter. Tak memandang status sosial, eselonering atau pangkat. Tak mengenal batasan kaya-miskin, ganteng, cantik atau nia ngere ro'a (Bahasa Ende = wajah seperti monyet).
Di dalam kakus kemanusiaan tuan polos telanjang. Bebas rekayasa. Tiada mafia pertoiletan. Tak ada perbedaan cicak-buaya. Yang jelita, rupawan, pejabat atau staf, pemimpin atau jelata sama-sama tahan napas dengan mimik lucu tak terlukiskan manakala po'e mau mendarat, ketika air pipis hendak mengalir sampai jauh.
Lalu mengapa toilet umum terpinggirkan dalam pawai pembangunan? Harap maklum tuan dan puan. Toilet umum adalah kebutuhanmu saja. Tuan yang berlabel rakyat banyak. Toilet umum bukan kebutuhan bos-bos yang punya oto (mobil) dinas, yang ke mana-mana lebih kerap naik kapal terbang. Kecuali karena dipaksa keadaan, mana pernah bos-bos yang punya oto dinas mau berdesak sesak menumpang bus umum, kapal feri atau belanja ke pasar?
Mana pernah mereka mau mencium amis bau badan rakyat? Toilet umum tak terurus membuktikan satu hal, selalu terbentang jarak antara pemimpin dan rakyat. Tidak perlu berdalih macam-macam deh. Hehehe..
Kakus umum tak terurus itu tanda kegagalan pemimpin. Makanya beta heran sekali, mahasiswa dan mahasiswi pujaan hati jarang nian ya berorasi dan berdemo soal ini. Kaum cerdik cendekia mulai dari guru kecil sampai guru besar diam-diam saja. Apakah toilet tidak berhubungan dengan demokrasi? Jangan salah, bro! Demokrasi itu mulai dari makan minum sampai po'e dan kincing. Po'e sembarang tempat adalah wujud hidup belum sejahtera kan?
Ayo dong, buka mata, buka telinga. Sebusuk-busuknya bau toilet di pasar, terminal atau pelabuhan, tapi tempat tersebut sangat favorit lima tahun sekali. Jelang pilkada-pemilu semua ramai-ramai memilih pasar untuk cari muka, pergi ke terminal dan pelabuhan untuk tunjuk muka. Bahkan memilih tempat pembuangan sampah agar dibaptis pro rakyat. Setelah duduk di kursi kuasa mereka lupa!
Izinkan beta menawarkan saran. Bagi Bapak Ibu Anggota Dewan Yth yang (hampir pasti) sangat bersemangat studi banding ke mana-mana, pelajarilah manajemen po'e dan kincing di daerah orang untuk diterapkan di terminal dan pasar kita yang masih kampungan ini. Buat yang getol mau memimpin wilayah, partai politik pengusung bolehlah bikin fit and proper test tentang manajemen po'e dan kincing. Setiap kandidat wajib persentasikan proposal dengan agenda aksi yang SMART.
SMART seperti apa? Simpel saja. Harum-wangikan jamban di terminal, pelabuhan dan pasar-pasar agar Flobamora tidak malu terhadap tetamu, agar kampung kita sungguh bermartabat. Sebetulnya masih banyak saran yang beta tawarkan. Sorry berat, bahasa perut sudah beri tanda-tanda kuat mau po'e sekaligus kincing. Beta pamit dulu guna menuntaskan urusan manusiawi ini! (dionbata@yahoo.com)
Sumber: Rubrik Beranda Kita edisi Senin, 16 November 2009 halaman 1