Gedung Dewan sama dengan
Ruang kelas murid TK
THOHIR dan Febriadi mengubah ruang sidang yang terhormat menjadi ruang kelas murid Taman Kanak-Kanak (TK). Mereka bertengkar lalu kejar-kejaran. Seru! Febriadi berlari sambil membawa kursi untuk dipukulkan ke Thohir.
Eitt, kaki terantuk kursi. Badannya limbung, Febriadi terjatuh tikam mulut. Bibirnya menerpa sisi meja, darah segar pun mengalir. Kawan-kawannya melarikan Febriadi ke rumah sakit terdekat.
Peristiwa itu terjadi di Ketapang, salah satu kabupaten di bumi Kathulistiwa, Kalimantan Barat, 30 Oktober 2009. Hari itu DPRD Ketapang menggelar sidang paripurna membahas penyusunan komisi-komisi Dewan. M Febriadi dari Fraksi Golkar yang datang terlambat meminta sidang membahas kembali semua poin yang telah disepakati. M Thohir dari Fraksi Kesatuan Amanat Indonesia Sejahtera kesal. Dia tegas menolak. Salah sendiri Febriari datang terlambat.
Terjadi pertengkaran hebat. Febriadi naik pitam, mengangkat kursi lalu mengejar Thohir yang terbirit-birit menyelamatkan diri. Sidang pun tak terkendali. Febriadi yang bernafsu menghabisi Thohir terantuk. Bukan Thohir yang babak-belur tetapi bibir Febriadi sendiri yang bergincu darah.
Sebagai anak tanah Flobamora, beta bersyukur menonton insiden itu. Aihh, ternyata praktik premanisme di lembaga legislatif bukan monopoli Nusa Tenggara Timur (NTT). Tidak cuma riang bergelora di beranda Flobamora. Ternyata ada juga di kampung lain di negeri doyan bakuhabok (baca: bakupukul) ini. Rupanya murid Taman Kanak-Kanak (TK) di gedung Dewan sebagaimana dirilis mantan Presiden Gus Gur hampir satu dasawarsa lalu belum sirna jua meski sudah dua kali bergulir pemilihan umum yang disebut-sebut politisi lebih bermutu dari masa lalu.
Di beranda Flobamora, tuan dan puan sudah biasa melihat anggota Dewan yang terhormat bertengkar, saling ancam bahkan mengajak duel fisik. Tapi lagi-lagi NTT masih lebih baik prestasinya. Toh di sini belum sampai bibir bergincu darah seperti di Ketapang sana. Entahlah besok atau lusa?
Jikalau tuan masih waras, nalar dan rasa pastilah terusik menghadapi kenyataan gedung Dewan tak ubahnya ring tinju. Kantor bupati pun panas membara. Kepala daerah-wakil kepala daerah bersitegang, baik secara terang-terangan maupun diam bak api dalam sekam. Legislatif dan eksekutif yang mestinya menjadi mitra malah bertempur tak kenal lelah. Soal kecil dibesar-besarkan. Hal sepele didramatisir. Perkara besar justru dinihilkan. Bohong besar menyebut rakyat yang mereka bela kepentingannya. Mereka senang onani kok. Onani politik, maksudnya. Goyang- goyang politik demi menyenangkan diri sendiri, kepentingan kelompok sendiri!
Kejadian semacam ini berulang dan nyaris sebangun di banyak tempat. Jangan-jangan demokrasi kita memang sedang sinting. Jangan-jangan pemilu atau pilkada memang tak lebih dari pesta demokrasi memilih preman! Dipimpin preman, ya wajarlah kalau banyak kejutan ganjil. Isi otak preman kan sangat sederhana.
Begitulah tuan dan puan. Kita hidup di negeri setengah gila. Gila habok. Pelanggar lalu lintas boleh dikatai seenak perut. Boleh disapa sebagai bangsat, anjing, monyet, iblis atau kata apa saja sesuka bibir. Bila perlu ditendang sampai meregang nyawa. Tak apa-apa. Proses hukum yang adil tidak penting. Penegak hukum kok dihukum? Lama-kelamaan masyarakat juga akan lupa.
Di sini hukum rimba tetap primadona. Siapa yang kuat kuasa, dialah yang selalu menang. Yang mayoritas merasa berhak penuh melakukan apa saja. Masa cecak mau melawan buaya? Itu namanya cecak nekad. Di beranda ini banyak orang mau menjadi hakim sampai hakim sungguhan diberi bogem mentah hingga bibir pecah-pecah. Pemberi bogem bertepuk tangan dengan perasaan iwa mea (baca: tidak merasa malu). Ngeri ko kawan!
Masih ada lagi yang lebih hebat. Perguruan tinggi yang tugasnya mendidik calon pemimpin masa depan, ternyata telah menambah mata kuliah baru, yakni mata kuliah bakucekik, pegang krah baju, debat kusir serta antikritik. Ilmu baru itu melengkapi mata kuliah klasik, tawuran! Perkuliahan tidak mesti di dalam ruangan. Bisa di halaman kampus, jalan raya atau di bawah pohon pun jadilah.
Di beberapa universitas malah tambah mata kuliah ijazah palsu. Tidak perlu kuliah tapi bisa pegang ijazah atau ijazah ada tapi tidak diakui saat melamar kerja karena status universitas misterius. Canggih kan Indonesia ini? Apa saja bisa diproduksi, apalagi sekadar memproduksi kebohongan. Gampang! Maka tuan dan puan tak perlu heran bila banyak preman yang memimpin institusi publik. Mereka preman bergelar yang sudah teruji melalui jenjang pendidikan berat berliku.
Kita hidup di negeri yang semakin ganjil peringainya. Negeri SGM: Sinting, Gila dan Mengong. Kalau jalan-jalan ke ujung Sumatera, saudariku kaum perempuan jangan pakai celana jeans ketat yang dapat menonjolkan lekak-lekuk keindahan ragawi anugerah Tuhan. Cuma perempuan yang dilarang. Laki-laki bebas merdeka pakai jeans ketat meskipun bisa menyembulkan "batang gading" mereka.
Bayangkan sendiri, misalnya orang Papua bikin Perda koteka. Semua pria yang pergi ke sana wajib pakai koteka guna menutupi "perkakasnya" dan perempuan jalan-jalan tanpa bra. Yang penting tutup "bagian indah" yang lain. Bukit kembar biarkan menyembul anggun terpanggang matahari. Waw?!
Beta sulit membayangkan, anggota Dewan Yth di beranda Flobamora juga "ikut gila" membuat peraturan daerah (Perda) cawat. Siapa pun yang datang ke NTT mesti bercawat ria. Argumentasinya, cawat adalah pakaian warisan leluhur bangsa Flobamora yang baru mengenal celana dalam dan beha belum sampai seabad.
Tuan puan mau apa? Aihh, ini bangsa tidak sekadar makin kolot, tapi makin sinting to? Puihh!! Bubarnya ini NKRI mungkin tinggal menghitung hari. Yang hibernasi, sadarlah. Ada banyak preman di luar sana! (dionbata@yahoo.com)
Sumber: Rubrik Beranda Kita Pos Kupang, Senin 2 November 2009 hal 1