Wasit


STADE de France-Paris, Rabu malam 18 November 2009. Menit ke-104. Dua bintang bola memainkan perannya yang akan lama dikenang. Keduanya adalah Martin Hansson dan Thierry Henry. Di menit ke-104 yang tegang, Henry berada di kotak penalti, persis di sisi kanan gawang Shay Given. Hansson yang telah keletihan tercecer jauh di luar kotak 16 meter. Di dalam area terlarang, Henry menerima bola hasil tendangan bebas, bukan dengan kaki tetapi tangannya. Ha?

Tangan kiri Henry menyentuh bola dua kali. Sekali untuk menghentikan bola dan sekali untuk menyesuaikan arah bola sebelum mengumpankannya kepada William Gallas yang menanduk bola guna menyamakan kedudukan 1-1 pada masa perpanjangan waktu. Tanpa bertanya dulu kepada hakim garis, ofisial keempat dan Henry, Hanson meniup peluit mensahkan gol Gallas. Perancis yang ngos-ngosan menang agregat 2-1 dan terbang ke Afrika Selatan 2010.

Paris berpesta pora. Dublin bagaikan kota mati. Mestinya Rabu malam itu anak-anak Irlandia berhak pesta atas permainan mereka yang luar biasa di jantung ibukota Perancis. Hanson dan Henry merusaknya lewat sadisme bola yang kejam. Pemain dan fans Irlandia batal pesta bir sambil bernyanyi, "Drink, boys, drink all the night you like" (minum, minumlah sesukamu sepanjang malam).


Mimpi Irlandia buyar sekejap karena handball Henry dan ketidakjelian wasit Hansson memutuskan. Dalam tayangan ulang televisi terlihat bening Henry menyentuh bola dengan tangan. Dan, Henry jujur. "Saya jujur, itu handball. Namun, saya bukan wasit," kata Henry. Irlandia protes keras. Usulkan pertandingan ulang. "Betul, itu memang handball. Cara paling adil adalah pertandingan ulang," tambah Henry. Tapi badan sepakbola dunia (FIFA) merespons cepat dan tegas. Tidak ada laga ulang. Perancis lolos ke Piala Dunia 2010. Titik!

Setelah tragedi "Hand of God" Diego Maradona yang menghancurkan Inggris di Piala Dunia 1986, inilah tragedi kedua yang akan selalu dikenang dalam sejarah sepakbola. "Handball Henry" adalah cara terkejam untuk menghancurkan mimpi Irlandia tampil di Piala Dunia pertama di benua Afrika. Percayalah, seribu tahun lagi pun debat tentang gol Maradona dan Henry tak kan usai.

FIFA menjunjung tinggi prinsip fair play termasuk keputusan wasit yang mutlak meski sebagai manusia biasa wasit bisa salah. Dalam sepakbola berlaku adagium ini: Jika wasit sudah memutuskan, semuanya berakhir!

Dalam satu dasawarsa terakhir FIFA tak henti-hentinya didesak untuk mau menggunakan alat bantu teknologi. Misalnya tayangan ulang televisi untuk memastikan seorang pemain handball, melakukan pelanggaran atau memastikan si kulit bundar sudah melewati garis gawang. FIFA tidak menggubris karena ingin mempertahankan kemurnian permainan bola yang tak luput dari sisi lemah manusia. Sampai sekarang yang baru disetujui FIFA adalah alat komunikasi antarwasit saat memandu pertandingan.

Bola memelihara unsur manusiawinya. Itulah yang menjadikan sepakbola penuh pesona dan gairah. Bola bagaikan drama kehidupan yang selalu berwajah tangis dan tawa. Tangis Irlandia, tawa buat Perancis. Ibarat drama, dalam sepakbola mengenal prinsip to err is human. Kesalahan itu manusiawi. Mau apa lagi?

Hati nurani tuan dan puan pastilah terkoyak menyaksikan gol "Tangan Tuhan" Maradona 1986 dan "Hand of Frog" Henry 2009. Namun, sebagian dari tuan dan puan terhibur oleh aksi Maradona-Henry dan terutama kejujurannya mengakui penggunaan tangan. Mereka tahu itu salah, tetapi mengakuinya.

Kejujuran merupakan sisi manusiawi yang terpuji. Mendengarkan suara hati. Itulah keutamaan olahraga, termasuk sepakbola. Maka keputusan mutlak wasit sepakbola mengandung kelemahan manakala wasit tega membohongi hati nuraninya sendiri.

Di beranda Flobamora baru saja usai kejuaraan sepakbola bergengsi berlabel Piala Gubernur. Pemain bermain penuh semangat, penonton membanjiri stadion dan panitia bekerja keras. Segala sesuatu berjalan baik sampai grandfinal. Justru di partai puncak itu sadisme bola mengoyak nurani banyak orang yang memuja fair play. Pemicunya ketidakpuasan terhadap keputusan wasit. Laga berjalan cuma setengah jalan. Terhenti menit ke-36. Pemain satu kesebelasan enggan melanjutkan laga karena kecewa. Wasit memvonis salah satu tim berhak juara. Keputusan wasit mutlak. Itulah sepakbola. Biar jauh di kampung Flobamora, aturan FIFA tetap tegak berdiri. Jika wasit sudah memutuskan, semuanya berakhir!

Apakah wasit dan para ofisial di partai puncak Piala Gubernur NTT telah bertindak adil? Telah bekerja sesuai hati nurani? Tuan dan puan yang menonton laga itu berhak menilai sesuai perspektif masing-masing. Puas, tidak puas. Kecewa, gembira. Boleh jadi pengamatan beta keliru bila melihat banyak orang sore itu kecewa. Mereka tidak menemukan keadilan sepakbola.

Demikianlah bahaya keputusan mutlak. Orang dapat menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan materi sesaat. Dalam sejarah sepakbola skandal perwasitan bukan hal baru. Mafia perwasitan terjadi sejak lama dan berlangsung di mana-mana. Kompetisi elite Jerman (Bundesliga) pernah diguncang skandal perwasitan yang berakhir dengan penjara bagi para pelakunya.

Skandal terbaru melanda sepakbola Italia menjelang putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman. Italia yang menjadi model sekaligus barometer kompetisi sepakbola sedunia ternyata tak luput dari prahara itu. Sejumlah wasit yang memimpin kompetisi Liga Serie A Italia terbukti mengatur skor pertandingan. Berbekal kewenangan mutlak, mereka mengatur tim A menang, tim B yang dikalahkan. Dalam waktu cukup lama Juventus merupakan salah satu klub raksasa Italia yang diuntungkan oleh pengaturan skor itu. Ketika skandal terkuak, Juventus dihukum. Super Juve turun ke Serie B dan berjuang susah payah untuk kembali ke Serie A.

Bagaimana Indonesia? Ah, ini negara bebas merdeka dari skandal perwasitan. Skandal perwasitan di negeri juara korupsi ini sekadar rumor, cuma sas sus dari mulut ke mulut karena belum pernah ada upaya konkret untuk mengungkap dengan serius disertai proses hukum. Jadi kalau mau menjadi wasit sepakbola, jadilah wasit di Indonesia. Tuan mendapat hak istimewa. Kebal hukum!

Berulang kali beta mendengar sendiri dari mulut pengurus teras PSSI di sini tentang busuknya mafia perwasitan nasional. Ketika tim NTT berlaga di luar daerah, tim didekati untuk membicarakan hasil pertandingan. Skor dapat diatur tergantung berapa bayarannya. Yang menang adalah yang mampu membayar. Tim juara tergantung kekuatan uang!

Indikator mutu wasit simpel saja. Berapa wasit Indonesia yang dipercaya memimpin laga internasional? Hampir tidak ada sekarang, bung! Wasit asal NTT, apakah pernah dipercaya memimpin laga resmi sekadar tingkat regional?

Tim kebanggaan kita toh kalah melulu! Kita sudah terbiasa melihat wasit melawan fair play. Sudah biasa melihat pemain mogok atau bakupukul. Kita merasakan kejamnya skandal, tetapi belum mau memberantas skandal itu. Teringat kegundahan salah seorang Bapak Bangsa Indonesia, Drs. Mohammad Hatta. Ikhwal korupsi, Hatta melukiskan seperti bau kentut. Tidak jelas sumbernya, tetapi aroma busuknya tercium dan terbang ke mana-mana. Sepakbola berwajah korup, termasuk di beranda Flobamora, apakah muskil? Siapa berani menampik? (dionbata@yahooo.com)

Pos Kupang edisi Senin, 30 November 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes