ilustrasi |
Saya melirik dan langsung bangun dari tempat duduk menyambut tamu pagi itu. Dia merupakan salah seorang pelanggan setia Pos Kupang, Drs. Daniel Woda Palle. Sapaan awalku kepadanya (mungkin karena kebiasaan bila bertemu beliau) spontan terlontar dalam bahasa ibu, Lio.
“Saya mau bayar langganan koran bulan ini. Mana kwitansi,” katanya sambil menebarkan senyum. Begitulah Daniel Woda Palle. Pelanggan yang selalu membayar sendiri biaya bulanan. Dan, beliau selalu membayar di muka, berbeda dengan sistem yang berlaku umum, pelanggan bayar pada akhir bulan. Dia mengusung prinsip bayar dulu baru baca, bukan baca dulu baru bayar.
Pernah teman-teman kami mengatakan akan ke rumah beliau saja untuk mengambil biaya langganan, tetapi beliau menolak dengan alasan sebagai pelanggan sudah semestinya dia yang datang ke kantor kami untuk membayar. Sungguh sebuah keteladanan yang luar biasa. Sulit dicari tokoh semacam ini.
Sejak pensiun dari pengabdiannya sebagai pamong praja sejati, Daniel Woda Palle memilih tinggal di Maumere. Dia sungguh menikmati masa pensiunnya dengan santai. Dia masih rajin berolahraga dan meneruskan hobinya bercengkerama dengan pantai, gelombang laut dan udara perairan yang jernih. Anda mungkin tidak percaya kalau bertemu beliau yang masih sangat bugar di usianya yang sudah senja. Tidak banyak mantan pejabat tinggi daerah yang seperti Dan Palle. Di saat begitu banyak pensiunan terkena post power syndrome bahkan makin rakus menguber jabatan dan kedudukan hingga jatuh sakit, Dan Palle memilih pensiun dengan damai.
Putra-putri Flobamora pastilah mengenal sosok ini. Dia sesepuh masyarakat Sikka dan Nusa Tenggara Timur. Jabatan publik yang pernah diembannya antara lain, Bupati Sikka selama dua periode dan terakhir Ketua DPRD Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di bidang politik, Dan Palle pernah menjadi ketua DPD I Partai Golkar NTT.
Ah sudahlah, saya kok ngelantur. Figur populer ini tidak perlu diperkenalkan lebih jauh. Hehehe…. Saya kembali ke fokus cerita. Selasa pagi itu dalam pertemuan singkat dengan Dan Palle saya mendapat hadiah dua filosofi Orang Lio. Pertama, filosofi rogo dan kedua mengapa dalam khasanah bahasa daerah Lio tidak ada kata terima kasih.
Rogo atau rogo renda adalah bahasa Lio yang secara harafiah artinya meracik atau meramu menu makanan dan minuman. Setiap kita pasti mendambakan masakan ibunda kita masing-masing. Masakan ibu pasti beda cita rasanya dibandingkan dengan masakan istri, saudari atau makanan di restoran atau warteg. Mungkin bahan dasar makanan dan minuman itu sama, menu yang dibuat pun sama, tetapi cita rasanya di lidah pasti berbeda. Beda koki beda pula rasanya bukan?
Nah, dalam konteks ini, kata Dan Palle, orang sering bertanya kepadanya. Mengapa sampai seumur dia sekarang, petuah, pernyataan atau nasihat-nasihatnya selalu baru, bermakna mendalam dan orang senang mendengarnya? “Itu karena rogo tadi, Dion,” katanya. Ketika membedah suatu perkara, misalnya, Daniel Woda Palle meramu dengan seluruh pengetahuan, pengalaman dan kebijaksanaannya. Dengan demikian apa yang dia ucapkan, apa yang dia sampaikan punya “cita rasa” berbeda. “Aih benar juga orang tua ini,” gumamku pagi itu.
Hal kedua, mengapa tidak ada kata terima kasih dalam bahasa Lio. “Itu karena orang Lio tidak menyatakan terima kasih dengan kata-kata. Tetapi lewat perbuatannya!” demikian Daniel Woda Palle. Saya masih ingin berdiskusi lebih jauh dengan beliau pagi itu. Tapi rupanya beliau buru-buru meninggalkan Kantor Pos Kupang di Jl. Gelora No. 2 Maumere karena ada suatu urusan yang sudah terjadwal.
“Cukup sudah Dion. Hari ini kau dapat dua pesan dari saya,” kata Dan Palle sambil beranjak menuju mobil yang sudah menunggunya di pintu masuk kantor kami. Saya mengantar beliau. Melambaikan tangan….Ketika mobil bergerak meninggalkan Jalan Gelora, entah ke mana pagi itu. Senyum tetap mengembang di wajah Daniel…