ilustrasi |
Apalagi kalau perutnya belum terisi, maka seisi kampung pun bisa mendengar ‘gerutuannya’ yang khas. Riuh rendah.
Sejak penghujung 2019 hingga jelang purnama kedua 2020, riuhnya kisah babi tak kunjung usai di Bali.
Malah makin lantang mencabik langit Pulau Dewata lantaran kematian babi secara mendadak kian kencang saja.
Januari 2020 berakhir dengan catatan miris. Peternak di Sarbagita: Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan tunggang-langgang menelan pil pahit. Mereka tak mendengar lagi riuhnya suara babi yang mengisi keseharian.
Jumlah babi yang mati bikin merinding. Seuntai kabar buruk menjelang Hari Raya Galungan yang mestinya membuat peternak tersenyum.
Laporan jurnalis Tribun Bali sejak bulan Desember 2019 -- mengutip pernyataan pejabat berwenang setiap kabupaten dan kota sebagai berikut.
Kota Denpasar 54 ekor, Kabupaten Badung 564 ekor, Gianyar 36 ekor dan Tabanan 527 ekor (sampai 31 Januari 2020). Nah kalau ditotalkan 1.181 ekor.
Jumlah sebanyak itu mati mendadak dalam rentang waktu sebulan lebih. Ngeri!
Data terbaru Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, per 31 Januari 2020 jumlah babi mati di Bali mencapai 888 ekor.
Dari jumlah tersebut mayoritas kematian berada di kawasan Sarbagita.
Angka kematian tertinggi terjadi di Kabupaten Badung yaitu 598 ekor dan Kabupaten Tabanan berjumlah 219 ekor.
Selanjutnya di Kota Denpasar 45 ekor dan Kabupaten Gianyar 24 ekor.
Kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem masing-masing satu ekor.
Perbedaan data kematian bukan masalah yang terlampau gawat.
Perkara ini menarik atensi justru karena fakta bahwa korban babi masih terus berjatuhan.
Makin ke sini angkanya melejit dengan cakupan wilayah epidemi kian luas.
Awal di Denpasar lalu menjalar ke Badung. Tak lama merambah Tabanan dan Gianyar.
Karangasem dan Bali di timur Bali pun mulai kena.
Mungkin tak lama lagi akan terdengar jeritan peternak babi dari Klungkung, Buleleng di utara dan Jembrana di jantung lalu lintas super sibuk Bali Jawa.
Kematian babi hari demi hari mengalirkan lara. Menurut pengakuan sejumlah peternak, babi yang montok, sehat dan rakus tiba-tiba murung, mencret dan kehilangan nafsu makan.
Tak berselang lama ternak andalan sebagian besar petani di Bali itu meregang nyawa lalu mati. Tak terdengar lagi suaranya yang gaduh.
Dari sumber protein bernilai ekonomis tinggi, babi mendadak berubah jadi bangkai.
Celakanya lagi sejumlah orang tega membuang bangkainya ke sungai atau tebing. Duh!
Dampaknya perih mengiris. Bagai tersayat sembilu. Banyaknya babi yang mati di beberapa kabupaten membuat harga daging babi di Bali merosot tajam. Hampir 50 persen.
Umumnya peternak babi buru-buru menjual babi dengan harga murah.
Mereka berpandangan lebih baik jadi duit ketimbang ternak yang dipelihara dengan biaya tak secuil itu mati sia-sia.
Psikologi massa jauh lebih pelik. Kematian babi sungguh menebar cemas dan kepanikan.
Hari-hari ini masyarakat takut konsumsi daging babi sehingga penjualan di pasar menurun tajam.
Meski pakar kesehatan bersabda virus yang menyerang hewan ungulata asli Eurasia ini tidak menular pada manusia, tapi tetap saja orang mengerem niat konsumsi si omnivora tersebut.
Lagi-lagi peternak yang terpukul. Kematian babi, nama ilmiahnya sus dari familia suidae dan ordo artiodactyla, menimbulkan kerugian tidak sedikit.
Ambil misal seekor babi harganya Rp 2,5 juta (taksiran harga terendah) - maka kerugian peternak di Bali akibat kematian ribuan ekor babi itu bisa lebih dari Rp 2,5 miliar.
Bukan angka ecek-ecek. Bayangkan kalau kelipatannya mengingat harga babi lazimnya bervariasi sesuai umur dan bobot tubuh.
Harga tertinggi bisa Rp 9 hingga 10 juta per ekor. Bahkan lebih.
Harga babi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, misalnya, tembus belasan juta rupiah atau mirip harga sapi tambun.
Memang, menurut data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, populasi ternak babi di Bali sekitar 700 ribu ekor.
Jumlah kematian ribuan ekor itu tentu baru sepersekian persen dari total populasi.
Banyak yang bilang masyarakat tak perlu khawatir. Toh stok babi masih cukup memenuhi kebutuhan termasuk menyambut Hari Raya Galungan bulan Februari 2020.
Tapi masalah tak segampang itu, bung. Kerugian peternak tetaplah musibah yang pilu. Sebanyak 1.181 ekor babi bukan angka yang cilik.
Misteri hingga Hari Ini
Fakta kematian babi di Bali pun melahirkan fenomena cengang. Pun sedikit ganjil.
Kabar babi mati mendadak mencuat sejak Desember namun mengapa mati masih tetap sebuah misteri hingga detik ini.
Raungan tanya suara peternak mendapat jawaban sama dari pihak berwenang sampai wabah ini memasuki bulan ketiga.
Kesamaannya adalah entah apa yang merasuki dan membunuh babi-babi tersebut.
Rangkuman official statement dari pemerintah daerah melalui pejabat dinas terkait kira-kira demikian.
Petugas kami di lapangan sudah ambil sampel darah dan organ dalam babi yang mati mendadak untuk diteliti di laboratorium Balai Besar Veteriner (BB Vet) Denpasar.
Dari BB Vet Denpasar sampel tersebut dikirim ke BB Vet Medan untuk diteliti lebih lanjut.
Dari Medan hasilnya dibawa lagi ke Jakarta sehingga memerlukan waktu lama untuk identifikasi apakah kematian babi disebabkan penyakit African Swine Fever (ASF) atau demam babi yang mewabah di berbagai negara.
Dan, yang berwenang mengumumkan adalah pihak Kementerian Pertanian. Bukan kami di daerah.
Kami juga tidak bisa berbuat banyak lantaran obat dan vaksin penyakit babi tersebut belum tersedia.
Langkah yang sudah kami lakukan adalah memberikan edukasi kepada masyarakat tentang cara mencegah penyebaran wabah.
Pencegahan dengan menerapkan bio sekuriti yaitu selalu menjaga kebersihan kandang, semprot disinfektan, membatasi ketat orang, barang, bahan dan hewan keluar masuk kandang babi guna mencegah virus.
Begitulah tuan dan puan. kurang lebih pernyataan pemerintah ihwal kematian babi di Bali. Jelas beda pandang dan aksi.
Tanggapan atas geger babi mati kalah sigap dibanding heboh virus corona dari Wuhan, kota dengan 206 danau.
Demam virus dari tepian Sungai Yangtze jauh lebih bergemuruh dan mendapat atensi ketimbang demam babi, ternak andalan ekonomi keluarga sebagian krama Bali.
Perbandingan ini mungkin bak rambutan dan apel, bukan apple to apple.
Cuma di tengah era keterbukaan informasi serta kemajuan teknologi, menanti hasil laboratorium berbulan-bulan itu sungguh sesuatu.
Sebenarnya ada apa denganmu? Hanya semesta yang tahu.
Tapi setidaknya Semeton Dewata pastilah tahu bahwa babi mati mendadak sudah mengguncang Indonesia sejak muncul kasus perdana di Tapanuli, Sumatera Utara September 2019.
Itu hampir setengah tahun yang lalu.
Berhari-hari kematian babi di sana menjadi berita utama media massa Tanah Air.
Makin menarik tatkala ribuan bangkai babi mengambang di danau dan sungai lantaran peternaknya malas mengubur dan bingung mau buang ke mana lagi.
Sampai bulan Desember 2019, Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara menyebut jumlah babi yang mati mencapai 30.000 ekor.
Tercatat kematian massal ternak ini terjadi di 16 kabupaten Sumatera Utara.
Seperti diwartakan Kompas.Com, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara Azhar Harahap menyebutkan, daerah yang alami kematian babi secara massal adalah Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Medan, Karo, Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Simalungun, Pakpak Bharat, Simalungun, Siantar, Tebing Tinggi dan Langkat.
"Yang tertinggi di Dairi, Karo dan Deli Serdang," kata Azhar di kantor Gubernur Sumatera Utara, Jumat (20/12/2019).
Penyebab kematian babi di Sumatera Utara jelas yaitu virus hog cholera atau kolera babi dan terindikasi African Swine Fever (ASF).
Merebaknya virus itu dimulai sejak 25 September 2019. Matinya hewan itu terjadi sangat cepat. Dalam satu hari, angka kematian yang terlapor rata-rata 1.000 - 2.000 ekor.
Kecenderungan serupa itu mulai terjadi di Bali sekarang.
Kasus awal di Denpasar hanya belasan ekor. Seiring waktu berlalu jumlahnya meningkat
sekian kali lipat.
Angka kematian sudah lebih dari 1.000 ekor. Untuk wilayah serawit Bali, bila dibandingkan Sumatera Utara, bencana ini kiranya tidak dipandang remeh.
Keresahan peternak menebal. Maka bisa dimengerti bila mereka menuntut pemerintah segera mengumumkan hasil laboratorium untuk mengetahui penyebab pasti kematian babi dan solusinya.
Selama ini peternak sudah menjadi korban dari ketidakjelasan informasi tersebut.
“Ini kejadian yang luar biasa. Sangat berdampak terhadap peternak dan konsumen,” kata Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali, Ketut Hari Suyasa kepada Tribun Bali, Jumat (31/1/2020).
Pengusaha ternak babi sangat menyayangkan hasil laboratorium tidak kunjung datang, dengan alasan yang berhak mengumumkan hasil laboratorium tersebut Kementerian Pertanian.
“Kita kan ingin tahu virus ini African Swine Fever atau bukan? Sampai sekarang kita masih menunggu,” kata Suyasa.
Menurut dia, jika sudah jelas penyebabnya, pemerintah dan peternak bisa menentukan tindakan yang tepat demi mencegah jatuhnya korban babi berikutnya.
Bola panas sekarang ada di tangan pemerintah daerah Bali.
Segera bergegas mengambil langkah cepat atau mendiamkannya.
Negara harus hadir di tengah penderitaan rakyat. Itulah idealnya.
Tugas pemerintah mempersuasi masyarakat agar kecemasan dan kepanikan segera berakhir.
Mendengar curahan hatinya sekaligus berikan solusi atas persoalan yang dihadapi.
Mengutip pandangan pakar Komunikasi Politik Jerman Elisabeth Noelle-Neumann, pemerintah tidak boleh menyuburkan fenomena yang dikenal sebagai teori Spiral of Silence atau Spiral Kebungkaman.
Orang takut mengungkapkan pandangan atau pendapat karena khawatir akan sesuatu.
Sebaliknya pemerintah wajib menularkan virus keterbukaan karena bonum commune (kebaikan bersama) hanya bisa tercapai dengan itu.
Tidaklah elok pemerintah justru memberi kesan seolah sedang menutup-nutupi sesuatu. Ah seandainya bulan bisa omong… (dion db putra)
Sumber: Tribun Bali