Setelah resmi menjadi calon presiden, Muhammad Jusuf Kalla mengaku sering ditanya banyak orang di sejumlah tempat.
Pak JK, Anda ini sudah kaya, tetapi Anda masih ingin menjadi presiden. Apa ingin lebih kaya lagi? Lalu, apa yang dicari?” Itulah cerita yang diungkapkan Kalla saat berkampanye dialogis di Pekanbaru, Riau, pertengahan Juni.
Lebih Jauh Mengenal
Capres-Cawapres RI 2009
Baca juga:
Kalla kemudian menjawab sendiri, ”Tidak. Saya sudah cukup mampu untuk tidak mengambil apa pun kekayaan dari negeri ini. Bersama Pak Wiranto (calon wakil presiden dari Partai Hanura ), saya tidak mencari keuntungan apa-apa. Saya hanya mau bekerja, mencari kemuliaan dan kehormatan rakyat. Bukan kemuliaan dan kehormatan saya. Saya tidak mau meninggalkan bangsa yang kurang kehormatannya karena kurang mandiri di bidang ekonomi.”
Kalla memang masuk dalam kelompok yang secara ekonomi mampu dan kaya dengan harta benda. Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi, kekayaan Kalla yang dilaporkan pada 31 Mei 2007 tercatat sebesar Rp 253,912 miliar dan 14.928 dollar AS.
Namun, kekayaan yang dimilikinya itu menurut dia bukan yang diperoleh sejak menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 20 Oktober 2004. Bahkan, juga bukan sejak ia menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Kepala Bulog pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Laki-laki kelahiran Watampone, Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942, itu tercatat tumbuh menjadi saudagar atau pengusaha yang cukup disegani pada periode 1970-1997. Awalnya, ia meneruskan usaha dagang keluarganya, yaitu NV Haji Kalla Trading Company, selepas kuliah pada tahun 1967.
Semula, NV Haji Kalla hanya menjual komoditas kebutuhan sehari-hari dan material bangunan. Namun, di bawah pimpinannya, NV Haji Kalla menjadi pemasok kendaraan roda empat di Indonesia bagian timur.
Ia juga ”menyulap” perusahaan keluarganya yang terus merugi dengan menciptakan laba dengan berbagai usaha baru.
Sejumlah diversifikasi usaha ditempuhnya dengan berbagai cara dan kiat usaha. Dalam catatan Kompas, dari berdagang mobil merek Toyota beralih ke dunia jasa kontraktor pembangunan jalan, bandara, dan pelabuhan.
Melalui PT Bumi Karsa, Kalla kemudian membangun Bandara Hasanuddin, Ujung Pandang, yang lama. Selanjutnya, ia juga ikut membangun sejumlah bandara lainnya di Indonesia timur. Perusahaannya juga membuat koridor Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
Di bawah kepemimpinannya, NV Kalla yang berubah menjadi Grup Kalla terus melebarkan sayap. Dari PT Bukaka Agro, yang bergerak di bidang produksi pakan ternak dan udang, sampai PT Bukaka Meat, perusahaan pengelola industri daging dan ikan. Dari situ, ia mengepakkan sayap ke Jawa, mendirikan PT Bukaka Teknik Utama di Cileungsi, yang memproduksi ”belalai” penumpang untuk Bandara Soekarno-Hatta.
Dengan PT Cahaya Bone, yang dikembangkannya, Kalla juga mengelola angkutan darat dan transportasi laut. Sementara itu, PT Bukaka Lintastama, anak perusahaan lainnya, secara khusus difokuskan untuk mengoperasikan kapal-kapal feri. Waktu itu, bendera perusahaan pelayarannya, PT Kalla Lines, melayani angkutan penumpang serta angkutan hewan dan barang.
Bisnis keluarga
Kiprah bisnis ayah lima anak itu juga terus berkembang. Hingga akhirnya ia memiliki juga saham di PT Bone, Soppeng, dan Waji (Bosowa Group) yang bergerak di bidang pabrik semen, konstruksi, dan otomotif. Perusahaan ini akhirnya dipegang adik iparnya, Aksa Mahmud, yang tercatat sebagai Wakil Ketua MPR.
Adapun soal bisnis keluarganya, masih di acara kampanye dialogis di Pekanbaru itu, Kalla berkomentar, ”Ada lagi yang mempertanyakan saya, yang punya latar belakang seorang pengusaha. Saya tegaskan, saya ini sudah menjadi pengusaha puluhan tahun. Sama seperti saudara-saudara saya. Akan tetapi, saya ini, sejak menjadi menteri, bukan lagi seorang pengusaha.” Kini, usaha Kalla diteruskan oleh adik-adik, anak-anak, dan keponakannya.
Sebagai pengusaha besar, Ketua Umum Partai Golkar dan juga Wapres RI, apa yang dicapai Kalla telah melebihi almarhum ayahandanya, Haji Kalla, yang hanya seorang pengusaha dan bendahara ”seumur hidup” Nadhlatul Ulama Cabang Makassar.
Pada usianya yang lewat 67 tahun, niat Kalla meraih puncak tertinggi kursi kekuasaan Presiden RI menjadi pertanyaan. Seperti pertanyaan yang muncul saat dialog dengan 1.000 pengusaha di sebuah hotel di Jakarta, ”Bapak, kan, sudah tua. Usianya sudah 67 tahun. Sudah menjadi pengusaha terkenal. Untuk apa menjadi presiden? Sekarang, kan, Bapak bisa hidup santai, bangun siang seperti saya?” tanya seorang pengusaha.
Kalla lalu menjawab, ”Usia itu bukan jaminan untuk tidak bisa melakukan apa-apa. Usia itu ukurannya hanya dengan kemampuan. Masih bisa tidak melakukan pekerjaan. Kalau saya, sehari saja bisa melakukan 12 kegiatan di tempat berbeda. Sekarang ini baru sembilan kegiatan,” papar Kalla terkekeh. Waktu itu, jam menunjukkan pukul 21.00 WIB, sementara ia masih ada acara dialog di sebuah stasiun televisi swasta.
Rebut kesempatan
Sejak ia menjadi wapres, Kalla memang sering dijuluki the real president. Kalla dikenal bukan hanya memiliki gagasan sejumlah program pembangunan, tetapi juga memutuskan, menjalankan, dan ikut mengawasinya. Sebut saja seperti program bantuan langsung tunai; program konversi minyak tanah menjadi elpiji; percepatan pembangunan infrastruktur listrik 10.000 megawatt; pembangunan jalan tol, bandar udara internasional, dan pelabuhan; serta peningkatan produksi pertanian.
Semuanya itu dilakukan karena Kalla mengaku tak mau kehilangan kesempatan melakukan percepatan pembangunan. ”Kalau kesempatan pembangunan itu tidak diambil, kesempatan itu hilang diambil negara lain,” ujar Kalla dalam beberapa kali kampanye dialogis sebagai calon presiden di sejumlah tempat.
Ia mengaku gemas apabila hal yang penting bagi rakyat lambat diputuskan. ”Jangan takut dengan risiko apa pun kalau mengambil keputusan demi rakyat. Percayalah, tidak akan salah. Kalaupun salah, ya kita perbaiki asal jangan berbuat korupsi dan menyalahi aturan,” kata Kalla dalam beberapa kali kesempatan.
Bahkan, lanjut Kalla, jika ada peraturan yang dianggap bisa menghambat sebuah kebijakan pemerintah untuk kepentingan rakyat, bisa saja ketentuan tersebut diubah.
Ia juga pernah berpidato dalam acara di Istana Wapres, ”Saya tidak bisa menerima penjelasan jika ada direktur jenderal, yang rapat dengan saya, hanya bisa mengatakan, ’Kebijakan yang Bapak sampaikan itu tidak bisa dilakukan karena bertentangan dengan aturan’. Itu bukan jawaban. Saya suka jika ia menjawab, ’Kebijakan itu bisa dijalankan, tetapi harus ada langkah pemerintah untuk melakukan terobosan, seperti mengubah ketentuan’. Itu namanya pemerintah.”
Bersamaan dengan karier bisnisnya, Kalla juga terjun di bidang politik praktis. Karier politiknya dimulai saat ia menjadi Sekretaris Bersama Golkar di Makassar sampai akhirnya menjadi anggota utusan daerah di MPR. Modalnya adalah pengalaman sejak mahasiswa, yaitu menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, dan Ketua HMI Cabang Makassar.
Ia tercatat pernah mengikuti konvensi Partai Golkar untuk menjadi calon presiden, tetapi kemudian mundur. Setelah Susilo Bambang Yudhoyono mundur dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan serta menjadi calon presiden, Kalla ditawari menjadi calon wapres Yudhoyono untuk maju dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wapres 2004. ”Waktu itu Kalla setuju asalkan ia tidak sekadar menjadi ’ban serep’,” ungkap teman masa kecil Kalla, Moh Abduh.
Akankah kali ini ia mampu mengulang sejarah menang menjadi Presiden RI 2009-2014 bersama Wiranto? Jika ia berhasil, lengkaplah sudah predikat yang akan disandangnya: pengusaha sukses, politikus, sesepuh orang Bugis, Makassar, dan juga seorang pemimpin bangsa. Jika tidak?*
Sumber: Kompas